Duduk Perkara Korupsi CPO Menyeret Menko Perekonomian Airlangga Hartarto

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 11 Agustus 2024 3 jam yang lalu
Kelompok massa tergabung dalam Himpunan Madani Indonesia (HMI) saat berunjuk rasa di Kantor Kejaksaan Agung.
Kelompok massa tergabung dalam Himpunan Madani Indonesia (HMI) saat berunjuk rasa di Kantor Kejaksaan Agung.

Jakarta, MI - Nama Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto sempat santer disebut dalam penyidikan anyar dugaan korupsi izin ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dan turunannya periode 2021-2022. 

Kasus ini dibuka lagi penyidik gedung bundar Jaksa Agung Muda (JAM) Bidang Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung) setelah Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memvonis lima orang terdakwa dalam perkara ini dengan hukuman 5-8 tahun. Vonis ini telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) di tingkat kasasi. 

Majelis hakim menyatakan pihak yang memperoleh keuntungan ilegal adalah korporasi atau tempat di mana para terpidana bekerja. Oleh karena itu, kata hakim, korporasi harus bertanggung jawab untuk memulihkan kerugian negara akibat perbuatan pidana yang dilakukannya.

Kasus ini merugikan negara sebesar Rp 6,47 triliun. Selain itu, perbuatan para terpidana menimbulkan dampak siginifikan, yaitu menyebabkan kemahalan dan kelangkaan minyak goreng sehingga terjadi penurunan masyarakat khususnya terhadap komoditi minyak goreng. 

Airlangga Hartarto Korupsi CPO
Penyidik mulai menggali peran Airlangga dan Lutfi dalam dalam pemeriksaan Lin Che Wei pada 13 Juni 2022

Berdasarkan fakta persidangan itu, maka Kejagung pada Senin (24/7/2023) memeriksa Airlangga. 

BACA JUGA: Korupsi Dana Sawit Tak Kunjung Jelas Siapa Tersangkanya
Adapun nama Airlangga ikut terseret lewat Lin Che Wei yang merupakan anggota Tim Asistensi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto. 

Dalam tim itu, Lin Che Wei mengurusi bidang pangan dan pertanian sehingga ia turut mengurus kelangkaan minyak goreng sebagai produk turunan kelapa sawit. 

Menurut para penyidik di Kejagung, para terdakwa korupsi minyak goreng, termasuk Lin Che Wei, berulang kali menyebut nama Airlangga Hartarto dan mantan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi yang berperan besar dalam membuat kebijakan penanganan kelangkaan minyak goreng.

Penyidik mulai menggali peran Airlangga dan Lutfi dalam dalam pemeriksaan Lin Che Wei pada 13 Juni 2022. Pertanyaan penyidik kepada Lin Che Wei hanya berfokus pada peran Airlangga dan Lutfi dalam kebijakan minyak goreng serta penggunaan dana pungutan ekspor sawit yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). 

BPDPKS adalah lembaga di bawah Kementerian Keuangan yang mengelola pungutan ekspor dari perusahaan sawit. Adapun Airlangga Hartarto menjabat Ketua Komite Pengarah BPDPKS.

Pada 2021, dana yang terkumpul di BPDPKS mencapai Rp 71,6 triliun. Penentu penggunaan alokasi dana BPDPKS adalah Komite Pengarah BPDPKS. Namun dana BPDPKS belum sempat dikucurkan karena aturan pengendalian harga minyak goreng berganti. 

Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 1 Tahun 2022 gagal mengembalikan stok minyak goreng.

BACA JUGA: Ketum Golkar Airlangga Mundur di Tengah Laporan 26 Ribu Kontainer Dilepas dan Korupsi CPO

Menteri Perdagangan kala itu, Muhammad Lutfi, menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 2 Tahun 2022 pada 24 Januari 2022. Aturan itu menerapkan larangan terbatas kepada produsen mengekspor minyak sawit mentah dan sejumlah produk turunannya untuk menjaga stok domestik. Akan tetapi, minyak goreng tetap langka.

Selanjutnya, keluar Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2022 pada 15 Februari 2022. Aturan ini mewajibkan perusahaan memasok 20 persen total ekspor CPO mereka untuk kebutuhan dalam negeri, yang dikenal dengan sebutan domestic market obligation (DMO). 

Perusahaan yang memenuhi rasio itu akan mendapatkan persetujuan ekspor dari pemerintah. Kejaksaan Agung menemukan penyelewengan dalam pengambilan kebijakan penyelesaian kelangkaan minyak goreng. Dari aturan yang berganti-ganti itu, jaksa menilai ada kerugian negara. "Kami sedang mengusut perbuatan signifikan yang melawan hukum,” kata Ketut Sumedana, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung saat itu yang kini Kajati Bali.

