Tentang Wilmar Group, 'Alumni' Kasus CPO Terseret Kasus Beras Oplosan


Jakarta, MI - Wilmar Group yang disebut sebagai 'alumni' kasus dugaan korupsi korupsi terkait pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) dan turunannya terus menuai soarotan lantaran teseret dalam kasus beras oplosan Rp 100 triliun yang kini ditangani oleh pihak kepolisian. Bagaimana profilnya?
PT Wilmar Group, perusahaan di bidang agribisnis berskala global yang didirikan tahun 1991 oleh dua orang miliarder asal Singapura dan Indonesia, yaitu Kuok Khoon Hong dan Martua Sitorus. Pada awal berdiri, bernama Wilmar Trading Pte Ltd dengan penyetoran modal sebanyak 100.000 dolar Singapura dan memiliki lima orang pekerja.
Dalam daftar miliarder dunia Forbes 2025, Kuok Khoon Hong merupakan miliarder Singapura yang menempati urutan ke-1.072 dengan kekayaan 3,4 miliar dolar. Sementara, Martua Sitorus termasuk miliarder Indonesia yang menduduki urutan ke-1.045 dengan kekayaan 3,5 miliar dolar.
Perusahaan induk investasi ini bergerak dalam pemrosesan, perdagangan, dan distribusi produk pertanian melalui segmen budidaya kelapa sawit, penghancuran biji minyak, penyulingan minyak nabati, penggilingan tepung dan beras, penggilingan, dan penyulingan gula.
Lalu, Wilmar Group juga bergerak pada segmen lain seperti manufaktur produk konsumen, makanan siap saji, produk dapur, lemak khusus, oleokimia, biodiesel dan pupuk, serta operasi taman makanan.
Di Indonesia, perkebunan pertama Wilmar berada di Sumatera Barat sekitar 7.000 hektar. Kini termasuk perkebunan kelapa sawit dan penyuling minyak sawit, penghancur inti sawit dan kopra, lemak khusus, oleokimia dan produsen biodiesel yang terbesar dimiliki Wilmar. Selain itu, juga termasuk produsen minyak kemasan bermerek terbesar.
Perkebunan kelapa sawit Wilmar berada di Sumatera, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah di wilayah selatan, yang mengelola 36.030 ha melalui skema petani kecil di Indonesia.
Perkebunan ini juga didukung dengan infrastruktur pengolahan, yakni pabrik penggilingan inti sawit berkapasitas 50 metrik ton per hari yang berlokasi di Sumatera Utara, serta kilang pengolahan dengan kapasitas 700 metrik ton per hari di Dumai, Indonesia.
Selain itu, Wilmar juga menjalankan lini usaha di bidang produksi dan distribusi pupuk di Indonesia. Melalui fasilitas produksinya, perusahaan mampu menghasilkan sekitar 1,2 juta metrik ton pupuk per tahun, yang difokuskan pada pupuk majemuk jenis NPK (Nitrogen, Fosfor, dan Kalium).
Pada bidang produksi dan distribusi gula, Wilmar mengakuisisi PT Jawamanis Rafinasi yang merupakan salah satu perusahaan penyuling gula terkemuka di Indonesia.
Wilmar Group menjalankan peran sebagai perusahaan induk (holding) yang mengelola, menanam modal, dan mengawasi operasional lebih dari 1.000 pabrik manufaktur di lebih 30 negara.
Berpusat di Singapura, Wilmar Group menyebarkan jaringan distribusi di berbagai negara lainnya, seperti Tiongkok, India, Indonesia, serta 50 wilayah negara lainnya. Operasi perusahaan ini pun didukung dengan tenaga kerja sekitar 100.000 orang pekerja yang berasal dari berbagai latar belakang.
Menurut laporan Forbes, Kuok Khoon Hong pernah membawa salah satu anak perusahaan Wilmar yang di China, Yihai Kerry Arawana, ke lantai bursa. Perusahaan tersebut melantai di Bursa Saham Shenzhen pada tahun 2020, melalui penawaran IPO senilai 2,1 miliar dolar.
Di Bursa Efek Singapura (SGX), Wilmar Group pun tercatat sebagai salah satu perusahaan dengan nilai kapitalisasi pasar tertinggi. Berdasarkan catatan terakhir tahun 2024, Wilmar Group memiliki kinerja keuangan dengan pendapat sebesar 67,2 miliar dolar, total aset (aktiva) sebesar 61,8 miliar dolar, dan keuntungan sebanyak 1,5 miliar dolar.
Produk yang dihasilkan perusahaan PT Wilmar Group, di antaranya Sania, Siip, Sovia, Fonta, Tulip, Arawana Brand, Wonder Farm, Fortune, Rupchanda, Mamador, Simply Dau Dau Nanh, Cheerose.
Kasus yang menyeret Wilmar
Catatan Monitorindonesia.com, ada lima terdakwa korporasi kasus CPO dari Wilmar Group yaitu PT Multimas nabati Asahan, PT Multinabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia. Mereka menyerahkan total Rp11.880.351.802.619 atau Rp11,8 triliun sebagai pengembalian uang negara ke Kejagung pada Selasa, 17 Juni 2025.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung saat itu, Harli Siregar menyampaikan, pengembalian uang itu menjadi yang terbesar dalam sejarah di kasus korupsi.
