Aturan BPJH Produk Tanpa Sertifikasi Halal jadi Ilegal, DPR: Ngawur dan Sembrono!

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 12 Oktober 2025 2 jam yang lalu
Anggota Komisi VI DPR RI Mufti Anam (Foto: Dok MI/Ist)
Anggota Komisi VI DPR RI Mufti Anam (Foto: Dok MI/Ist)

Jakarta, MI - Pernyataan Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), Ahmad Haikal Hasan yang menyebut seluruh produk makanan, minuman, obat hingga kosmetik yang belum mengantongi sertifikat halal akan dikategorikan sebagai barang ilegal mulai 2026 disebut ngawur dan sembrono.

"Saya menilai, pernyataan bahwa mulai tahun 2026 semua produk tanpa sertifikasi halal akan dianggap sebagai produk ilegal adalah pernyataan yang ngawur dan kebijakan yang sembrono," kata Anggota Komisi VI DPR RI Mufti Anam, Minggu (12/10/2025).

Sebelumnya, Kepala BPJPH Ahmad Haikal Hasan mengatakan seluruh produk makanan, minuman, obat hingga kosmetik yang belum mengantongi sertifikat halal akan dikategorikan sebagai barang ilegal mulai 2026.

Menurut Haikal, UU Nomor 33 Tahun 2014 mengamanahkan semua makanan, minuman, termasuk di dalamnya obat, kosmetik dan lain sebagainya wajib memiliki sertifikat halal. Ia juga menyerukan, batas sertifikasi halal bagi produk-produk tersebut diatur dalam PP Nomor 42 Tahun 2024 Pasal 160 dan 161.

Pelaku usaha mikro dan kecil disebut wajib memiliki sertifikasi halal untuk produk makanan, minuman, hasil sembelihan, dan jasa penyembelihannya mulai 17 Oktober 2019 sampai 17 Oktober 2026. Ketentuan terkait jenis-jenis produk lainnya lebih lanjut diuraikan pada Pasal 161.

BPJPH juga menyebut pemerintah akan memberi sanksi berupa surat peringatan, teguran serta pencabutan izin usaha demi menegakan hukum yang berlaku terkait aturan sertifikasi halal. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin kualitas produk yang akan dikonsumsi masyarakat.

Haikal juga menuturkan, label halal tak lagi menyangkut urusan agama, melainkan standar global yang menunjukkan kualitas, keamanan, serta nilai tambah suatu produk.

Menurut Mufti Anam, pernyataan seperti itu tidak hanya menunjukkan ketidaksiapan pemerintah dalam mengelola industri halal nasional, tapi juga berpotensi mematikan jutaan pelaku UMKM yang hari ini sedang berdarah-darah menjaga usahanya tetap hidup di tengah tekanan ekonomi global.

"Kita semua sepakat bahwa halal itu penting, bahkan wajib. Tapi kebijakan besar seperti ini tidak bisa dijalankan dengan pendekatan maklumat dan ancaman," katanya.

Sebelum bicara pemaksaan, negara harus bercermin: apakah ekosistem sertifikasi halal di Indonesia sudah siap? Apakah prosesnya sudah sederhana, murah, dan bebas pungli? Apakah aparat dan lembaganya sudah punya kredibilitas? 

"Karena kenyataannya, banyak pelaku usaha yang ingin taat, tapi tidak mampu," lanjut Mufti.

Lantas dia menyinggung proses sertifikasi halal yang rumit dan mahal sehingga membebani pedagang kecil. Bahkan, Mufti mendengar sendiri biaya dan birokrasi sertifikasi halal masih menjadi momok, karena banyak oknum dan makelar bermain di tengah sistem yang tidak transparan.

"Bayangkan pedagang gorengan di pinggir jalan, penjual bakso keliling, warung nasi padang, toko kelontong di kampung, sampai penjual bumbu di pasar tradisional, semua itu tulang punggung ekonomi rakyat," jelasnya.

"Apakah kita tega menyebut mereka 'ilegal' hanya karena belum punya sertifikat halal yang prosesnya rumit dan mahal? Kebijakan seperti ini bukan memberdayakan rakyat, tapi menakuti rakyat kecil yang justru paling loyal pada produk dalam negeri," imbuhnya. 

Topik:

DPR BPJH