Airlangga diduga mempengaruhi sejumlah kebijakan kelangkaan minyak goreng yang menguntungkan perusahaan kelapa sawit. Sementara itu, Lutfi menjadi pelapis Airlangga dalam mengambil kebijakan. 

Dalam sebuah pemeriksaan, Lin Che Wei mengaku kerap berkomunikasi dengan Airlangga mengenai persoalan minyak goreng. Pada 27 Januari 2022, misalnya, dia diminta Airlangga membuat presentasi implementasi distribusi minyak goreng serta penghitungan kebutuhan dana
BPDPKS. 

Kejagung Beberkan Peran Tersangka Lin Che Wei Kasus Dugaan Tipikor CPO
Lin Che Wei mengenakan rompi tahanan Kejagung (Foto: Dok MI)

Lin Che Wei juga melaporkan berbagai hasil rapat dengan pengusaha kelapa sawit yang membahas kelangkaan minyak goreng. 

BACA JUGA: Produksi dan Ekspor Sawit Anjlok, Apa Kabar Korupsi BPDPKS yang Diusut Kejagung?
Lin Che Wei juga mengaku menghadiri berbagai rapat bersama Komite Pengarah BPDPKS yang dipimpin Airlangga. Rapat itu mengundang narasumber utama BPDPKS pada periode Januari-awal Februari 2022. 

Narasumber utama BPDPKS terdiri atas empat pengusaha kelapa sawit, yakni Franky Oesman Widjaja dari Sinar Mas Group; Martias Fangiono dari First Resources; Martua Sitorus, pendiri Wilmar Group; dan Arif Patrick Rahmat dari PT Triputra Agro Persada. Dalam rapat itu, Airlangga memimpin keputusan menyalurkan Rp 7 triliun subsidi minyak goreng dari dana BPDPKS.

Penyidik Kejaksaan Agung menyebut Lin Che Wei sebagai penghubung pengusaha kelapa sawit dengan Airlangga dan Lutfi. Misalnya, dalam perubahan kebijakan menjadi skema larangan terbatas pada rapat 24 Januari 2022. Lutfi meminta Lin Che Wei menyampaikan perubahan itu kepada Airlangga. 

Tiga hari kemudian, Lutfi membahas perubahan kebijakan tersebut bersama para narasumber utama BPDPKS tersebut.

Dengan kesaksian dan pernyataan Lin Che Wei, jaksa meluaskan pertanyaan untuk Airlangga. Tak hanya mengenai dampak kerugian negara akibat kelangkaan minyak goreng, jaksa juga bertanya ihwal penggunaan dana sawit BPDPKS untuk subsidi produksi biodiesel B30. 

Subsidi ini diberikan kepada pengusaha sebagai insentif produksi campuran solar dan minyak nabati dengan rasio 70:30 persen itu.

Raksasa grup bisnis sawit tersangka

Pada Kamis (15/6/2023) lalu, Kejagung menetapkan raksasa grup bisnis sawit, Wilmar, Musimas, dan Permata Hijau sebagai tersangka.

"Diduga, bukan diduga lagi, kerugian yang dibebankan berdasarkan putusan Kasasi dari Mahkamah Agung yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap adalah Rp6,47 triliun dari perkara minyak goreng," ungkap Ketut, Kamis (15/6/2023).

Secuil kronologi

Mahkamah Agung sudah menetapkan putusan tetap (inkracht) atas putusan pengadilan aksi dari ketiga korporasi tersebut terkait kasus korupsi dan menetapkan 5 tersangka, yaitu Terdakwa Indrasari Wisnu Wardhana (Pejabat Eselon I Kemendag), Terdakwa Pierre Togar Sitanggang (General Manager di Bagian General Affair Musim Mas), Terdakwa Dr Master Parulian Tumanggor (Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia), Terdakwa Stanley Ma (Senior Manager Corporate Affair Permata Hijau Group), dan Terdakwa Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei (pihak swasta yang diperbantukan di Kemeendag).

Kasus ini berawal dari tahun 2022 lalu, sebagai efek domino kisruh minyak goreng di dalam negeri. Di mana, pada tahun 2022 terjadi lonjakan hingga kelangkaan minyak goreng. 

Di saat bersamaan, pemerintah memberlakukan berbagai kebijakan untuk mengatasi kisruh tersebut, salah satunya wajib pemenuhan domestik (domestic market obligation/ DMO) bagi eksportir minyak sawit.

Kasus ini menyeret pejabat eselon I Kementerian Perdagangan (Kemendag) kala itu, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan

Korupsi CPO, Indrasari Wisnu Wardhana Divonis 3 Tahun Penjara
Indrasari Wisnu Wardhana

. Bersama 4 orang lainnya, dia ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian fasilitas ekspor CPO dan turunannya pada bulan Januari 2021 sampai dengan Maret 2022.

