Dugaan Korupsi Membelit Bank BJB, Dokumen Ini Ungkap Perjanjian Penayangan Iklan Tahun 2021-2023


Jakarta, MI - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Selasa (27/8/2024) memberi kisi-kisi bahwa lembaga anti rasuah itu tengah menyelidik kasus dugaan korupsi dana iklan di Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten (BJB). Tak lama kemudian, beredar kabar sudah ada tersangka dalam kasus ini.
Meski belum ditegaskan bahwa kasus ini masuk penyidikan, namun KPK disebut-sebut sudah mengantongi sejumlah calon tersangka.
Satu di antaranya mengarah kepada nama Ahmadi Noor Supit. Dia adalah Anggota V BPK yang dilantik pada Oktober 2022, menggantikan Harry Azhar.
Ahmadi memasuki masa pensiun pada 2024 dan melepas jabatannya per Agustus 2024. Sama dengan Harry, sebelum menjabat pimpinan BPK, Ahmadi tercatat sebagai anggota DPR dari Partai Golkar.
Berdasarkan informasi yang diterima Monitorindonesia.com, KPK telah dua kali memanggil Supit sebagai saksi di tingkat penyelidikan. Namun, Supit dikabarkan tak pernah hadir ke KPK.
Ahmadi diduga melakukan intervensi kepada auditor BPK Perwakilan Jawa Barat agar temuan penyimpangan tidak berisiko bagi manajemen BJB. Hasil audit sebenarnya diarahkan untuk tidak seluruhnya dimunculkan sehingga menguntungkan bagi pihak yang menyimpangkan anggaran.
Terkait dengan dugaan keterlibatan mantan Anggota BPK RI Ahmad Noor Supit, Monitorindonesia.com pada beberapa waktu lalu telah mencoba menghubungi atau mengonfirmasi kepada Ketua BPK RI, Isma Yatun. Namun hingga saat ini, dia belum memberikan tanggapan.
Sementara itu, untuk membuat jelas dugaan tersebut, KPK membuka peluang memeriksa Ahmadi Noor Supit.
"Tentunya semua pihak yang dibutuhkan keterangannya untuk memperkuat dugaan tindak pidana korupsi yang sedang ditangani akan dipanggil," tegas Juru Bicara KPK, Tessa Mahardika Sugiarto kepada Monitorindonesia.com, dikutip pada Sabtu (28/9/2024).
Tessa memastikan, siapa pun jika kesaksiannya dibutuhkan, termasuk oknum Anggota BPK itu, maka akan dipanggil dan diperiksa. "Bila sudah terbit Surat Perintah Penyidikan (Sprindik), tentu bergantung pada kebutuhan penyidikan," kata Tessa sembari menyatakan Sprindik kasus ini masih proses administrasi penerbitan.
Penting diketahui, bahwa dugaan mark-up dana penempatan iklan oleh Bank BJB, terjadi sepanjang 2021-2023. Total kerugian diperkirakan mencapai Rp200 miliar.
Dalam praktiknya, dana yang seharusnya dialokasikan sebesar Rp200 juta untuk sekal pemasangan iklan di media, diduga digelembungkan alias mark-up menjadi Rp400 juta. Dana hasil markup ini, diduga mengalir ke sejumlah pihak termasuk petinggi BJB. Penyidik KPK, saat ini tengah mendalami ke mana aliran dana hasil penggarongan itu.
Pada Tahun 2021, 2022 dan Semester I 2023 Bank BJB telah merealisasikan Beban Promosi sesuai Laporan Keuangan PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten seluruhnya sebesar Rp1.159.546.184.272,00.
Realisasi tersebut antara lain berupa Beban Promosi Umum dan Produk bank sebesar Rp820.615.975.948,00. Dari realisasi beban promosi umum dan produk bank tersebut, di antaranya sebesar Rp801.534.054.232,00 dikelola oleh Divisi Corporate Secretary (Corsec).
Menurut sumber Monitorindonesia.com yang enggan disebutkan namanya mengatakan bahwa “Pengadaan Barang dan Jasa (hususnya iklan) yang membidanginya adalah Divisi Corporate Sekretary (Approver) bank bjb Kantor Pusat, Widi Hartoto sebagai Pemimpin Divisi Corporate Sekretary. Dan dia disebut-sebut salah satu pegawai kepercayaan Yuddy Renaldi Direktur Utama Bank BJB".
Dalam laporan bernomor 20/LHP/XVIII.BDG/03/2024, diungkap potensi aliran dana dengan nilai mencapai Rp260 miliar yang tidak jelas. Hasil itu didapat auditor negara melalui serangkaian investigasi dan uji petik.