"Untuk kesekian kali kita melakukan rilis press conference terkait dengan penyitaan uang dalam jumlah yang sangat besar. Dan barangkali ini merupakan presscon terhadap penyitaan uang dalam sejarahnya, ini yang paling besar," kata Harli saat konferensi pers di Kejagung belum lama ini.
Di awal-awal kasus bergulir atau pada Juli 2022 lalu, Supardi yang menjabat sebagai Direktur Penyidikan (Dirdik) Jampidsus Kejagung sempat merinci bahwa kerugian keuangan negara dalam kasus CPO sekitar Rp6 triliun, ditambah perekonomian negara sekitar Rp12 triliun dan Ilegal gain alias pendapatan tidak sah sekitar Rp2 triliun. "Total Rp20 triliun lah," ujarnya.
Skandal korupsi juga menyasar ke pejabat-pejabat Wilmar Grup, setelah Parulian Tumanggor selaku mantan Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia Master, kini ada Muhammad Syafei (MSY) selaku Head of Social Security and License Wilmar Group.
Dia menjadi tersangka usai terlibat penyuapan hakim dalam kasus vonis ontslag atau lepas terdakwa korporasi CPO, yang menyediakan uang Rp60 miliar untuk memuluskan putusan.
Setelah kasus CPO, Satgas Pangan Polri menggeber Wilmar Group dengan penyelidikan kasus beras oplosan. Pihak perusahaan itu diperiksa pada Kamis, 10 Juli 2025 terkait dugaan pelanggaran mutu dan takaran.
Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dirtipideksus) sekaligus Kepala Satgas Pangan Polri Brigjen Helfi Assegaf mengurai, kasus beras oplosan berpotensi merugikan konsumen hingga Rp99 triliun per tahun.
"Terdapat potensi kerugian konsumen atau masyarakat per tahun sebesar Rp99,35 triliun, terdiri dari beras premium sebesar Rp34,21 triliun dan beras medium sebesar Rp65,14 triliun. Ini yang disampaikan oleh Bapak Menteri kemarin," ujar dia.
Dari hasil penyelidikan, tim turun ke lapangan untuk mengambil sampel beras di pasar tradisional dan modern. Sampel tersebut kemudian diuji di laboratorium untuk memastikan kesesuaiannya dengan standar mutu beras premium dan medium.
Namun sampai dengan hari ini, kita baru mendapatkan sembilan merek, dan lima merek yang sudah ada hasilnya, yaitu beras premium yang tidak memenuhi standar mutu,” kata Helfi.
Lima merek tersebut berasal dari tiga entitas usaha, yaitu PT PIM dengan merek Sania; PT FS dengan merek Setra Ramos Merah, Setra Ramos Biru, dan Setra Pulen; serta Toko SY dengan merek Jelita dan Anak Kembar.
"Dari hasil penyelidikan tersebut, penyidik mendapatkan fakta bahwa modus operandi yang dilakukan oleh para pelaku usaha yaitu melakukan produksi beras premium dengan mutu yang tidak sesuai dengan standar yang tertera pada label kemasan. Mereka menggunakan mesin produksi baik modern maupun tradisional," ujarnya.
Tidak mau ketinggalan, Kejagung melalui tim Satuan Tugas Khusus (Satgasus) Penanganan dan Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Korupsi (Satgassus P3TPK) melayangkan panggilan pemeriksaan terhadap enam produsen beras atas perkara serupa, salah satunya Wilmar Group. Mereka diminta menghadap penyidik pada Senin, 28 Juli 2025.
Wilmar Group harus disanksi berat!
Pakar hukum pidana dari Universitas Borobudur (Unbor) Hudi Yusuf, begitu disapa Monitorindonesia.com, Jumat (11/7/2025) menilai praktik beras oplosan sangat merugikan masyarakat, terutama di tengah kondisi ekonomi yang sulit.
"Praktek ini dapat mengakibatkan biaya hidup menjadi tinggi. Perbuatan ini tidak pantas dilakukan saat ekonomi sedang tidak baik-baik saja," kata Hudi sembari menegasakan Wilmar Group harus diberikan sanksi tegas jika terbukti bersalah dalam kasus beras oplosan.
Mirisnya, Wilmar Group sebelumnya pernah terjerat kasus korupsi terkait pemberian fasilitas ekspor CPO dan produk turunannya pada 2022, termasuk suap dalam pengkondisian perkara putusan lepas (onslag) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang ditangani Kejaksaan Agung.
"Karena itu, seyogyanya kepada 'alumni' kasus CPO ini diberikan sanksi yang berbeda dari hukuman yang pernah ada agar memiliki efek jera bila terbukti bersalah. Banyak pengusaha yang memiliki uang banyak dapat saja melakukan sesuatu untuk meringankan putusan," katanya.
Maka, tegasnya, Wilmar Group yang melakukan dugaan pelanggaran secara berulang harus diberi hukuman yang benar-benar memberi efek jera. Bahklan pencubatan izin usahanya kudu dilakukan.
"Seyogyanya diberikan putusan yang berbeda seperti tidak dapat izin untuk berusaha di bidang yang sama, pembubaran perusahaan, dan lain-lain tanpa ada keringanan dalam bentuk apa pun. Saya berpendapat sepakat dengan hal itu," demikian Hudi. (an)
Topik:
Wlmar Group Beras Oplosan CPO Korupsi Minyak Goreng Kejagung Polri KPK