Kasus Suap Hakim Rp 60 M, Bisakah Kejagung Jerat Lagi Wilmar Group, Permata Hijau dan Musim Mas di Korupsi CPO?

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 17 April 2025 15:43 WIB
Konferensi pers Kejagung terkait penetapan tersangka kasus suap putusan lepas atau ontslag perkara korupsi crude palm oil atau CPO (Foto: Dok MI)
Konferensi pers Kejagung terkait penetapan tersangka kasus suap putusan lepas atau ontslag perkara korupsi crude palm oil atau CPO (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Apakah penyidik gedung bundar Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung) dapat menjerat lagi korporasi di kasus korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil atau korupsi CPO yang sebelumnya dilepas tiga hakim yang menyidangkan kasus tersebut? Yakni Wilmar Group, Permata Hijau Group dan Musim Mas Group.

Jika merujuk Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (UU Tipikor) mengatur korporasi sebagai subyek hukum yang dapat dijerat dalam kasus korupsi. Adapun hukum acara pidananya diatur melalui Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 13 Tahun 2016.

Secara spesifik, Perma No 13/2016 menyebut korporasi dapat bertanggung jawab secara pidana—termasuk korupsi—apabila memenuhi salah satu atau lebih kriteria berikut: Korporasi mendapatkan keuntungan atau manfaat dari tindak pidana tersebut; Tindak pidana dilakukan untuk kepentingan korporasi; Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana; dan Korporasi tidak melakukan langkah-langkah pencegahan yang diperlukan untuk mencegah terjadinya tindak pidana.

Meskipun demikian, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Muhammad Yassar, mengatakan penjeratan korporasi selaku subjek hukum masih menjadi permasalahan mendasar dalam pemberantasan korupsi.

"Sebab, pada KUHAP, belum tercantum ketentuan yang cukup progresif dan komprehensif dalam hal pemidanaan korporasi," kata Yassar, Kamis (17/4/2025).

Yassar menyebut Perma No 13/2016 masih berupa "ketentuan parsial" terkait pemidanaan korporasi. "Pada kasus-kasus korupsi, sayangnya peraturan ini masih sangat jarang dioperasionalkan oleh penegak hukum."

"Salah satu sebabnya karena substansi peraturannya tidak berada di level undang-undang. Ini menyebabkan kebingungan bagi penegak hukum karena banyak interpretasi terkait regulasi yang seharusnya dijadikan acuan dalam memidanakan korporasi," ungkapnya.

Yassar mengatakan secara kapasitas, penegak hukum di Indonesia sering kali kesulitan untuk membedakan kapan suatu tindak pidana merupakan tanggung jawab dari korporasi dan kapan itu menjadi tanggung jawab dari individu.

ICW mencatat ada setidaknya 252 pengusaha atau swasta yang menjalani persidangan kasus korupsi di tahun 2023. "Namun ini merujuk pada individu, bukan korporasi sebagai badan hukum," kata Yassar.

Dari data yang sama, setidaknya hanya ada tiga korporasi yang didakwa dalam kasus korupsi dari total 898 terdakwa di tingkat pengadilan negeri. Sedangkan di tingkat pengadilan tinggi, hanya ada 6 korporasi dari 582 total terdakwa yang berhasil disidangkan.

"Keseluruhan kasus yang melibatkan korporasi sebagai badan hukum menggunakan delik kerugian negara pada UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bukan delik suap," jelas Yassar.

Sementara itu, Guru Besar Hukum Pidana di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Andri Gunawan Wibisana, mengamati banyak penegak hukum yang menerapkan ultimum remedium atau "pidana sebagai obat terakhir".

"Di Indonesia sering kali pidananya dikesampingkan, lalu yang dikasih adalah sanksi administratif dengan alasan ultimum remedium," kata Andri.

Andri menekankan pentingnya penegakan hukum pidana dalam kasus korupsi atau suap sebagai bentuk penegasan negara yang mengutuk tindakan tersebut.

