Rupiah Ambles Lagi, Ekonom PEPS Ramal Kurs Tembus Rp18.000/US$

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 6 Februari 2025 10:18 WIB
Pecahan mata uang rupiah (Foto: Dok MI/An)
Pecahan mata uang rupiah (Foto: Dok MI/An)

Jakarta, MI - Nilai tukar rupiah terpantau kembali bergerak melemah pada pembukaan perdagangan pagi ini, Kamis (6/2/2025). Rupiah melemah hingga 19,5 poin atau 0,12 persen menjadi Rp16.312 per USD dibandingkan penutupan perdagangan sebelumnya di posisi Rp16.292 per USD.

Sementara itu, berdasarkan data Yahoo Finance, rupiah melemah hingga 35 poin atau 0,21 persen menjadi Rp16.314 per USD dibandingkan perdagangan sebelumnya di posisi Rp16.280 per USD.

Pun mata uang dolar Amerika Serikat (AS) melemah pada perdagangan Rabu waktu setempat. Indeks dolar, yang mengukur greenback terhadap enam mata uang utama lainnya, turun 0,35 persen menjadi 107,578 pada pukul 3:00 sore (2000 GMT).

Pada perdagangan sore di New York, euro naik menjadi 1,0407 dolar AS dari 1,0381 dolar pada sesi sebelumnya, dan pound Inggris menguat menjadi 1,2506 dolar dari 1,2482 dolar pada sesi sebelumnya.

Dolar AS dibeli 152,53 yen Jepang, lebih rendah dari 154,30 yen Jepang pada sesi sebelumnya. Dolar AS melemah menjadi 0,9010 franc Swiss dari 0,9050 franc Swiss, dan naik menjadi 1,4315 dolar Kanada dari 1,4306 dolar Kanada. Dolar AS turun menjadi 10,8955 kronor Swedia dari 10,9672 kronor Swedia. 

Akan tembus Rp18.000/US$

Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan meramal akan tembus Rp18.000/US$.

"Jadi rupiah ini bisa saya perkirakan kalau tidak diintervensi terus ya Rp17.000/US$ bahkan lebih rendah lagi bisa Rp18.000/US$, kita hanya bisa bertahan dengan intervensi dengan masuknya utang ke Indonesia sekarang utangnya dari pemerintah dan BI yang juga sudah dijadikan pencetak utang luar negeri," kata Anthony saat berbincang dengan Monitorindonesia.com, Rabu (5/2/2025).

Menurut dia, anjloknya rupiah itu sebenarnya tidak mengejutkan, tinggal menunggu waktu saja. "Kan defisit terus, akan flow dan lainnya. Inikan dampaknya. Apa lagi kalau kita lihat terakhir BI menurunkan suku bunga di mana selisih dengan itu misalnya suku bunga AS, mereka sudah semakin menipis begitu," jelasnya.

"Itu kan sudah memicu, itu kan sudah hampir semua diangkat sampai juga ke sana. Tapi secara fundamental memang ini akan terus. Secara fundamental kita tidak ada kekuatan untuk menahan rupiah," timpalnya.

Jika kondisi ini terus berlanjut, dia mengkhawatirkan rupiah semakin tak berharga. Bukan tidak mungkin, dalam waktu dekat, kurs rupiah semakin tenggelam hingga ke level Rp17.000 per dolar AS.

"Jika itu yang terjadi, tekanan terhadap rupiah akan semakin berat. Jangan sampai tekanan ini menjadi bola salju, memicu panik di dunia usaha, memicu gagal bayar utang luar negeri, yang bisa menjadi pangkal pokok krisis moneter," katanya.

Menurut dia, langkah BI menahan uang panas tetap betah di Indonesia, bisa berhasil namun juga berpeluang gagal. Bergantung keputusan bank sentral AS (The Fed) seperti apa. 

Ketika tawaran investasi portfolia di AS lebih menarik, usaha itu bakal sia-sia. Celakanya, BI sudah kadung memasang suku bunga tinggi untuk mencegah duit asing minggat dari Indonesia. Ingat, suku bunga tinggi jelas mempersempit ruang gerak sektor usaha. Jika bisnis sulit bergerak, otomatis, perekonomian tak berjalan langsam.  

Di lain sisi, kepercayaan investor terhadap masa depan ekonomi Indonesia bisa semakin menipis. Kenaikan PPN menjadi 12 persen, di tengah ekonomi  sedang meredup, daya beli melemah, memperburuk prospek ekonomi 2025. "Yang paling penting adalah posisi investor di mana? Dia siap mendukung pemerintah dan siap pula menghukum," katanya.

Terkait kurs rupiah yang kerap ambles itu, Anthony mendesak agar Gubernur BI, Perry Warjiyo diganti saja dengan yang lainnya lewat DPR RI. Menurutnya, selain tak bisa menstabilkan kurs rupiah, BI juga terseret kasus dugaan korupsi dana Program Sosial Bank Indonesia (PSBI) atau  corporate social responsibility (CSR).

"Ini memang mesti dicarikan mekanisme bagaimana kalau memang itu membahayakan lembaga bank sentral, ya DPR harus memanggilnya. Masalahnya kan Komisi XI terindikasi menerima dana CSR itu," katanya.

Yang menjadi permasalahannya kata dia, adalah ada penilaian bias dari DPR sehingga tidak bisa memberikan pengawasan kepada Bank Indonesia seperti tugasnya yang seharusnya.  "Maka sudah saatnya Gubernur BI Perry Warjiyo dipanggil dan dievaluasi oleh komisi XI, mulai dari kasus korupsi CSR BI hingga anjloknya rupiah," jelasnya.

"Seharusnya Perry Warjiyo, orangnya Jokowi harus dicopot namun dicarikan mekanismenya bagaimana begitu, kita harus taat hukum juga. Jadi jangan juga terjebak kembali kepada kekuasaan," tutupnya.

Topik:

Rupiah