KPK Didesak Periksa Eks Kepala BPPN I Putu Ary Suta soal Dugaan Patgulipat Akuisisi BCA

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 8 September 2025 09:07 WIB
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) (Foto: Dok MI/Istimewa)
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) (Foto: Dok MI/Istimewa)

Jakarta, MI - Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK didesak agar segera memeriksa mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) I Putu Ary Suta terkait dugaan patguilipat akuisisi 51 persen saham BCA oleh Djarum Group pada 2002, yang harganya terlalu murah. Kasus ini berpotensi merugikan negara triliunan rupiah.

Dalam proses akuisisi yang sempat diselidiki Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam LK), Kepala BPPN I Putu Gede Ary Suta tiba-ba menetapkan skema strategic placement, memenangkan Djarum Group sebagai pemilik 51 persen saham BCA dengan mahar hanya Rp5 triliun.  Jauh di bawah nilai apraisal Rp10 triliun dan nilai aset Rp117 triliun.

Padahal, setahun sebelumnya atau 2001, Bapepam mengendus adanya kejanggalan terkait murahnya harga jual BCA. Namun, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) justru menetapkan tender divestasi BCA berskema strategic placement. "Ya jika terlihat ada unsur kerugian negaranya KPK atau kejaksaan harus masuk," kata pakar hukum pidana Universitas Trisakti (Usakti) Abdul Fickar Hadjar, Minggu (7/9/2025).

Sementara pakar hukum pidana Universitas Borobudur (Unbor) Hudi Yusuf, menilai bahwa KPK dapat membuka kembali kasus tersebut jika terdapat kerugian negara. "Apabila di sana ada sesuatu yang mencurigakan terkait penjualan saham BCA maka KPK dapat membuka kembali kasus tersebut dan dapat memeriksa kepala BPPN saat itu," jelasnya.

Sebelumnya, Staf Ahli Utama Pansus BLBI DPD (Dewan Perwakilan Daerah) periode 2021-2023, Hardjuno Wiwoho mengungkap rekomendasi pansus yang menyebut, pemerintah telah menggelontorkan dana talangan BLBI sebesar Rp718 triliun kepada perbankan, termasuk BCA.

Masih menurut catatan Pansus BLBI DPD itu, kata Hardjuno, BCA memiliki utang sebesar Rp26,596 triliun. Karena, sejak 2003, BCA menerima bunga obligasi rekap sebesar Rp7 triliun per tahun. Di mana, jumlah obligasi rekap yang diterima BCA, mencapai Rp60,8 triliun.

“Kerugian negara akibat BLBI mencapai ratusan triliun rupiah. Kerugian dari dana BLBI yang belum kembali saja sebesar Rp110 triliun. Sedangan khusus BCA, nilainya lebih dari Rp26 triliun. Bukan angka yang kecil, pemerintah tidak boleh abai,” tegasnya.

Pada 2023, lanjut Hardjuno, Pansus BLBI DPD berupaya memanggil Robert Budi Hartono, selaku pemilik anyar BCA. Namun, Budi Hartono bersikap tidak proaktif karena hanya mengirimkan seorang staf ahlinya. Alasan Budi Hartono kala itu, harus mendampingi keluarganya yang sedang sakit.

"Intinya, Budi Hartono, tidak memiliki informasi soal dana BLBI yang diterima BCA sejak 1998. Dia (Budi Hartono) sah menjadi pemilik BCA, setelah akuisisi dari BPPN pada 14 Maret 2002. Dia mengelak dari kewajiban BCA di masa lalu. Dilemparnya semua ke pemilik lama," imbuhnya.

Hardjuno sepakat bahwa proses perpindahan tangan 51 persen saham dari pemerintah ke Djarum Group dengan mahar hanya Rp5 triliun, mencurigakan. Jauh di bawah apraisal Rp10 triliun, apalagi asetnya sebesar Rp117 triliun.

"Kalau misalnya harga saham 51 persen BCA dihitung dari nilai aset Rp117 triliun, sekitar Rp60 triliun, barulah wajar akuisisinya. Bagi dong cara berpikirnya," pungkas Sekretaris Jenderal (Sekjen) Gerakan Hidupkan Masyarakat Sejahtera (HMS) itu.

Sebelumnya, Sekretaris Perusahaan (Sekper) BCA, I Ketut Alam Wangsawijaya buru-buru membantah dugaan patgulipat pembelian (akuisisi) 51 persen saham BCA sebesar Rp5 triliun oleh Djarum Group. Termasuk dugaan kerugian negara yang dikaitkan dengan nilai pasar BCA sebesar Rp117 triliun.

“Angka Rp117 triliun yang sering disebut dalam narasi merujuk kepada total aset BCA, bukan nilai pasar perusahaan. Nilai pasar ditentukan oleh harga saham perusahaan di bursa efek, dikalikan dengan jumlah total saham yang beredar. Seiring BCA yang sudah melaksanakan Initial Public Offering (IPO) pada 2000, maka harga saham BCA terbentuk berdasarkan mekanisme pasar,” kata Ketut dalam keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Rabu (20/8/2025).

Dia bilang, nilai pasar sesungguhnya ditentukan harga saham di bursa, dikalikan dengan jumlah saham beredar. Sejak melantai di bursa pada 2000, harga saham BCA dibentuk sepenuhnya mekanisme pasar.

Ketut menerangkan, tender dilakukan Pemerintah RI melalui BPPN dengan cara transparan dan akuntabel. Dia juga meluruskan soal tudingan adanya utang kepada negara Rp60 triliun.

“Terkait informasi BCA yang memiliki utang kepada negara Rp60 triliun yang diangsur Rp7 triliun setiap tahunnya adalah tidak benar. Di dalam neraca, BCA tercatat memiliki aset obligasi pemerintah senilai Rp60 triliun, dan seluruhnya telah selesai pada tahun 2009 sesuai dengan ketentuan dan hukum yang berlaku,” tandasnya.

Topik:

KPK BCA