Menurut Kejagung, penetapan status tersangka tidak lepas dari kebijakan Kemendag menetapkan DMO dan DPO (Domestic Price obligation) bagi perusahaan yang ingin melaksanakan ekspor CPO dan produk turunannya. Namun dalam pelaksanaannya perusahaan eksportir tidak memenuhi DPO dan tetap mendapatkan persetujuan ekspor dari pemerintah.

Disebutkan Kejagung, terjadi permufakatan antara pemohon dan pemberi izin untuk fasilitas persetujuan ekspor.

Dari alat bukti temuan Kejagung, persetujuan ekspor dikeluarkan kepada eksportir yang seharusnya ditolak karena tidak memenuhi syarat. Yaitu, telah mendistribusikan CPO dan RBD Olein dengan harga tidak sesuai harga penjualan dalam negeri (DPO). 

Juga, tidak mendistribusikan 20 persen dari ekspor CPO dan RBD Olein ke pasar dalam negeri sesuai ketentuan DMO.

"Nah ketika pengajuan ekspor ini memang harus diteliti apakah memang DMO ini sudah ada. Nah ketika ini lolos seperti yang kita sampaikan bahwa ternyata di lapangan langka, tentunya ini menjadi pertanyaan bagi kita, apalagi penyidik," kata Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Febrie Adriansyah dalam keterangan pers, Jumat (22/4/2022).

Hingga kemudian, para tersangka dikenakan dakwaan pidana korupsi dalam pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO/ minyak sawit mentah) dan turunannya pada bulan Januari 2021 sampai dengan Maret 2022.

Pantauan Monitorindonesia.com dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu 4 Januari 2023 pukul 13:00-16:00 WIB, Majelis Hakim menetapkan putusan vonis penjara dan denda atas 5 terdakwa tersebut.

Terdakwa terbukti melanggar Pasal 3 Undang-Undang (UU) RI No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI No 20/2001 tentang Perubahan Atas UU RI No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP sebagaimana dakwaan subsidair.

"Perbuatan terpidana menimbulkan dampak signifikan, yaitu terjadinya kemahalan serta kelangkaan minyak goreng. Akibatnya, untuk mempertahankan daya beli masyarakat atas minyak goreng, negara terpaksa menggelontorkan dana kepada masyarakat dalam bentuk bantuan langsung tunai sebesar Rp6,19 triliun," kata Ketut.

"Dan, bagaimana diketahui, negara mengalami kerugian keuangan sebesar Rp6,47 triliun akibat perkara ini," pungkasnya.

Kejagung didesak periksa lagi Airlangga

Gerakan Masyarakat Anti Korupsi (GMAK) menggelar aksi demo di depan Kantor Kejaksaan Agung (Kejagung), menuntut agar kasus ini diusut tuntas.

GMAK mengecam lambannya penanganan Kejagung terhadap kasus ini dan menyerahkan draft yang memuat dugaan keterlibatan Airlangga dalam kasus CPO dan kelapa sawit.

Koordinator Aksi GMAK, Adit, menekankan pentingnya penegakan hukum yang adil dan merata. "Aparat hukum wajib tegas, jangan hanya tajam di bawah tumpul di atas," ujarnya, merujuk pada arahan Presiden Jokowi mengenai penanganan kasus korupsi tanpa pandang bulu.

Kejaksaan Agung RI
Pemeriksaan terhadap peran Airlangga dalam kasus ini dilakukan menjelang tahun politik Pemilu 2024 lalu. Apalagi, tidak lama setelah ia diperiksa sebagai saksi, posisi Airlangga sebagai Ketua Umum Golkar digoyang melalui isu musyawarah nasional luar biasa (munaslub) Golkar (Foto: Dok MI/Aswan)

GMAK meminta Kejagung untuk tidak hanya memeriksa Airlangga Hartarto terkait kasus CPO, tetapi juga pejabat-pejabat dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.

Mereka merasa Kejagung lamban dalam memanggil Airlangga kembali, padahal dugaan korupsi yang melibatkannya melibatkan beberapa kasus.

Lebih lanjut, GMAK mendesak Kejagung untuk mengungkap aliran uang korupsi dan siapa saja yang mendapatkan keuntungan dari praktik korupsi ini.

"Kejagung harus mengungkap fakta-fakta baru dan identifikasi para pelaku yang mungkin menggunakan cara licik untuk menyembunyikan jejak korupsi," tegas Adit.

Hingga berita ini diterbitkan, konfirmasi Monitorindonesia.com kepada Airlangga Hartarto belum direspons. (an)