Jokowi Diduga Biang Kerok, Prabowo Jangan Terburu-buru Menyangkal Korupsi Whoosh!

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 10 November 2025 08:33 WIB
Jokowi dan Prabowo menjajal Kereta Cepat Jakarta-Bandung atau Whoosh (Foto: Istimewa)
Jokowi dan Prabowo menjajal Kereta Cepat Jakarta-Bandung atau Whoosh (Foto: Istimewa)

Jakarta, MI - Ekonom Ichsanuddin Noorsy dan Anthony Budiawan menilai "bau" dugaan korupsi Kereta Cepat Jakarta-Bandung atau Whoosh sangat menyengat.

Hal itu bisa ditelisik dari kejanggalan pertama—sama seperti yang diduga Anthony—ketika pemerintahan Joko Widodo lebih memilih China dengan dalih tidak meminta jaminan dari APBN untuk pembiayaan, tapi memasang suku bunga lebih tinggi.

"Nah, kajian keuangan ini siapa yang memutuskan sehingga berani mengambil keputusan politik memilih China? Ini yang saya bilang, timnya harus dibongkar," kata Ichsanuddin Noorsy dikutip pada Senin (10/11/2025).

Kejanggalan kedua, adalah saat terjadi pembengkakan biaya (cost overrun) sebesar US$1,2 miliar gara-gara perubahan konstruksi dan ketidakstabilan tanah.

"Pertanyaan besarnya seberapa jauh tim yang memutuskan memilih China, melakukan kajian secara mendalam sehingga argumentasi pembengkakan biaya itu bisa diterima?" jelasnya.

Kejanggalan ketiga, adanya dugaan pihak luar yang sengaja mengambil keuntungan dari perubahan keputusan pemerintah. "Dalam bisnis biasa ada sunk cost, tapi siapa yang menikmati dalam konteks perubahan [keputusan] itu? Maka dalam konteks pergeseran dari Jepang ke China, saya menangkap ada asimetric information yang sangat besar," bebernya.

Asimetri informasi adalah kondisi di mana salah satu pihak dalam suatu transaksi memiliki informasi yang lebih banyak, lebih baik, atau lebih relevan daripada pihak yang lainnya. Bahwa kondisi itu menciptakan ketidakseimbangan kekuatan yang bisa menyebabkan keputusan yang tidak efisien.

Ichsanuddin Noorsy tak mau menuduh siapa-siapa saja pihak yang patut bertanggung jawab atas dugaan penyalahgunaan kekuasan dalam proyek kereta cepat Whoosh.

Teruntuk Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK, menurutnya, harus segera menggandeng tim audit seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk membongkar ada-tidaknya kerugian negara maupun kerugian keuangan negara yang ditimbulkan dari keputusan itu.

Dan, jika terdapat kerugian, seberapa besar angkanya. "Makanya saya minta ada audit finansial. Meskipun audit untuk masuk ke China akan susah luar biasa, karena begitu mengaudit China Development Bank (CDB) kemungkinan akan tertutup. Karena ini menyangkut soal reputasi dan kredibilitas BUMN mereka [China]," ungkapnya.

Atas dasar kejanggalan-kejanggalan itulah, Ichsanuddin dan Anthony menyarankan Presiden Prabowo tidak terburu-buru menyangkal dugaan korupsi Whoosh. Sebab sikap tersebut bisa dianggap tidak konsisten terhadap janji pemberantasan korupsi.

Di sisi lain, pernyataan tersebut dapat menciptakan citra negatif pemerintahan Prabowo di mata publik. "Saya rasa ini akan membuat masyarakat banyak kecewa. Karena kasus hukumnya jadi tidak jelas, seolah-olah pemerintah yang sekarang mau menutup-nutupi dugaan korupsi rezim sebelumnya. Tak hanya itu, pasti akan ada efek politiknya berupa elektabilitas. Sebab rakyat akan melihatnya," ungkap Anthony.

Terlepas dari itu, Anthony menjabarkan pemerintah Indonesia dibebani oleh dua hal: utang pokok pinjaman dan bunga utang. Untuk utang pokok pinjaman, katanya, baru akan mulai dibayarkan pada 2033 atau setelah sepuluh tahun beroperasi. Sedangkan bunga utangnya, langsung dibayar begitu kereta cepat berjalan.

Hitungan Anthony, beban bunga utang yang ditanggung oleh PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) yang merupakan konsorsium perusahaan Indonesia adalah Rp1,2 triliun.

"Konsorsium Indonesia memegang saham 60%. Kalau total bunga utangnya Rp2 triliun, maka 60%-nya adalah Rp1,2 triliun. Tapi kelihatannya bunga utang itu tidak mungkin bisa [dibayar]. Makanya KAI selaku pemilik saham mayoritas dalam konsorsium minta tambahan dana, entah dari Danantara atau APBN," bebernya.

Adapun kalau ditambah dengan besaran utang pokok pinjaman, pemerintah Indonesia sedianya mesti mengeluarkan uang antara Rp3,8 triliun hingga Rp5 triliun.

Baginya, bunga utang yang sebesar Rp1,2 trilun saja sudah sangat membebani apalagi jika ditambahin utang pokok. "Tapi mungkin rezim sekarang berpikirnya [kewajiban membayar utang pokok] biar menjadi urusan pemerintah di tahun 2033. Yang penting sekarang aman dulu," tandasnya.

Jokowi biang kerok?

