Menaikkan Tarif PPN 12% Sama dengan Berburu di Kebun Binatang?


Jakarta, MI - Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan bahwa kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen dari sebelumnya 11 persen mulai berlaku tahun depan, tepatnya pada 1 Januari 2025.
PPN merupakan jenis pajak yang dikenakan atas setiap transaksi jual beli barang atau jasa yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Meskipun beban pajak secara langsung ditanggung oleh konsumen akhir, namun kewajiban memungut, menyetor, dan melaporkan PPN tetap berada di pundak PKP.
Dalam sistem PPN, pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) berkewajiban memungut PPN dari konsumen, menyetorkannya ke negara, dan melaporkan jumlah PPN yang telah dipungut.
Cara menghitung PPN adalah mengalikan harga barang atau jasa dengan tarif PPN yang berlaku.
Saat ini, tarif PPN di Indonesia adalah 11%. Apabila konsumen membeli pulsa atau kartu perdana di minimarket dengan harga Rp100.000, maka PPN yang harus dibayarkan konsumen itu adalah Rp100.000 x 11% = Rp11.000.
Harga pulsa atau kartu perdana itu pun menjadi Rp111.000 setelah PPN.
Namun perlu diketahui bahwa tidak semua barang atau jasa dikenai PPN.
Merujuk pada Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), berikut adalah barang dan jasa yang tidak dikenai PPN:
Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya.
Meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering, yang merupakan objek pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah.
Uang dan emas batangan untuk kepentingan cadangan devisa negara dan surat berharga.
Jasa keagamaan
Jasa kesenian dan hiburan
Jasa perhotelan (sewa kamar/ruangan)
Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum
Jasa penyediaan tempat parkir
Jasa boga dan katering
Barang kebutuhan pokok (beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu tanpa tambahan gula, buah-buahan, sayur-sayuran).
Dan lain-lain.
Patut dicatat bahwa sebagian barang dan jasa yang tidak dikenai PPN ini masih tetap menjadi objek pajak daerah, dan retribusi daerah.
Kini PPN disebut akan naik di Januari 2025. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah pertama kali mengatur mengenai tarif PPN sebesar 10%.
Besaran tarif ini kemudian dapat mengalami perubahan sesuai dengan peraturan pemerintah, dengan batas minimum 5% dan maksimum 10%. Ketentuan ini bertahan cukup lama meskipun Undang-Undang tersebut mengalami revisi pada tahun 2009.
Ketika menjabat presiden, Joko Widodo alias Jokowi melakukan perubahan signifikan terhadap tarif PPN melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Menurut UU HPP, tarif PPN dinaikkan secara bertahap. Mulai April 2022, tarif PPN ditetapkan sebesar 11%. Selanjutnya, pada tahun 2025, tarif PPN akan kembali naik menjadi 12%.
Ketika PPN naik menjadi 11% pada tahun 2022, sambutan negatif dari masyarakat juga muncul.
Pun para pengamat ekonomi menyebut kenaikan PPN menjadi 11% itu tidak tepat di tengah tekanan hidup masyarakat sudah berat dengan kenaikan harga kebutuhan pokok. Pemerintah, pada saat itu, lalu memberikan bantuan sosial untuk pengusaha kecil untuk merespons kenaikan tersebut.
Galih Pambudi, 39 tahun, adalah pedagang kecil asal Yogyakarta yang sempat menerima bantuan sosial dua tahun lalu. Menghadapi kenaikan PPN lagi tahun depan, Galih mengaku dilema.
“Belakangan dagangan mulai sepi, tidak bisa membayangkan kalau awal tahun PPN jadi naik, semua juga akan ikut naik [harganya],” ujarnya.
Meski muncul kritik dari analis dan pengusaha, pemerintah tak goyah menaikkan tarif PPN menjadi 12% pada 1 Januari 2025, seperti yang ditegaskan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Kamis (14/11/2024) lalu.
