Revolusi Garam Lokal: Industri Farmasi Indonesia Mulai Tinggalkan Impor

Rolia Pakpahan
Rolia Pakpahan
Diperbarui 18 Januari 2025 11:16 WIB
Industri farmasi Indonesia akan Beralih Menggunakan Garam Lokal Sebagai Bahan Baku Obat (Foto: Repro)
Industri farmasi Indonesia akan Beralih Menggunakan Garam Lokal Sebagai Bahan Baku Obat (Foto: Repro)

Jakarta, MI - Industri farmasi Indonesia kini siap beralih menggunakan garam lokal sebagai bahan baku obat dan infus, seiring dengan kemampuan pabrikan dalam negeri yang telah dapat memproduksi garam dengan kualitas yang sesuai kebutuhan. 

Sebelumnya, pasokan garam untuk sektor farmasi, termasuk untuk kebutuhan cuci darah, sebagian besar masih mengandalkan impor. Namun, pemerintah telah melarang dan membatasi impor garam lewat Peraturan Presiden (Perpres) 126/2022 tentang Percepatan Pembangunan Pergaraman Nasional.  

Sekjen Asosiasi Biofarmasi dan Bahan Baku Obat (AB3O), Irfat Hista menjelaskan bahwa industri farmasi membutuhkan garam sekitar 6.000-6.500 ton sebagai bahan baku untuk cuci darah 4.000 ton, 1.500 ton untuk garam infus, dan 500 ton sisanya untuk vaksin, obat pil, tablet, sirup, dan lainnya.

"Sekarang sudah ada mesin untuk produksi garam untuk di laboratorium, namanya Garam Pro Analisa Laboratorium, di mana garam itu reagen sifatnya, garam untuk standar uji. Itu kita buat mesin teknologi nya di pabrik saya di Sentul," tutur Irfat, Kamis (16/1/2025). 

Mesin produksi garam farmasi saat ini dimiliki oleh PT Karya Daya Sayafarmasi, yang dikembangkan oleh Irfat sendiri. Sejak beroperasi pada 2022, pabrik yang terletak di Sentul tersebut telah menghasilkan 500 ton garam farmasi setiap tahunnya.

Garam yang diproduksi digunakan sebagai bahan baku obat oleh lebih dari 200 perusahaan farmasi, termasuk Kalbe Farma dan lainnya.

Selain itu, Irfat juga memiliki pabrik garam farmasi kedua di Jawa Timur, yaitu PT Tudung Karya Daya Inovasi, yang mampu memenuhi kebutuhan garam infus sebanyak 1.500 ton.

"Kalau untuk cuci darah [garam] itu sebetulnya tidak dikategorikan farmasi karena mereka memang sudah menggunakan garam dari lokal sebagian, ada yang impor juga," ujarnya.  

Menurutnya, untuk dapat mendistribusikan produk garam lokal yang dihasilkan pabrikannya, pihaknya telah mendapatkan seritifikasi Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).  

Garam yang digunakan untuk cairan cuci darah tidak memerlukan sertifikasi dari BPOM, melainkan harus memenuhi standar sebagai alat kesehatan, sehingga yang dibutuhkan adalah sertifikat Cara Pembuatan Alat Kesehatan yang Baik (CPAKB).

Dengan adanya larangan impor garam melalui Perpres 126/2022, Irfat menyebut kebutuhan garam untuk cuci darah yang dipasok lewat PT Intan Jaya Mas sebanyak 4.000 ton itu kini dapat dipasok oleh produsen lokal tersebut. 

"Jadi, garam farmasi [cuci darah] itu 4.000 ton sebagiannya memang masih diimpor dari Australia, Dominion South yang kategorinya garam farmasi, sebagian garam dari pabrik lokal, enggak jelas garamnya apa," paparnya.  

Sebelumnya, pemasok garam farmasi untuk pasar global didominasi oleh produsen kimia internasional, Dominion Salt, dengan sebagian besar garam berasal dari Australia. Namun, seiring berjalannya waktu, pemerintah mulai menyadari pentingnya swasembada garam dan berupaya mengembangkan sentra garam nasional.

Meski demikian, pengembangan lahan garam masih perlu penelitian lebih lanjut, karena tidak semua wilayah cocok untuk budidaya garam. Salah satu daerah yang memiliki topografi yang ideal untuk produksi garam adalah Madura.

"Garam pangan belum bisa sepenuhnya diproduksi di Indonesia karena keterbatasan lahan dan produktivitas, [sehingga] harus diimpor. Garam farmasi lebih parah lagi, selalu diimpor karena enggak ada yang bisa bikin pabriknya," tutupnya.

Topik:

garam industri-farmasi garam-lokal bahan-baku-obat