Tanda Tanya Survei Citra KPK di Benak Dua Guru Besar Hukum Pidana

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 25 Januari 2025 15:24 WIB
Ahli hukum pidana Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) Prof. Suparji Ahmad dan ahli hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII), Prof. Mudzakkir (Foto: Kolase MI/Diolah dari berbagai sumber)
Ahli hukum pidana Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) Prof. Suparji Ahmad dan ahli hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII), Prof. Mudzakkir (Foto: Kolase MI/Diolah dari berbagai sumber)

Jakarta, MI - Hasil survei yang menyatakan citra positif Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK mengalami kenaikan, semula 60,9 persen pada September 2024 menjadi 72,6 persen di Januari 2025 menjadi tanda tanya dua guru besar hukum pidana.

Misalnya, kasus Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto yang ditangani KPK. Kasus tersebut kini dalam proses praperadilan, termasuk memunculkan banyak kejanggalan. Selain itu, ada deretan kontroversi yang dilakukan mantan pimpinan KPK Firli Bahuri. Sedikitnya ada tiga perkara yang menjerat Firli dan ditangani Polda Metro Jaya.

Kasus pertama terkait dugaan pemerasan terhadap Syahrul Yasin Limpo. Kedua dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Terakhir terkait dugaan Pasal 36 juncto Pasal 65 Undang-Undang (UU) KPK yang mengatur larangan dan sanksi bagi pegawai KPK bertemu dengan pihak berperkara.

Publik juga masih ingat kasus dugaan pungutan liar (pungli) di rumah tahanan yang menyeret 93 pegawai. Kemudian, mantan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron yang terseret masalah etik karena diduga menggunakan pengaruhnya terhadap pejabat Kementerian Pertanian untuk memutasi pegawai.

Pakar hukum pidana Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) Prof. Suparji Ahmad dan pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII), Prof. Mudzakkir, menyoroti hasil Survei dari Litbang Kompas itu.

Kurang lebih 1 jam lamanya, kedua guru besar hukum pidana itu saat berbincang dengan Monitorindonesia.com, pada Jumat (24/1/2025) malam dalam waktu terpisah banyak membahas tentang kinerja KPK yang baru-baru ini menuai sorotan publik. Berikut wawancara kami dengan Prof Suparji:

Secara garis besar, kinerja KPK saat ini tengah menjadi sorotan publik. Misalnya banyak kasus yang mangkrak, mantan Ketua KPK tersangka kasus pemerasan hingga dalam gugatan praperadilan KPK kalah dalam artian penetapan tersangka belum memenuhi alat bukti sebagaimana aturan yang ada? Menurut Pak Suparji bagaimana?

Saya kira survei itu patut didalami kenapa bisa muncul seperti itu, indikatornya apa. Secara kan kalau dilihat kan akhir-akhir ini orang mempertanyakan kinerja KPK. Misalnya kasus Hasto saat praperadilan kan mereka gak datang sehingga sidang ditunda. Begitu pun juga pada praperadilan lainnya KPK kerap kalah.

Gubernur Kalsel Sahbirin Noor alias Paman Birin
Mantan Gubernur Kalimatan Selatan, Sahbirin Noor alias Paman Birin yang mengalahkan KPK lewat gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakartat Selatan atas penetapan sebagai tersangka dalam sebuh dugaan tindak pidana korupsi (Foto: Dok MI)

Apa yang menjadi indikator sehingga citra KPK naik seperti itu, banyak kasus juga yang mangkrak di KPK. Di Kejagung, memang ada yang mandek tapi jauh berbeda dengan KPK.

Baru-baru ini KPK mengusut kasus dugaan korupsi dana corporate Social Responsibility (CSR) Bank Indonesia (BI) yang sudah ke tahap penyidikan, katanya sudah yang tersangka lalu diralat belum ada tersangka sebab masih menggunakan Surat Perintah Penyidikan bersifat umum. Apa kah sikap KPK ini menjadi penilaian publik juga? 

Ya, kasus CSR BI yang juga kinerja KPK patut dipertanyakan. Katanya sudah ada tersangka, tapi tiba-tiba diralat dan sampai mereka minta maaf. Aneh saja ada satu perkara yang diusut dan katanya sudah ada tersangka dan minta maaf juga kan. Itu seharusnya masuk dalam penilaian survei tersebut yang menjadi pembanding dengan lembaga lainnya.

