Pengusutan Korupsi Kapal Pesiar Rp 9,8 M akan Libatkan KPK

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 29 Mei 2025 21:25 WIB
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) (Foto: Dok MI/Aswan)
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) (Foto: Dok MI/Aswan)

Jakarta, MI - Pengusutan kasus korupsi pengadaan kapal pesiar merek Azimuth Atlantis di Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) pada 2020, merugikan negara hingga Rp 9,8 miliar akan melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Kapal jenis yacht berukuran kecil ini, dibeliin melalui proses lelang. Kontraktor pemenang, PT Wahana, membeli kapal dalam kondisi bekas pada salah seorang pengusaha di Pantai Indah Kapuk (PIK) Jakarta.

Ternyata, dari administrasi dan surat kepemilikan, kapal Azimuth Atlantis diduga merupakan milik salah seorang adik kandung pebisnis besar di Indonesia. Namun, terkait hal ini penyidik Tipidkor Polda Sulawesi Tenggara bungkam.

Kapolda Sulawesi Tenggara Irjen Pol Didik Agung Widjanarko mengatakan bakal menindaklanjuti secara internal. Sehingga, kasus yang sudah berjalan 3 tahun penyelidikan dan penyidikan bisa dituntaskan.

Baru resmi bekerja sebagai Kapolda Sultra pada 27 Mei 2025, Didik Widjanarko diketahui pernah menjabat Deputi Bidang Koordinasi dan Supervisi KPK sejak 2022.

"Saya ingin tahu seperti apa hambatannya, bagaimana bisa tertunda," kata Didik Agung Widjanarko, kepada Monitorindonesia.com, dikutip Kamis (29/5/2025).

Jika perlu Polda Sulawesi Tenggara akan berkoordinasi terkait kasus ini dengan pihak KPK. Sehingga, kasus bisa dituntaskan. "Kalau bisa koordinasi dengan KPK, kenapa tidak? Sehingga kasus ini bisa kita selesaikan," jelas Didik Agung Widjanarko.

Kasus posisi

Penyelidikan kasus Korupsi Kapal pesiar Azimuth Atlantis di Polda Sultra sudah dilakukan sejak awal 2023. Saat ini, sudah ada dua orang tersangka yang ditetapkan oleh pihak Polda Sulawesi Tenggara. 

Keduanya yakni, pihak kontraktor dan salah seorang mantan pejabat di Pemprov Sulawesi Tenggara. Selain itu, polisi juga sudah memeriksa puluhan saksi lainnya termasuk saksi ahli dan meminta keterangan pihak Bea Cukai Kendari dalam kasus Korupsi Kapal pesiar.

Humas Bea Cukai Kendari Arfan Maksun memaparkan, awalnya kapal ini, masuk ke Indonesia sebagai barang impor sementara pada 2019. Pengurusan izin adminsitrasi kapal, dilakukan di Bea Cukai Marunda, Jakarta Utara.

Saat Bea Cukai Marunda mencari keberadaan kapal karena izin operasi sudah habis, ternyata kapal mewah ini, terpantau keberadaannya di Kota Kendari. Sehingga, Bea Cukai Marunda berkoordinasi dengan pihak Bea Cukai Kendari untuk mengamankan kapal.

"Izin kapal saat masuk Indonesia pada 2019 lalu, menggunakan vessel declaration (VD), umumnya izin ini hanya digunakan untuk tujuan wisata atau ikut event-event di wilayah Indonesia," kata Arfan Maksun.

Vessel Declaration dalam istilah bea cukai berarti, administrasi pabean yang digunakan saat impor sementara dan sekaligus digunakan saat ekspor kembali atas kapal wisata asing dan atau suku cadang (spare parts).

"Kapal ini statusnya Impor sementara, berarti kapal tidak untuk diperjualbelikan. Berbeda dengan impor pakai," papar Arfan.

Karena masa izinnya sudah selesai (kedaluwarsa), harusnya kapal keluar dulu dari wilayah Indonesia. Untuk masuk kembali seperti semula, kapal tersebut harus mengurus ulang adminsitrasi di Bea Cukai Marunda. "Namun, bukannya kembali ke luar negeri, kapal tersebut ke Kendari," kata Arfan.

Dia mengungkapkan, pemilik kapal mengurus izin masuk impor sementara pada 2019 di Bea Cukai Marunda. Seharusnya, seperti biasa, izin masuk sudah habis masa berlakunya pada 2020.

Dia melanjutkan, alasan pihak Bea Cukai menahan kapal ini, karena izin kapal sudah selesai masa berlakunya. Namun, kapal masih berada di Indonesia dan sudah dua tahun lebiha lamanya sejak 2020.

Terkait kasus ini, Polda Sulawesi tenggara sudah memeriksa sekitar belasan orang saksi. Di antaranya, biro umum Pemprov Sulawesi Tenggara, PPTK dan PPK proyek, direktur perusahaan pemenang lelang PT Wahana dan pemilik kapal.

Topik:

KPK