Tiga Alasan Hakim Bisa Bebaskan Richard Eliezer

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 21 Januari 2023 22:52 WIB
Jakarta, MI - Ada tiga alasan Hakim bisa membebaskan atau memvonis lebih ringan terhadap Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu alias Bharada E terdakwa kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J. Menurut Praktisi Hukum Pidana Boris Tampubolon yang pertama adalah status Bharada E  justice collaborator (JC) dalam pengungkapan kasus pembunuhan berencana yang diotaki Ferdy Sambo. Seharusnya Richard sapaan akrabnya dilindungi dengan Pasal 10 A ayat 3 UU Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) 31/2014. "Terdakwa sebagai saksi pelaku, dapat diberikan penghargaan atas kesaksiannya dalam pengungkapan kejahatannya," ujar Boris dikutip pada Sabtu (21/1). Penghargaanya dapat berupa keringanan dalam penjatuhan pidana. Bisa berupa pidana percobaan, pidana bersyarat khusus, atau penjatuhan pidana paling ringan dari semua terdakwa yang terkait. “Status JC, seharusnya dapat menjadi alasan hakim memvonis Richard lebih ringan dari semua terdakwa,” terang Boris. Yang kedua, lanjut Boris, dengan melihat peran dan perbuatan Richard dalam rangkaian peristiwa penembakan Brigadir J itu. Fakta persidangan yang terbukti bahwa perbuatan Richard menembak Brigadir J di Duren Tiga 46, atau perintah dari terdakwa Ferdy Sambo sebagai atasan, sementara Richard sebagai ajudannya saat itu. Menurut Boris,Pasal 51 ayat (1) KUH Pidana menerangkan tentang perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan atasan, atau penguasa, tak dapat dipidana. Kemudian Pasal 51 ayat (2) KUH Pidana menyebutkan perintah jabatan tanpa wewenang, yang memang tak menghapuskan pidana. "Namun lanjutan aturan ayat (2) tersebut mengatakan, penghapusan pidana itu tetap akan ada, jika yang menerima perintah, dengan i’tikad baik mengira perintah tersebut diberikan dengan kewenangan, yang masuk dalam lingkungan pekerjaannya," lanjut Boris. Dalam Pasal 51 KUH Pidana itu sebetulnya untuk melindungi orang-orang yang berada dalam posisi sebagai bawahan dalam satu peristiwa tindak pidana. "Richard, adalah ajudan Ferdy Sambo paling junior dengan pangkat Bharada. Sementara perintah penembakan itu berasal dari ucapan Ferdy Sambo dengan kepangkatan yang lebih tinggi," bebernya. Maka dari itu, jika tetap memidanakan seorang bawahan yang menjalankan perintah atasan, meskipun perintah atasan tersebut diketahui melanggar aturan, dan tak sesuai kewenangannya itu, bagi Boris itu adalah hal yang keliru. Karena, jika perintah atasan itu sesuai aturan, dan kewenangannya, maka tak akan pernah terjadi masalah hukum. “Justru keberadaan Pasal 51 KUH Pidana itu untuk melindungi orang-orang seperti Richard ini yang posisinya sebagai bawahan dengan kepangkatan paling rendah, dan tidak bisa melawan terhadap komandan atau atasannya,” ungkapnya. Sebab itu, menurut Boris, majelis hakim dapat mengambil kesimpulan yang sama atas interpretasi dan substansi Pasal 51 KUH Pidana tersebut dengan meniadakan pidana terhadap Richard. Yang ketiga adalah terkait dengan kondisi psikologisnya saat melaksanakan perintah pembunuhan tersebut. Pada fakta persidangan dijelaskan tentang kondisi Richard yang menembak Brigadir J, karena berada di bawah tekanan, atau adanya daya paksa dari yang memberikan perintah adalah atasannya. Dalam Pasal 48 KUH Pidana memastikan tak ada pidana bagi seseorang yang melakukan tindak pidana, namun berada dalam tekanan, atau pengaruh paksa orang lain. Substansi Pasal 48 KUH Pidana tersebut, terang Boris, menyangkut alasan pemaaf atas perbuatan pidana yang dilakukan seseorang. Dalam hal ini terkait dengan sikap batin dari pelaku. "Seseorang hanya dapat dipidana jika memang ada niat jahat atau mens rea, atas perbuatannya (actus reus)," tegas Boris. Boris pun menilai dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir J ini tidak tampak bukti bahwa Richard melakukan perbuatan menembak Brigadir J, atas dasar niat jahat. Melainkan perbuatan itu dilakukan karena paksaan, dan keterpaksaan. Jadi, tambah Boris, jika Hakim berpendapat Richard melakukan penembakan karena berada di bawah tekanan, baik fisik maupun psikis, dan dilakukan karena daya paksa dari Ferdy Sambo, maka sudah sepantasnya Richard dibebaskan. "Richard ini tidak ada niat jahat untuk merampas nyawa almarhum Brigadir J. Maka hakim dapat melepaskan, dan tidak memidanakan terdakwa Bharada E,” pungkas Boris. Dalam kasus ini, baru terdakwa pembunuhan rencana yang telah dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yaitu Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E dituntut 12 tahun penjara, Putri Candarwathi, Kuat Ma'ruf dan Ricky Rizal Wibowo dituntut 8 tahun penjara, Sementara intelectual dader tak lain adalah Ferdy Sambo dituntut penjara seumur hidup. (An)