Secara ilmiah harus ada indikatornya seperti itu, sementara kan Kejaksaan Agung menangani perkara yang kemudian tuntas sampai putusan banding pengadilan gitu. Misalnya kasus timah atau kasus-kasus yang lain. Saya kira ini menujukkan bagaimana keseriusan dan kesungguhan Kejaksaan Agung yang selama 3 kali survei selalu diperingkat satu. Makanya hasil survei ini aneh.

Maka, ada fenomena apa sehingga kemudian KPK naik dari pada Kejagung? Jadi perlu ada penjelasan yang objektif tentang indikatornya itu. Faktor apa yang kemudian KPK mendapat nilai seperti itu.

Dengan citra KPK yang melejit itu, mungkin bisa saja publik membandingkan dengan Kejaksaan Agung ihwal adanya kasus yang saat ini tak kunjung ada tersangka, misalnya kasus dugaan korupsi dalam pengadaan tower transmisi PT PLN (Persero) pada tahun 2016 yang sejak tahun 2022 disidik tak ada tersangkanya saat ini. Lalu kasus dugaan korupsi BPDPKS juga tak jelas perkembangan penyidikannya seperti apa. Tak hanya juga, dengan adanya vonis ringan terhadap para tersangka kasus dugaan korupsi timah yang merugikan negara Rp 300 triliun saat itu. Apa kah fenomena ini menjadi salah satu penilaian responden dalam survei itu?

Saya kira itu terlalu berpengaruh, kita Kejaksaan Agung saat terus bekerja mengusut sebuah perkara. Mencari bukti-bukti yang belum terungkap sesuai dengan tahap hukum yang sudah seharusnya dilakukan mereka. Begitu pun juga dengan KPK, tapi saya nilai kalah jauh.

Di lain sisi, jika melihat dari pemulihan kerugian dari dua lembaga penegak hukum ini jauh berbeda, apakah ini menjadi pembanding juga?

Dalam penegakkan hukum, tidak hanya dinilai dari banyaknya orang dipenjarakan, tapi bagaimana lembaga penegak hukum itu berkontribusi dalam pengembalian keuangan negara hingga pemulihan aset (asset recovery). Penyelamatan keuangan negara oleh Kejagung lebih banyak dibanding KPK kok. Seharusnya survei juga berpatokan dengan itu. Soal penegakkan hukum itu kan tidak hanya pada indikator berhasilnya memenjarakan orang, tapi bagaimana kemudian bisa menyelamatkan keuangan negara atau aset-aset negara kan.

Jaksa Agung ST Burhanuddin Korupsi BTS Kominfo
Jaksa Agung, ST Burhanuddin (Foto: Dok MI/Aswan)

Jadi kalau Kejagung sudah berhasil mengembalikan dana dari proses penegakkan hukum dalam arti mengembalikan uang negara itu adalah suatu prestasi.

Lembaga penegak hukum tentunya terus mendukung dan mewujudkan Asta Cita Presiden Prabowo Subianto, harapan Pak Suparji seperti apa?

Kementerian/Lembaga dan instansi lainnya ya terus menunjukkan prestasinya dan mendukung asta cita Presiden Prabowo Subianto. Jaksa Agung terus menunjukkan kinerja yang sangat baik tentunya ditingkatkan terus menerus sehingga membantu Presiden untuk menjalankan mewujudkan Asta Citanya. Dia dua periode artinya Prabowo percaya dengan Jaksa Agung ST Burhanuddin. Saya kira Jaksa Agung sekarang berani ya, tidak diskriminatif juga ya. katanya.

Demikian juga KPK, diharapkan seperti itu, membatu asta cita Presiden. Profesionalnya juga tetap terjaga bekerja secara prosedural tidak ada celah adanya praperadilan dalam proses penetapan tersangka korupsi.

KPK dan Kejagung dapat bekerja sama dalam mengusut kasus dugaan rasuah. Keduanya juga bisa berkolaborasi kok antara KPK dan Kejagung dalam hal supervisi.

Wawancara dengan Prof Mudzakkir:

Survei Litbang Kompas menemukan citra baik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) naik signifikan dari 60,9 persen pada September 2024 menjadi 72,6 persen di Januari 2025. Tren kenaikan persepsi baik publik terhadap KPK ini, bahkan lebih tinggi jika dibandingkan dengan sembilan lembaga lainnya, yaitu TNI, Polri, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Bawaslu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Menurut Pak Mudzakkir, apa yang menjadi faktor naiknya citra KPK itu?