Anggota Dewan Pakar Gerakan Rakyat, Nandang Sutisna, menilai persoalan yang melanda proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) atau Whoosh tidak hanya disebabkan oleh kendala teknis dan pendanaan. 

Dia menyebut akar masalah proyek ini terletak pada pola kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang terlalu menekankan prinsip kecepatan dan kemudahan dalam pengambilan keputusan. Menurut Nandang, pendekatan seperti itu bisa efektif untuk proyek kecil yang membutuhkan eksekusi cepat, tetapi berisiko besar jika diterapkan pada proyek infrastruktur berskala besar dan kompleks.

Proyek sebesar ini semestinya dijalankan dengan perencanaan matang, kajian teknis dan finansial yang cermat, serta tata kelola yang kuat. Pendekatan yang terlalu cepat dan mudah justru menimbulkan kesan grasa-grusu dan menggampangkan,” ujar Nandang, Minggu (2/11/2025). 

Dia menduga keputusan yang terkesan terburu-buru tersebut dilandasi oleh ambisi Presiden Jokowi untuk menuntaskan sebanyak mungkin proyek strategis sebelum masa jabatannya berakhir. 

“Ada indikasi kuat bahwa Presiden ingin meninggalkan legacy besar di akhir pemerintahannya. Karena itu, banyak proyek dikebut tanpa perencanaan dan pengawasan memadai,” kata Nandang.

Nandang menambahkan, orientasi pada kecepatan menyebabkan kualitas perencanaan dan pengawasan menurun. Ia menilai banyak keputusan strategis diambil secara top-down, tanpa ruang yang cukup bagi kementerian teknis untuk memberikan masukan berbasis kajian.

Sebagai contoh, kata Nandang, proyek KCJB tetap dijalankan meski dua menteri teknis kala itu Ignasius Jonan (Menteri Perhubungan) dan Andrinof Chaniago (Menteri PPN/Kepala Bappenas) telah menyatakan penolakan karena proyek dianggap tidak layak secara finansial. 

“Bahkan pandangan dari ahli kebijakan publik Agus Pambagyo, yang sejak awal mengingatkan risiko besar proyek ini, juga diabaikan. Ini memperlihatkan bagaimana keputusan penting lebih didorong oleh keyakinan pribadi daripada hasil kajian teknokratik,” ucapnya. 

Nandang juga menyoroti perubahan skema bisnis proyek KCJB yang dinilai tidak konsisten. Menurutnya, proyek yang awalnya berbasis kerja sama antar-perusahaan (business to business atau B to B) antara konsorsium BUMN Indonesia dan mitra dari Tiongkok, justru berubah menjadi skema campuran yang disebut B to B plus. 

“Desain awalnya murni B to B, artinya tidak ada jaminan keuangan dari pemerintah, tetapi karena proyek bermasalah dan berpotensi gagal, pemerintah akhirnya menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 93 Tahun 2021 yang memberikan jaminan menggunakan dana APBN,” jelas Nandang. 

Ia menilai perubahan skema tersebut membuat proyek Whoosh tidak lagi murni komersial dan justru menambah beban fiskal negara. “Pemerintah masuk untuk menyelamatkan agar proyek selesai, tetapi akibatnya justru menambah kerugian dan masalah yang lebih besar,” tambahnya. 

Biaya Bengkak dan Keterlambatan Proyek Menurut Nandang, keputusan yang diambil terburu-buru berujung pada lemahnya studi kelayakan serta berbagai kendala di lapangan, mulai dari pembebasan lahan lamban, revisi desain, hingga perubahan rute. 

Akibatnya, proyek KCJB mengalami keterlambatan hingga empat tahun atau sekitar 133 persen dari rencana awal, dengan pembengkakan biaya dari sekitar US$ 6,05 miliar menjadi US$ 7,2 miliar — setara hampir Rp 20 triliun. 

“Fakta ini membuktikan bahwa proyek Whoosh sejak awal sudah diperkirakan akan merugi. Dengan cost overrun sekitar 20 persen, kerugian menjadi jauh lebih besar dari yang diperhitungkan,” ujarnya. 

Lebih lanjut, Nandang menegaskan bahwa persoalan di proyek Whoosh bukanlah kasus tunggal. Pola serupa juga terjadi di banyak BUMN yang ditugaskan menjalankan proyek mercusuar tanpa perhitungan bisnis realistis. 

“Masalah seperti ini tidak hanya terjadi di PT KAI. Banyak BUMN lain mendapat tekanan politik untuk menjalankan proyek besar tanpa kesiapan perencanaan dan kajian ekonomi yang matang,” tuturnya. 

Dia berharap pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto menjadikan pengalaman ini sebagai momentum pembenahan total tata kelola BUMN. 

“Presiden Prabowo harus berani membenahi warisan masalah dari era sebelumnya. BUMN harus dibersihkan dari proyek-proyek tidak layak agar bisa fokus pada efisiensi dan pelayanan publik,” tegasnya. 

Pun, Nandang mengingatkan bahwa ukuran keberhasilan pemimpin bukan pada banyaknya proyek mercusuar yang diresmikan, melainkan pada kemampuan menciptakan sistem pemerintahan yang sehat dan berkelanjutan. 

“Legacy terbaik seorang pemimpin bukanlah deretan bangunan megah atau panjang rel yang ditinggalkan, tetapi sistem pemerintahan yang efisien, transparan, dan berpihak pada rakyat,” pungkasnya.

Topik:

Jokowi Prabowo Kereta Cepat Whoosh KPK Korupsi Whoosh Korupsi Kereta Cepat