Pertamina Catat Kenaikan Laba 6% di Paruh Pertama 2025

Rolia Pakpahan
Rolia Pakpahan
Diperbarui 12 September 2025 17:05 WIB
PT Pertamina (Persero) (Foto: Dok Pertamina)
PT Pertamina (Persero) (Foto: Dok Pertamina)

Jakarta, MI - PT Pertamina (Persero) mencatatkan pendapatan US$40,99 miliar dengan laba bersih sebelum pajak mencapai US$1,59 miliar sepanjang Januari–Juli 2025. Angka tersebut naik 6% dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar US$1,50 miliar.

Meski demikian, sisi pendapatan sedikit melemah dibandingkan semester I-2024 yang mencapai US$43,52 miliar.

Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Simon Aloysius Mantiri, menegaskan bahwa kinerja perusahaan tetap sejalan dengan komitmen untuk menjaga kontribusi rutin di atas Rp300 triliun per tahun dalam bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), Dividen dan juga Pajak.

"Hingga Juli 2025 kontribusi tersebut telah mencapai 225,6 triliun rupiah menjadikan Pertamina sebagai penyumbang dividen terbesar untuk Danantara sekaligus BUMN kontributor pajak terbesar," tutur Simon dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VI DPR, Kamis (11/9/2025).

Sementara itu, Wakil Direktur Utama Pertamina, Oki Muraza, menyebut penurunan pendapatan dipengaruhi oleh turunnya harga minyak mentah dunia.

“Tentu ini sangat mempengaruhi keekonomian dan profitability dari Pertamina dan menurut beberapa konsultan, perkiraannya tahun depan itu akan terus turun hingga di angka US$59–US$60 per barel,” kata Oki. 

Oki menuturkan, harga minyak global dipengaruhi tiga faktor utama, yakni pasokan, permintaan, dan tensi geopolitik. Oversupply dari negara anggota OPEC+ dan non-OPEC disebut menekan harga, sementara permintaan melemah akibat perlambatan ekonomi global, termasuk di Cina.

Di sisi lain, Pertamina juga menghadapi tantangan di bisnis midstream. Oversupply tidak hanya terjadi pada minyak mentah, tetapi juga pada produk olahan kilang. 

“Beberapa perusahaan besar itu mengalami impairment dan kendala dalam mendapatkan profitability. Ini kita bisa lihat beberapa perusahaan, bp, TotalEnergies, dan seterusnya termasuk Chevron memang mendapat tantangan dari rendahnya harga minyak dan oversupply,” jelas Oki.

Kondisi ini menyebabkan spread, atau selisih antara harga masuk kilang dan harga produk, semakin rendah. Tantangan serupa juga tengah dirasakan oleh perusahaan energi global, baik National Oil Company (NOC) maupun International Oil Company (IOC).

“Dan diperkirakan ada 17 kilang yang akan tutup menjelang tahun 2030. Ini tentu tantangan kita bersama dengan semangat untuk mengejar ketahanan energi, menciptakan lapangan pekerjaan, tentu kita semuanya akan merawat sebaik mungkin seluruh kilang yang kita miliki,” katanya.

Topik:

pertamina laba-bersih