Terhadap survei lain terutama penegak hukum saya usul kalau memang ada survei lagi itu sebaiknya survei itu harusnya lembaga yang sejenis atau bidangnya yang sejenis. Misalnya bidang hukum atau penegakkan hukum gitu. Misalnya Polisi, Jaksa ,KPK atau yang lainnya gitu, tapi semua itu dibidang penegakkan hukum, Jaksa, Hakim, dan seterusnya. 

Jadi jelas, tapi kalau ada dibandingkan dengan misalnya survei lembaga-lembaga lain gitu ya, KPU, DPR dan sebagainya itu agak sulit saya bisa membandingkan itu.

Karena jasa layanan itu perbedaannya dan kadang-kadang kalau survei-survei itu tidak didasari oleh pengalaman mereka yang berhadapan langsung  dengan lembaga yang bersangkutan. Itu juga membangun citra yang kurang pas juga gitu karena lebih pada subjektif, pilihan subjektif yang pribadi untuk memberi penilaian gitu.

Banyak pihak yang menilai hasil survei itu sulit dipercaya, menurut Pak Mudzakkir survei seperti apa yang diharapkan publik?

Kalau agak sedikit ilmiah, kalau usul saya sejenis itu dan diusahakan pihak yang diwawancarai dalam survei itu jadi usahakan mereka yang berpengalaman berhadapan dengan lembaga-lembaga hukum tersebut. Misalnya berhadapan dengan KPK, berhadapan dengan Jaksa, berhadapan dengan polisi, berhadapan dengan pengadilan  dan sebagainya. Sehingga sifat objektivitasnya semakin tinggi 

Agak sulit, misalnya sekarang ditemukan hasilnya bahwa KPK dan Kejaksaan termasuk kategori yang tinggi. KPK yang super tinggi ya. Seperti KPK itu apa citranya yang naik, jadi agak bingung dan sulit kita baca. Jadi maksud saya adalah kalau dinilai apanya KPK itu tinggi citranya. Kalau kita orang mengerti pernah berhadapan dengan hukum gitu, jadi kalau KPK yang dinilai tinggi itu, itu yang ditangani KPK itu kan kecil-kecil perkaranya.

Helena Lim dan Harvey Moeis
Harvey Moeis dan Helena Lim saat sebelum divonis ringan dalam kasus dugaan korupsi timah Rp 300 tirliun (Foto: Dok MI)

Maksud saya kecil itu kan misalnya Kepala Daerah, DPRD, bidang ini, bidang ini. Tidak pernah dia atau jarang dia Menteri. Kemudian lembaga-lembaga yang misalnya Staf Presiden  dan sebagainya, kalau misalnya ada bukti-bukti yang kuat bahwa itu adalah tidak diproses oleh mereka gitu ya itu tanda tanya juga gitu.

Apa yang menjadi alasan Pak Mudzakkir kurang percaya?

Saya sedikit kurang percaya dengan hasil Survei Litbang Kompas itu. Kalau melihat dari substansi pokok perkara dibidang hukum gitu ya, Jaksa misalnya, itu yang di publik itu selalu dikatakan bahwa Jaksa itu luar biasa karena apa, karena bisa menangani korupsi timah Rp 300 triliun.

Padahal, kalau yang mengerti tentang orang hukum misalnya ditanya sebenarnya begitu, kesungguhan Jaksa itu luar biasa, kekeliruan yang sistematis membuat opini publik sampai pada tingkat presiden gitu, kan baik kalau sudah sampai itu.

Jadi kalau dinilai tinggi, tapi praktik penegakkan hukum gak pas, gak tepat berdasarkan aturan hukum. Nah ini yang saya kira perlu dievaluasi juga seperti KPK itu. KPK lembaga yang dulu dicitrakan sebagai triger dalam penanganan korupsi, eh yang ditangani yang kecil-kecil dan tidak berani memeriksa perkara-perkara yang besar.

Jadi akhirnya perkara-perkara yang besar itu di take over oleh lembaga survei internasional itu. Jadi agak bingunglah akhirnya mantan Presiden Indonesia dikualifikasi nomor 2, sementara untuk di Indonesia, KPK tidak menyentuh setinggi itu terkait dengan orang yang bersangkutan beserta keluarganya.

Tidak menyentuh sedikit pun ya, jangan kan itu, diperiksa saja tidak dilaporkan juga tidak digubris tidak pernah dilakukan. Ini kan maksud saya, ini masuk bagian penilaian yang mana, opini publik ya. 

Jika hasil survei itu diragukan, apakah akan berpengaruh kepada survei yang bersangkutan dan apa saran Pak Mudzakkir?