Pihak BJB dan enam agensi iklan diduga tertutup kepada auditor tentang besaran uang yang dibayar ke media massa. Keenam agensi itu adalah PT Cipta Karya Sukses Bersama (CKSB), PT Antedja Muliatama (AM), PT Cakrawala Kreasi Mandiri (CKM), PT Wahana Semesta Bandung Ekspres (WSBE), PT BSC Advertising (BSCA) dan PT Cipta Karya Mandiri Bersama (CKMB).

Pihak BJB menyiapkan anggaran promosi hingga Rp1,15 triliun. Sebagian besarnnya, yakni Rp820,61 miliar dialokasikan untuk promosi produk bank dan umum di media massa. Laporan BPK menyebutkan sebanyak Rp 341,88 miliar telah digelontorkan kepada enam agensi itu. Para agensi mendapat bayaran berdasar bukti penayangan iklan atau logproof.
Namun, dalam perjanjian kerja sama, agensi tidak diwajibkan oleh BJB untuk melampirkan bukti pembayaran kepada media. Padahal, bukti bayar ini menjadi dasar klaim agensi kepada bank. Hal ini yang menjadi celah terjadinya penggelembungan harga. Saat BPK mengonfirmasi kepada sejumlah media, indikasi mark-up pun terlihat kentara dari total realisasi penayangan iklan di TV, media cetak dan online.
Semisal iklan di TV saja, terdapat 17 media arus utama yang dipasang iklan BJB. Seperti Global TV yang mengonfirmasi ke BPK bahwa bayaran iklan dari agensi sebesar Rp350 juta. Sedangkan, pihak agensi mengklaim bayaran ke BJB mencapai Rp2,66 miliar atau selisih sekitar Rp2,31 miliar. Masih dalam selisih miliaran rupiah, pihak Trans 7 mengonfirmasi biaya iklan yang dibayarkan agensi Rp1,13 miliar. Padahal, klaim yang diajukan agensi tembus berkali lipat hingga Rp8,58 miliar.
Adapun total selisih untuk di media TV saja sebesar Rp28,14 miliar. Jumlah selisih didapat dari klaim BJB untuk belasan TV sebesar Rp37,93 dikurang jumlah hasil konfimasi media yang hanya Rp9,79 miliar.

Namun, BPK dalam laporannya tidak menyebut itu sebagai kerugian keuangan negara, tetapi hanya ‘pemahalan’. Jumlah selisih yang sarat penggelembungan harga ini berpotensi lebih besar lagi. Sebab, BPK tidak memperoleh akses transaksi dari agensi yang membayar jasa iklan ke media. Para agensi menolak mengeluarkan dokumen transaksi dengan alasan kerahasiaan perusahaan.
“Dokumen tersebut diperlukan untuk menguji kebenaran pelaksanaan penayangan iklan dan biaya penayangan,” petik laporan BPK.
Pimpinan PT CKSB yang mendapat dana proyek sekitar Rp78,46 miliar, beralasan selisih bayar itu sebagai margin atau nilai keuntungan. Dalam keterangannya ke auditor, direktur perusahaanjuga bilang nilai selisih berasal dari fee sebesar 1% yang diatur dalam kontrak dengan BJB.
Pimpinan Divisi Corporate Secretary yang berstatus Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pengadaan promosi iklan ini, pun mengatakan, perbedaan nilai margin dan fee tersebut masih dianggap wajar demi keterkenalan produk bank di publik.
Lain itu, jumlah selisih yang didapat agensi ditaksir bisa lebih banyak lantaran tidak terdapat bukti tertulis pemesanan iklan antara pihak agensi dan media. Pun tidak ada di atas hitam-putih ihwal kontrak kerja sama. Sehingga ditemukan beberapa alokasi iklan yang tidak sesuai dengan proyeksi lini masa agensi. Bahkan, ada beberapa iklan muncul dalam sela program TV tertentu, yang sebenarnya tidak tercantum dalam proposal agensi ke BJB.
“Hubungan kerja sama yang selama ini diterapkan dengan media berlandaskan rasa saling percaya,” petik laporan BPK yang merangkum alasan para agensi.
Masih dalam pengkondisian iklan di TV, pihak BJB ternyata tidak mewajibkan penawaran harga pasang iklan yang dipatok media. Sehingga bank mengeluarkan estimasi anggaran semaksimal mungkin, alih-alih menekan anggaran demi efisiensi keuangan di sektor bisnis lain.
