DPR Didemo, Indef Tegaskan Akar Masalah Ada pada Ketimpangan Ekonomi

Rolia Pakpahan
Rolia Pakpahan
Diperbarui 1 September 2025 18:37 WIB
Demo di Depan Gedung DPR (Foto: Repro)
Demo di Depan Gedung DPR (Foto: Repro)

Jakarta, MI - Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti menegaskan gelombang demonstrasi yang meluas dari DPR ke berbagai kota dalam beberapa hari terakhir tidak dipicu oleh intervensi asing.

Menurut Esther, akar masalah ada di dalam negeri, yakni ketimpangan ekonomi yang semakin tajam.

“Ini bukan masalah intervensi asing, tapi masalah perut,” ujar Esther dalam diskusi publik Indonesia di Persimpangan: Ketimpangan, Reformasi Fiskal, dan Masa Depan Ekonomi, Senin (1/9/2025).

Ia menyebut sejumlah faktor domestik yang memicu ketidakpuasan publik, mulai dari kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), pemangkasan perlindungan tenaga kerja, hingga maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK). Kondisi tersebut, menurutnya, kian memperbesar ketidakpuasan publik.

Esther menekankan adanya kesenjangan mencolok antara pendapatan pekerja dan anggota DPR. Ia mencontohkan, rata-rata buruh hanya memperoleh sekitar Rp5 juta per bulan, sementara gaji resmi seorang anggota DPR bisa mencapai Rp104 juta atau 20 kali lipat lebih tinggi, ia menilai perbedaan itu memperburuk rasa ketidakadilan sosial.

“Ketidakadilan kebijakan juga makin menekan. UU ketenagakerjaan tidak memberi perlindungan memadai, sementara fasilitas DPR justru meningkat. Situasi ini semakin memperlemah daya beli masyarakat di tengah ekonomi yang lesu,” jelasnya.

Esther memperingatkan, jika ketidakpuasan publik dibiarkan tanpa respons, dampaknya bisa mengguncang stabilitas politik sekaligus melemahkan ekonomi. Gejolak yang muncul, katanya, berpotensi menekan nilai tukar rupiah dan memperburuk kinerja indeks saham seperti yang telah terjadi dalam beberapa pekan terakhir.

“Kalau kondisi ini dibiarkan, saya khawatir ekonomi akan makin memburuk,” tegasnya.

Selain itu, ia juga menyoroti ancaman terkikisnya kelas menengah akibat stagnasi upah, gelombang PHK, dan minimnya penciptaan lapangan kerja formal. Ia menilai pelemahan kelas menengah akan langsung menghantam konsumsi domestik yang selama ini menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi nasional.

“Ketika daya beli kelas menengah turun, konsumsi pun melemah, dan akhirnya ekonomi bisa makin terkontraksi,” kata Esther.
 
Sebagai solusi, ia mendorong pemerintah lebih serius membuka lapangan kerja melalui revitalisasi industri manufaktur, penguatan rantai pasok domestik, serta transformasi UMKM menjadi usaha skala menengah. 

Esther juga menegaskan pentingnya realokasi anggaran negara agar lebih pro-rakyat, bukan hanya terserap untuk belanja rutin atau proyek berskala besar.

“Prioritas saat ini adalah menjaga daya beli masyarakat, bukan menambah beban melalui kenaikan pajak,” tutupnya.

Topik:

demonstrasi kesenjangan-ekonomi