Catat, Pemerintah Wajib Bayar Utang Minyak Goreng Rp 800 Miliar

Rizky Amin
Rizky Amin
Diperbarui 12 Mei 2023 23:23 WIB
Jakarta, MI - Kejaksaan Agung telah mengeluarkan legal opinion (LO) terkait pembayaran utang minyak goreng. Hasilnya, pemerintah tetap berkewajiban untuk membayarkan utang tersebut kepada pelaku usaha minyak goreng. Adapun total utang yang harus dibayarkan pemerintah berdasarkan hasil verifikasi PT Sucofindo selaku verifikator adalah sebesar Rp800 miliar. “Isinya (LO), pemerintah masih punya kewajiban untuk membayarkan tetapi tetap berdasarkan ketentuannya,” kata Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag), Isy Karim, Jumat (12/5). Isy menyebut bahwa besaran total utang tersebut jauh lebih besar dibanding klaim dari pihak Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) yang hanya sebesar Rp344 miliar. Hal itu karena Aprindo hanya menghitung tagihan untuk para peritel. Sementara besaran total utang hasil verifikasi merupakan hasil perhitungan utang secara keseluruhan, baik dari sisi peritel maupun produsen minyak goreng. “Kalau Aprindo kan melalui modern trade, sedangkan ada yang general trade. Jadi gabungan itu agak lumayan besar sekitar Rp800 miliar, itu gabungan,” kata Isy. Terkait dengan besaran Rp800 miliar tersebut, Isy belum bisa memastikan berapa yang harus diganti kepada peritel. Sebab menurutnya, angka Rp344 miliar merupakan klaim dari pengusaha ritel saja. Sedangkan menurut Isy, utang minyak goreng yang merupakan selisih harga atau refraksi program minyak goreng satu harga itu seharusnya diklaim oleh produsen terlebih dahulu. Kemudian baru produsen yang mengganti selisih harga ke peritel. “Rp 344 miliar itu klaim dari Aprindo. Yang klaim secara sesuai dengan mekanisme yang mengklaim seharusnya produsen, produsen mengklaim Aprindo,” pungkasnya. Sebelumnya, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) meminta pemerintah segera membayar utang selisih harga minyak goreng (rafaksi) kepada pengusaha ritel. Mengingat masalah utang minyak goreng ini berpotensi merugikan masyarakat kedepannya. Direktur Ekonomi KPPU Mulyawan Ranamanggala mengatakan untuk proses pembayaran itu diperlukan adanya aturan penguat dari Kementerian Perdagangan (Kemendag). Pasalnya, Permendag Nomor 3 Tahun 2021 mengenai selisih harga minyak goreng sudah tidak berlaku lagi. Diketahui, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) mengancam akan melakukan boikot atas penjualan minyak goreng di pasaran jika rafaksi tak kunjung dibayarkan. Mulyaman menilai hal ini bisa berdampak pada kerugian masyarakat lebih jauh kedepannya. "Untuk itu, KPPU menyarankan Pemerintah c.q. Kementerian Perdagangan mengeluarkan regulasi yang isinya adalah melaksanakan kewajibannya untuk membayar pelaku usaha yang telah selesai diverifikasi sesuai dengan Permendag No. 3 Tahun 2022. Persoalan ini patut menjadi prioritas Pemerintah guna menghindari kerugian atau dampak yang lebih luas kepada masyarakat," ujar dia, dalam keterangan resmi, Kamis (11/5). "Terlebih minyak goreng merupakan salah satu komoditas yang sangat dibutuhkan masyarakat, sehingga adanya gangguan dalam pasokan akan mengakibatkan kenaikan harga minyak goreng dan pada akhirnya akan sangat berpengaruh terhadap tingkat inflasi," sambung Mulyawan. Mulyawan mengatakan adanya gangguan kebijakan berkaitan dengan rafaksi dapat menimbulkan iklim usaha yang tidak kondusif, karena tidak memberikan kesempatan berusaha yang sama bagi para pelaku usaha. Hal ini bertentangan dengan salah satu tujuan pembentukan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. "KPPU melihat kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan rafaksi (selisih antara Harga Acuan Keekonomian/HAK dengan Harga Eceran Tertinggi/HET), yakni Permendag No. 3 Tahun 2022, berdasarkan penilaian menggunakan Daftar Periksa Kebijakan Persaingan Usaha (DPKPU) belum mempertimbangkan aspek efisiensi dalam pelaksanaannya," tuturnya. KPPU mencatat, berdasarkan informasi dari Pemerintah, HAK minyak goreng kemasan bulan Januari 2022 adalah sebesar Rp17.260, yang berada di bawah harga rata-rata Januari 2022 sebesar Rp20.914. Sementara berdasarkan Permendag No. 3 Tahun 2022, HET minyak goreng kemasan adalah sebesar Rp14.000. Peraturan tersebut mengatur Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) melakukan pembayaran subsidi dari selisih HAK dan HET yang ditetapkan sebagai akibat pelaksanaan kebijakan satu harga minyak goreng kemasan yakni Rp14.000. "Dengan tidak dilaksanakannya kebijakan Permendag No. 3 Tahun 2022, diperkirakan terdapat tagihan rafaksi sebesar Rp1,1 triliun yang tidak dibayarkan," terangnya. Tagihan tersebut berasal dari produsen minyak goreng dan distributor yang mencapai lebih kurang Rp700 miliar dan sebesar Rp344.355.425.760 kepada sekitar 600 korporasi ritel modern di seluruh Indonesia. Dalam hal ini pelaku usaha mengalami dua kali kerugian, yakni selisih HAK dengan harga pasar dan selisih harga HAK dengan HET. Saat ini, Kementerian Perdagangan dan BPDPKS tidak dapat melakukan pembayaran karena peraturan di atas yang menjadi dasar pembayaran, telah dicabut dan tidak terdapat peraturan peralihan yang mengatur proses pembayaran yang diamanatkan dalam peraturan tersebut. Pemerintah masih meminta pendapat hukum dari Kejaksaan Agung untuk mengeluarkan kebijakan tersebut. "KPPU telah memanggil dan mendengarkan keterangan dari Kementerian Perdagangan dan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) kemarin tanggal 9 Mei 2023, dan disepakati bersama oleh kedua pihak untuk menyampaikan ke media bahwa, terkait pembayaran penyediaan minyak goreng kemasan dengan skema pembayaran dana BPDPKS masih menunggu pendapat hukum dari Kejaksaan Agung," bebernya. Selain itu, KPPU melihat bahwa gap atau celah antara harga CPO dan harga minyak goreng di Indonesia semakin besar. Dari data rasio harga CPO/minyak goreng, dicatat bahwa rata-rata rasio pada tahun 2021 sebesar 25 persen, sementara pada tahun 2023 menunjukkan angka sebesar 40 persen. Sehingga antara dua tahun tersebut, diestimasi potensi kerugian konsumen dengan adanya kenaikan harga minyak goreng akibat sentimen tersebut mencapai Rp457 miliar. Kerugian masyarakat ini akan terus meningkat, jika harga minyak goreng meningkat sebagai akibat upaya pelaku usaha yang membatasi akses atau penjualan minyak goreng kepada masyarakat. (LA)

Topik:

Kejagung minyak goreng