Sri Mulyani menyatakan rencana kenaikan PPN bakal tetap dijalankan sesuai mandat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Kebijakan PPN 12 persen termaktub dalam Pasal 7 ayat 1 UU Nomor 7 Tahun 2021 yang disusun oleh Kabinet Indonesia Maju di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Dalam beleid itu, disebutkan bahwa PPN dinaikkan secara bertahap, yakni 11 persen pada 1 April 2022 dan 12 persen pada 1 Januari 2025.
Menkeu menyebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus dijaga kesehatannya, sekaligus mampu merespons berbagai krisis.
“Seperti ketika terjadinya krisis keuangan global dan pandemi, itu kami gunakan APBN,” kata Galih pedagang kecil asal Yogyakarta itu.
Di sisi lain, Sri Mulyani mengatakan bahwa Kementerian Keuangan akan memberikan sosialisasi kepada masyarakat terkait PPN ini. “Kami perlu menyiapkan agar [PPN 12%] bisa dijalankan tapi dengan penjelasan yang baik,” katanya.
Rencana tarif PPN naik menjadi 12% per 2025 sebelumnya sudah diungkapkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pada Maret 2024.
Airlangga yang saat itu menjadi Menteri Koordinator pada pemerintahan Presiden Jokowi, menyebut untuk kenaikan tarif PPN akan dibahas lebih lanjut dan dilaksanakan oleh pemerintahan selanjutnya.
Airlangga kembali menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian di kabinet Presiden Prabowo Subianto.
Pada awal Oktober, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia mengalami deflasi 0,12% pada September 2024. Ini adalah deflasi kelima berturut-turut selama 2024 dan menjadi yang terparah dalam lima tahun terakhir pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Inflasi bulan Oktober 2024 seiring pergantian pemerintahan sebesar 0,08% mengakhiri tren deflasi yang terjadi sejak Mei 2024, menurut data BPS.
Luhur Bima, peneliti dari lembaga pengkajian ekonomi SMERU, berpendapat bahwa masyarakat khususnya kelas menengah berpotensi merasakan dampak negatif dari kenaikan harga-harga barang yang merupakan efek turunan dari kenaikan PPN ini.
“Masyarakat menengah merupakan kelompok paling rentan terdampak karena umumnya bantuan-bantuan pemerintah akan memprioritaskan kelompok miskin,” kata Luhur.
“Sejauh ini belum banyak instrumen pemerintah dalam menopang kesejahteraan kelompok menengah yang sangat rentan jatuh menjadi kelompok miskin ketika harga barang-barang meningkat akibat kenaikan PPN ini," tambahnya.
Sementara Ariyo DP Irhamna, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai masyarakat kemungkinan akan lebih selektif dalam membeli barang dan jasa, khususnya barang-barang non-esensial.
“Padahal, deflasi yang berturut terjadi dalam beberapa bulan terakhir ini menjadi sinyal bahwa daya beli masyarakat sedang anjlok,” ujarnya.
Batalkan saja!
Namun demikian,ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira meminta pemerintah untuk membatalkan kenaikan PPN 12 persen itu.
Dia menilai, kenaikan tarif PPN jika diakumlasi dalam 4 tahun terakhir, bukanlah naik sebesar 12 persen, melainkan menjadi 20 persen.
"Itu kalau diakumulasi dalam 4 tahun terakhir sebenarnya naiknya 20 persen bukan 2 persen. Dari 10 persen ke 11 persen kemudian ke 12 persen total 20 persen naiknya," kata Bhima, Jumat (15/11/2024).
Tak hanya itu, dia juga menilai, bahwa kenaikan tarif PPN cenderung sangat tinggi bahkan jika dibanding akumulasi kenaikan inflasi tahunan. Menurutnya, efek kenaikan PPN 12 persen akan langsung menaikkan inflasi umum.
