Apa Penyebab Deflasi Tahunan Terjadi untuk Pertama Kalinya dalam 2 Dekade?

Firmansyah Nugroho
Firmansyah Nugroho
Diperbarui 6 Maret 2025 03:00 WIB
Ilustrasi - Indonesia menghadapi deflasi tahunan pertama sejak tahun 2000 (Foto: Istimewa)
Ilustrasi - Indonesia menghadapi deflasi tahunan pertama sejak tahun 2000 (Foto: Istimewa)

Jakarta, MI - Badan Pusat Statistik alias BPS mengumumkan deflasi tahunan pada Februari 2025 tercatat sebesar 0,09% dibandingkan tahun sebelumnya alias year-on-year, Senin (3/3/2025) lalu.

Deflasi adalah penurunan tingkat harga barang dan jasa secara umum dan berkelanjutan dalam periode waktu tertentu. Selain deflasi tahunan yang pertama dalam sekitar dua dekade, deflasi bulanan alias month-to-month juga tercatat pada Februari 2025 sebesar 0,48%.

Padahal, 1 Maret 2025 adalah awal bulan Ramadan yang dimana tingkat konsumsi masyarakat biasanya meningkat. Sebagai perbandingan, Ramadan tahun lalu dimulai pada tanggal 11 Maret 2024. Saat itu, BPS mencatat tingkat inflasi (kebalikan dari deflasi) month-to-month pada Februari 2024 sebesar 0,37%.

BPS mengatakan sejumlah komoditas pangan dan diskon tarif listrik menjadi penyumbang utama deflasi tahunan yang terakhir terjadi pada awal 2000.

"Terakhir, menurut catatan BPS, deflasi [year-on-year] pernah terjadi pada bulan Maret 2000, di mana pada saat itu deflasi sebesar 1,10% dimana deflasi itu disumbang didominasi oleh kelompok bahan makanan," kata Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti di Jakarta.

Empat dari lima komoditas utama penyumbang deflasi tahunan ini, kata Amalia, adalah pangan, yakni beras, tomat, cabai merah dan daging ayam ras. Tarif listrik juga disebut BPS memberikan andil terhadap deflasi sebesar 2,16%.

Ini tidak lepas dari diskon sebesar 50% untuk pelanggan PLN dengan daya listrik maksimal 2.200 volt ampere (VA) untuk periode Januari dan Februari 2025. Kategori tersebut adalah rumah tangga kecil atau kelas menengah dan menengah ke bawah.

Secara terpisah, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu menyatakan, program diskon listrik yang berakhir Maret 2025 itu dirancang untuk menjaga daya beli masyarakat.

Amalia menuturkan bahwa deflasi tahunan yang disumbangkan oleh komoditas pangan terjadi karena sejumlah daerah mengalami peningkatan produksi, seperti untuk cabai merah.

Di sisi lain, menurut BPS, daya beli masyarakat masih relatif terjaga, meski secara keseluruhan ekonomi Indonesia mengalami deflasi.

Amalia menyatakan ini dikarenakan komponen inti masih mengalami inflasi sebesar 2,48%. Dalam ekonomi, salah satu komponen inti di sini adalah konsumsi.

Terpisah, pengamat ekonomi dari Bright Institute, Muhammad Andri Perdana, mengatakan pada dasarnya setiap negara, terutama negara yang masih berkembang, menginginkan tingkat inflasi positif tetapi rendah dan terkontrol.

"Bila nilai inflasinya lebih rendah dari target, maka hal tersebut mengindikasikan aktivitas ekonomi yang lemah dan perputaran uang yang rendah, terutama di tingkat mayoritas konsumen yang merupakan kelas pekerja," jelasnya.

Untuk tahun 2025 in, pemerintah menargetkan tingkat inflasi 2025 di kisaran 2,5% plus minus 1%. Andri menambahkan deflasi tahunan ini sebenarnya masih mencakup deflasi lima bulan beruntun Mei pada September lalu itu juga. "Kecuali perkembangan harga yang diatur pemerintah yang turun secara khusus untuk Januari dan Februari ini saja," ujar Andri Selasa (4/3/2025).

"Kalau tidak ada diskon listrik tersebut, secara nominal angka inflasi year-on-year kemungkinan akan positif," timpalnya.

Meskipun begitu, Andri menekankan bahwa harga barang yang menggambarkan dampak dari tingkat permintaan adalah yang diatur pasar, bukan yang diatur pemerintah. Dengan begitu, kondisi yang melatarbelakangi deflasi selama satu tahun terakhir ini sebenarnya tetap sama: daya beli masyarakat yang masih rendah karena pendapatan yang terbatas.

"Yang mengkhawatirkan adalah kondisi dasar atas lemahnya tingkat permintaan oleh daya beli masyarakat yang rendah tersebut terus berjalan sampai sekarang tanpa ada tanda perbaikan," beber Andri.

Andri mengatakan hal ini bisa terlihat dari lesunya pengeluaran masyarakat pada awal Ramadan.

Sementara itu Ariyo DP Irhamna, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), mengatakan "deflasi tahunan lebih mengkhawatirkan" dibandingkan bulanan .

"[Deflasi tahunan] mencerminkan tekanan struktural, seperti permintaan agregat yang stagnan atau penurunan daya beli jangka panjang," ujar Ariyo ketika dihubungi pada Selasa (4/3/2025).

"Permintaan agregat yang stagnan" adalah situasi di mana total permintaan barang dan jasa tidak mengalami pertumbuhan atau bahkan cenderung menurun. Sementara deflasi lima bulan berturut-turut yang terjadi pada Mei-September 2024 bersifat siklus jangka pendek.

Topik:

BPS Deflasi