DPR Desak KPK Usut Dugaan Kuota Internet Hangus Rugikan Negara Rp 63 T per Tahun

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 10 Juni 2025 15:20 WIB
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) (Foto: Dok MI/Aswan/Istimewa)
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) (Foto: Dok MI/Aswan/Istimewa)

Jakarta, MI - Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PAN, Okta Kumala Dewi, mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) agar turun tangan mengusut potensi kerugian negara akibat praktik hangusnya kuota internet pelanggan sebesar Rp 63 triliun sebagaimana data dari Indonesian Audit Watch (IAW).

Praktik kuota hangus ini sudah berlangsung sejak 2009 bisa membuka ruang penyimpangan sistemik yang merugikan negara. "Kalau praktik ini sudah terjadi selama lebih dari satu dekade, dan nilainya mencapai puluhan triliun per tahun, maka ini bukan lagi kelalaian, melainkan potensi penyimpangan. Harus diusut tuntas," kata Okta pekan lalu dikutip Selasa (10/6/2025).

Sebagai solusi jangka panjang, Okta mendorong adanya regulasi yang mewajibkan operator menyediakan fitur rollover kuota, yaitu mekanisme agar kuota yang tidak terpakai bisa dialihkan ke bulan berikutnya. "Rollover kuota adalah salah satu cara sederhana tapi berdampak besar. Hak masyarakat jangan terus dikorbankan demi keuntungan sepihak," jelasnya.

Pun dia menerangkan Komisi I DPR akan menjadikan isu ini sebagai bagian dari pengawasan parlemen terhadap sektor komunikasi digital. "Untuk memastikan hak-hak masyarakat terlindungi dan tata kelola industri berjalan dengan adil dan transparan," pungkasnya.

Sementara IAW sebelumnya juga mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk segera mengambil langkah tegas dalam mengusut potensi kerugian negara akibat praktik penghapusan kuota internet yang hangus tanpa pelaporan itu.

Organisasi ini juga menyoroti dugaan penyimpangan serius di tubuh anak perusahaan salah satu BUMN digital terbesar di Indonesia.

Sekretaris Pendiri IAW, Iskandar Sitorus, menyatakan kekhawatirannya terhadap sistem kuota yang diberlakukan sejak sekitar tahun 2009. Ia menilai kebijakan hangusnya sisa kuota yang sudah dibayar masyarakat tanpa pencatatan dan pelaporan akuntabel berpotensi merugikan keuangan negara dalam skala besar.

Berdasarkan perhitungan IAW, kerugian yang dialami masyarakat akibat kuota hangus tanpa pencatatan bisa mencapai Rp63 triliun setiap tahun. Jika ditotal selama sepuluh tahun terakhir, nilainya melampaui Rp600 triliun.

"Tidak ada regulasi atau mekanisme pelaporan keuangan yang mengatur kewajiban pencatatan nilai kuota hangus, sehingga berpotensi menjadi praktik manipulatif dan merugikan keuangan negara," kata Iskandar kepada Monitorindonesia.com, Kamis (29/5/2025) lalu.

Iskandar juga menyoroti kasus yang tengah ditangani Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta terkait pengadaan perangkat oleh anak usaha BUMN tersebut. Ia menilai hal ini bisa menjadi indikasi adanya praktik korupsi sistemik dan berulang.

Menurutnya, hingga saat ini belum ada audit forensik menyeluruh terhadap aktivitas anak usaha itu sejak BUMN masuk fase transformasi digital.

"Jika tidak segera ditindaklanjuti secara komprehensif, dikhawatirkan kepercayaan publik terhadap BUMN digital akan terus merosot," jelasnya.

Selain itu, IAW meminta Presiden Prabowo memerintahkan Kementerian BUMN dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) segera melakukan audit serta membenahi sistem pelaporan kuota internet yang hangus di seluruh provider.

Lebih lanjut, IAW mendesak agar KPK dan Kejaksaan Agung ikut terlibat, mengambil alih dan memperluas penyidikan Kejati DKI atas aktivitas anak usaha BUMN tersebut sejak tahun 2010.

IAW juga mengusulkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menggelar audit tematik terhadap sistem bisnis kuota hangus. Mereka menilai praktik ini berpotensi melanggar sejumlah aturan, termasuk Undang-Undang Keuangan Negara, Undang-Undang BUMN, serta Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

Tak hanya itu, pemerintah juga diminta segera menerbitkan peraturan menteri yang mewajibkan seluruh provider mencatat, melaporkan, dan mempertanggungjawabkan sisa kuota yang telah dibayar oleh masyarakat tetapi belum terpakai.

Iskandar menegaskan bahwa hak masyarakat atas sisa kuota yang dibeli harus dijaga sebagai bentuk kekayaan rakyat yang tak boleh hilang begitu saja.

"Kami berharap Bapak Presiden Prabowo Subianto, BPK, KPK dan Kejagung sesegera mengambil tindakan konkret demi keadilan publik dan penguatan akuntabilitas sektor digital nasional," harapnya.

Topik:

KPK BPK DPR Kuota Internet