Pasalnya, kata Bhima, berbagai barang akan lebih mahal harganya. Sehingga ke depan, ia memproyeksikan bahwa inflasi 2025 bisa mencapai 4,5-5,2 persen secara tahunan atau year on year (YoY).
Bhima mendorong, penyesuaian tarif PPN ini dibatalkan. Karena, kelas menengah sebelumnya sudah dihantam kenaikan harga pangan, dan sulitnya cari pekerjaan. Namun, masih harus dibebani oleh PPN 12 persen dan berpotensi akan membuat belanja masyarakat semakin turun.
"Ke depan masih ditambah penyesuaian tafif ppn 12 persen. Khawatir belanja masyarakat bisa turun, penjualan produk sekunder seperti elektronik, kendaraan bermotor, sampai kosmetik/skincare bisa melambat," jelasnya.
Bhima menilai, sasaran PPN ini adalah kelas menengah dan diperkirakan 35 persen konsumsi rumah tangga nasional bergantung dari konsumsi kelas menengah.
Imbas lain, kata Bhima, tentu akan berdampak pada pelaku usaha karena penyesuaian harga akibat naiknya tarif PPN berimbas ke omzet. Hingga akhirnya ada penyesuaian kapasitas produksi hingga jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan menurun.
Ia juga khawatir, jika tarif PPN masih ditetapkan naik bisa jadi memicu PHK di berbagai sektor. Itu sebabnya, kata dia, Pemerintah harus memikirkan kembali rencana kenaikan tarif ppn 12 persen karena akan mengancam pertumbuhan ekonomi yang disumbang dari konsumsi rumah tangga.
Bhima juga memastikan bahwa kenaikan tarif PPN bukan solusi naikkan pendapatan negara. Jika konsumsi melambat maka pendapatan negara dari berbagai pajak termasuk ppn justru terpengaruh.
"Sebaiknya rencana penyesuaian tarif PPN dibatalkan. Kalau mau dorong rasio pajak perluas dong objek pajaknya bukan utak-atik tarif. Menaikkan tarif pajak itu sama dengan berburu di kebun binatang alias cara paling tidak kreatif," jelas Bhima.
Ia menilai, pemerintah sebaiknya mulai membuka pembahasan pajak kekayaan (wealth tax) dengan potensi Rp86 triliun per tahun. "Pajak anomali keuntungan komoditas (windfall profit tax) dan penerapan pajak karbon sebagai alternatif dibatalkannya PPN 12 persen," pungkasnya.
Kendati, perlu diketahui lagi bahwa Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan rencana kenaikan tarif pajak PPN) menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025 bakal tetap dijalankan sesuai mandat undang-undang (UU).
Salah satu pertimbangannya adalah anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang harus dijaga kesehatannya, dan pada saat yang sama, juga mampu berfungsi merespons berbagai krisis.
Namun, dalam implementasinya nanti, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan berhati-hati dan berupaya memberikan penjelasan yang baik kepada masyarakat.
"Sudah ada UU-nya. Kami perlu menyiapkan agar itu (PPN 12 persen) bisa dijalankan tapi dengan penjelasan yang baik," demikian Ani sapaannya. (wan)
Topik:
Kemenkeu Menkeu Sri Mulyani Pajak PPN Kenaikan PPNBerita Sebelumnya
Kenaikan PPN 12%: Pengusaha Khawatir Berimbas pada Gaji Karyawan dan Stabilitas Ekonomi
Berita Selanjutnya
Harga Cabai Rawit Merah Naik Rp43.260 per kg
Berita Terkait

DJP Akui Coretax Belum Optimal, Janji Sistem Lancar dalam 3 Bulan
25 September 2025 19:13 WIB

KPK dan Kemenkeu Kejar Tunggakan Pajak Rp 60 T, 200 WP Sia-siap Saja!
24 September 2025 19:51 WIB

KPK Siap Bantu Menkeu Optimalkan Pendapatan Negara dari Penerimaan Pajak
24 September 2025 15:29 WIB