Promosi di media online pun tak kalah gelap transparansinya. Pihak PT BSCA disebut BPK mengalihkan kerja promosi iklan ke PT WSBE tanpa pemberitahuan ke BJB. Padahal, kedua perusahaan sudah mendapat dana promosi iklan sebesar Rp50 miliar lebih. Akibat pengalihan kerja tanpa izin ini, BPK melaporkan bahwa anggaran menjadi sia-sia lantaran panjanganya rantai jasa iklan dari satu perusahaan ke perusahaan lain. Sementara itu, BJB sudah membayar jasa agensi ke PT BSCA sebesar Rp29,86 miliar.
“Potensi pemborosan atas pekerjaan penayangan iklan media online yang dialihkan PT BSCA ke PT WSBE,” petik laporan BPK.
Dalam lingkup iklan yang melibatkan institusi berpusat di Bandung, Jawa Barat, sejumlah PT di atas kerap menang proyek promosi. Semisal PT AM yang mendapat proyek iklan media online dari Dinas Komunikasi dan Informatika Kota Bandung pada 2023. Proyek iklan medium serupa didapat juga PT CKM. Perusahaan yang terdaftar di Bandung ini menang proyek senilai Rp200 juta.
Juga, PT WSBE yang mendapat proyek iklan media online dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat dengan nilai pagu Rp505 juta. Semua proyek yang dimenangkan itu melalui mekanisme pengadaan langsung atau tanpa tender.
Untuk dua perusahaan terakhir yang disebut tidak asing dalam industri media massa di Bandung dan Jawa Barat. Media bernama Jabar Ekspres (dulu Bandung Ekspres) di bawah naungan PT WSBE. Sedangkan PT CKM dimiliki oleh Ikin Asikin Dulmatin, yang merupakan pimpinan PT Ayo Media Network.
Anak Ikin juga pemilik saham PT AM yang dalam proyek iklan dari BJB ini mendapat anggara Rp88,75 miliar. Afiliasi perusahaan juga terlihat antara PT CKMB dan PT CKSB. Saham dua perusahaan yang berlokasi di Jakarta ini dipegang oleh satu orang.
Selain tidak terbuka soal dokumen kontrak dan penayangan iklan di media, penentuan pengadaan proyek juga dipertanyakan. Dalam laporan BPK, keenam agensi menang proyek melalui mekanisme pengadaan, pemilihan dan penunjukan langsung. Mekanisme pengadaan dinilai tidak benar lantaran penentuan yang seharusnya merujuk nilai total transaksi, tapi justru berdasar nilai fee 1-2 persen.
Jika HPS atau harga perkiraan sendiri berdasar nilai fee sekian persen tersebut, maka harga yang terefleksi paling besar hanya Rp1 miliar. Walhasil, nilai itu tidak menghitung dari biaya penanganan iklan. Sedangkan, muatan nilai transaksi yang juga mencakup biaya iklan ke media bisa berjumlah puluhan miliar. Seperti PT CSKB yang mencatatkan nilai transaksi Rp42 miliar pada 2022 untuk promosi iklan di TV dan media online. “Maka metode pengadaan yang akan dipilih seharusnya adalah tender,” petik laporan BPK.
Mekanisme pengadaan secara langsung ini, juga bertabrakan dengan SK Direksi Nomor 0387/SK/DIR-UMU/2020 tentang Standar Operasional Prosedur Pengadaan Barang/Jasa.
Pengadaan yang bernilai Rp1 miliar ke atas wajib menggunakan skema tender. Manajemen BJB berdalih tidak membuka lelang proyek ini karena khawatir gagal lelang. Namun, klaim ini dalam laporan BPK dimentahkan lantaran tidak ada bukti.
Bank BJB menuju jurang kebangkrutan?
Direktur Center For Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi mengatakan, sudah saatnya KPK masuk untuk melakukan investigasi dan penyelidikan dalam kasus dugaan penggelembungan biaya iklan BJB.
"Saya minta kepada KPK untuk segera mengeluarkan sprindik agar dugaan duit yang mengalir ke dirut dan BPK bisa terungkap," kata Uchok, Rabu (18/9/2024).
Menurut Uchok, dugaan markup sampai sebesar Rp 200 miliar sama saja menggiring BJB menuju jurang kebangkrutan. "Karena duit Rp 200 miliar ini sama saja dengan saham yang disetor oleh Pemda Kabupaten Bandung di Bank BJB sebanyak 7,24 persen atau 761.921.189 lembar saham. Dan modal duit yang sudah disetor sebesar Rp 190.480.297.250," katanya.
"Penerintah dan aparat hukum terkait harusnya jangan diam. Jika benar-benar dugaan markup yang membahayakan perusahaan. BJB berpotensi bisa bangkrut," timpalnya.
Topik:
KPK BPK Bank BJB