"Bisa jadi jumlah dendanya tidak jauh berbeda. Tapi pidana itu adalah ekspresi negara mencela sebuah perbuatan. Ekspresi pencelaan ini tidak ada dalam sanksi administratif," tegasnya.

Sementara pakar hukum dan tindak pidana pencucian uang, Yenti Garnasih, mengatakan penegak hukum harus benar-benar memahami konsep "kejahatan perusahaan" yang sudah diatur dalam UU Tipikor.

"Aparat hukum hukum harus bisa mencermati dan mendalami kejahatan yang terjadi terkait suatu perusahaan. Kalau sudah terbukti, maka bisa dilakukan pemidanaan sampai yang terberat pencabutan izin dan disertai dengan denda. Dan yang lebih penting lagi: pengembalian semua keuntungan perusahaan yang dihitung sejak terbukti terlibat kejahatan," beber Yenti.

Berkaca dari penanganan kasus suap perkara ekspor CPO dimana Kejaksaan Agung memamerkan barang sitaan berupa mobil mewah, Yenti menilai adanya peluang penggunaan pasal TPPU.

"Ketika barang bukti yang disita adalah mobil mewah, urusannya bukan semata korupsi, melainkan sudah nyata, ada indikasi tindak pidana pencucian uang untuk mempercepat penyitaan dan perampasan [aset]. Di Indonesia, pidana berat untuk korupsi diperlukan. Enggak jera-jera soalnya. Memang akan lebih jera kalau disita dan dimiskinkan," jelas Yenti.

Di sisi lain, pegiat antikorupsi dan pakar hukum pidana juga menyoroti masih adanya hakim yang menerima suap. Berdasarkan catatan ICW, sejak tahun 2011 hingga tahun 2024, setidaknya terdapat 29 hakim yang ditetapkan sebagai tersangka akibat menerima suap untuk mempengaruhi hasil putusan.

"Jika ditotal, jumlah suapnya menyentuh angka sekitar Rp 108 miliar," kata Yassar.

Terpisah, mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) La Ode Syarif mengatakan Ketua MA Sunarto sebagai seseorang dengan rekam jejak cukup baik "harus bertangan besi" dalam menangani hakim-hakim yang melakukan pelanggaran.

"Kalau tidak, hal seperti ini akan terus terjadi. Saya sangat berharap kepada pimpinan MA supaya betul-betul zero tolerance terhadap hakim-hakim yang melanggar hukum. Seharusnya dibebastugaskan saja semuanya," katanya.

Adapun Kejaksaan Agung baru saja menetapkan Head Social Security Legal PT Wilmar Group, Muhammad Syafei (MSY) sebagai tersangka ke-8 di kasus dugaan suap Rp 60 miliar kepada hakim agar memberikan putusan lepas (ontslag) dalam perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil atau korupsi CPO di Pengadilan Jakarta Pusat itu.

Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Abdul Qohar mengatakan, Syafei yang menyediakan uang suap tersebut. Ia menjadi tersangka kedelapan dalam kasus ini.

Qohar mengungkapkan, pemberian suap itu berawal ketika tersangka WG (Wahyu Gunawan) selaku panitera muda perdata Pengadilan Negeri Jakarta Utara, bertemu dengan tersangka AR (Ariyanto) selaku advokat atau penasihat korporasi dalam kasus korupsi CPO dengan terdakwa tiga korporasi yaitu PT Wilmar Group, Pertama Hijau Group dan Musim Mas Group.

“Pada saat itu, Wahyu Gunawan menyampaikan agar perkara minyak goreng mentah (CPO) harus diurus. Jika tidak, putusannya bisa maksimal. Bahkan, melebihi tuntutan jaksa penuntut umum,” kata Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa malam, 15 April 2025, seperti dikutip Antara.

Wahyu Gunawan, meski bertugas di PN Jakarta Utara, bisa menjadi makelar kasus ini karena ia orang kepercayaan Muhammad Arif Nuryanta (MAN), yang saat itu menjadi Wakil Ketua PN Jakarta Pusat.

Hasil pertemuan dengan Wahyu Gunawan tersebut lantas disampaikan oleh Ariyanto kepada tersangka MS (Marcella Santoso) selaku advokat tersangka korporasi yang kemudian menemui Syafei selaku Head Social Security Legal PT Wilmar Group di sebuah rumah makan di Jakarta Selatan.

“Dalam pertemuan tersebut, MS menyampaikan perihal informasi yang diperoleh AR dari WG yang mengatakan bahwa WG bisa membantu pengurusan perkara minyak goreng yang ditanganinya,” kata Qohar.

Menurut Qohar, sekitar dua pekan kemudian, Ariyanto kembali dihubungi oleh Wahyu Gunawan yang menyampaikan agar perkara ini segera diurus. Ariyanto pun menyampaikan kepada Marcella yang kembali menemui Syafei di rumah makan yang sama.

Dalam pertemuan tersebut, Syafei menyampaikan bahwa biaya yang disediakan oleh pihak korporasi adalah sebesar Rp20 miliar.

Menindaklanjuti hal tersebut, tersangka Arianto, Wahyu Gunawan, dan Muhammad Arif Nuryanta yang pada saat itu menjabat Wakil Ketua PN Jakarta Pusat, bertemu di sebuah rumah makan di Jakarta Timur.

Arif  dalam pertemuan itu mengatakan bahwa perkara korupsi CPO tersebut tidak dapat diputus bebas, tetapi bisa diputus lepas (ontslag). MAN pun meminta agar uang Rp20 miliar tersebut dikalikan tiga sehingga totalnya menjadi Rp60 miliar.

Setelah pertemuan itu, Wahyu Gunawan meminta Ariyanto agar segera menyiapkan uang Rp60 miliar. Permintaan tersebut diteruskan kepada Marcella yang menyampaikannya kepada Syafei.

“MS menghubungi MSY dan dalam percakapan itu, MSY menyanggupi akan menyiapkan permintaan tersebut dalam bentuk mata uang dolar AS ataupun dolar Singapura,” kata Qohar.

Sekitar tiga hari kemudian, Syafei mengatakan bahwa uang yang diminta sudah siap. Ariyanto pun menemui Syafei di kawasan SCBD, Jakarta Selatan, untuk menerima uang tersebut. Lantas uang tersebut diantarkan ke rumah Wahyu Gunawan.

Kemudian, Wahyu Gunawan menyerahkan uang tersebut kepada Arif. Saat penyerahan tersebut, Arif memberikan uang 50.000 dolar AS kepada Wahyu Gunawan. Baca kelanjutan perjalanan uang suap tersebut di sini.

Penting diketahui bahwa Syafei ditetapkan sebagai tersangka kedelapan kasus ini. Ia dikenai Pasal 6 ayat (1) huruf a juncto Pasal 5 ayat (1) jo. Pasal 13 jo. Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2021 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Sebelumnya, Kejagung telah menetapkan tujuh tersangka, yaitu WG (Wahyu Gunawan) selaku panitera muda perdata PN Jakarta Utara, MS (Marcella Santoso) selaku advokat, AR (Ariyanto) selaku advokat, dan MAN (Muhammad Arif Nuryanta) selaku Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, serta tiga hakim, yakni DJU (Djuyamto), ASB (Agam Syarif Baharuddin), dan AM (Ali Muhtarom).

Adapun putusan ontslag tersebut dijatuhkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada PN Jakarta Pusat pada Rabu (19/3).

Pada putusan ini, para terdakwa korporasi yang meliputi PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group terbukti melakukan perbuatan sesuai dengan dakwaan primer maupun subsider jaksa penuntut umum (JPU).

Kendati demikian, majelis hakim yang terdiri dari tersangka DJU, ASB, dan AM, menyatakan bahwa perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana (ontslag van alle rechtsvervolging) sehingga para terdakwa dilepaskan dari tuntutan JPU. (an)

Topik:

Kejagung Korupsi CPO Korupsi Minyak Goreng Wilmar Group Permata Hijau Group Musim Mas Group