Kalau hanya membangun opini publik ya lembaga survei itu, nggak usahlah melakukan itu malah citranya dia yang kurang bagus. Karena saya khawatir dengan hasil survei mereka bangga dengan apa yang terjadi sekarang. Padahal yang terjadi sekarang tidak sepenuhnya itu menurut hukum adalah benar 

Sejak dulu saya tidak begitu srek ya ketika dinilai tinggi dan sebagainya. Saya bilang cobalah bertanya orang pernah ditangani oleh KPK itu, perlakuan KPK itu menyimpang nggak, nanti kalau ditanya itu suruhlah orang-orang yang pernah berurusan dengan KPK.  Demikian juga berhadapan dengan Polisi surulah mereka, perlakuan polisi di dalam pemeriksaan itu seperti apa dan seterusnya.

Dan Jaksa juga sama begitu. Jadi kalau ditanya semuanya barulah kemudian hasil itu bisa memberi citra. Baik atau buruk itu memang kualitasnya bukan pada punya opini gitu.

Kalau banyak opini ya dari awal dikasi tahu bahwa survei ini adalah kepada orang yang tidak pernah berhadapan dengan KPK, Polisi dan Jaksa sehingga dia memberi survei murni dari asumsi pribadi mereka tidak berdasarkan fakta yang sebenarnya. Tapi kalau survei yang bagus ya tentu saja survei yang mendasarkan pada pengalaman mereka yang pernah berhadapan langsung KPK, Polisi dan Jaksa dalam rangka menangani perkara. Kalau Pengadilan juga dalam proses penanganan perkara.

Nah di situ nanti penilaian mereka itu disejajarkan dengan lembaga lain yang menangani di bidang penegakkan hukum, barulah akan muncul di situ adalah pendapat untuk membangun opini publik bisa orisinal atau bisa lebih akuratlah.

Kalau sekarang tiba-tiba KPK dinilai tinggi, lembaga internasional saja menempatkan presiden itu yang paling rendah itu karena dia calon nomor 1 atau nomor 2 . Jadi KPK enggak ada satu kasus pun yang ditangani, Jaksa tidak ada satu kasus pun yang ditangani demikian juga polisi satu kasus pun tidak ada yang ditangani.

Ketua KPK Setyo Budiyanto
Ketua KPK, Setyo Budiyanto (Foto: Dok MI/Ant)

Berharap sama Jaksa, sama Kepolisian agak sulit karena itu adalah bos eksekutifnya, berharap dengan yang satu adalah KPK 

Jadi KPK enggak ada satu pun perkara yang sedang ditangani itu walaupun laporannya banyak. Barangkali bisa mengambil saja itu laporan ketika ada Mas Wapres membuka aduan itu, coba dilihat yang diadukan siapa saja nanti dilihat itu berapa jumlahnya dan berapa yang ditahan di KPK.

Jadi kalau nanti hasil survei itu dijejerkan saya kira sependapat, mungkin layanan terkait dengan legal draftingnya gitu misalnya DPR, Presiden, Menteri dan sebagainya. Bolehlah karena dia punya kewenangan untuk mengantar itu jadi jangan disama-samakan lah itu, saya usul begitu.

Lantas, bagaimana pendapat Pak Mudzakkir jika melihat banding-membanding lembaga-lembaga negara?

Membandingkan antara institusi lain hanya karena opini menurut saya kurang tepat ya. Karena hukum itu tidak bisa hanya dengan opini, saya ingin agar supaya hukum itu menjadi baik ya. Opini saja diubah menjadi berpengalaman berhubungan dengan lembaga yang bersangkutan, mungkin mantan napi dan seterusnya berhadapan dengan semua itu saya kira itu menjadi clear gitu.

Kalau saya mendengar langsung mereka berhadapan, perlakuan seperti apa itu kalau ada nilai-nilai yang mana gitu, saya sering kritis itu melihatnya sehingga saya enggak seperti itu kalau dinilai yang benar gitu.

Survei Litbang Kompas

Survei Litbang Kompas menemukan citra baik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) naik signifikan dari 60,9 persen pada September 2024 menjadi 72,6 persen di Januari 2025.

Tren kenaikan persepsi baik publik terhadap KPK ini, bahkan lebih tinggi jika dibandingkan dengan sembilan lembaga lainnya, yaitu TNI, Polri, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Bawaslu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Peneliti Litbang Kompas, Yohan Wahyu, menyebut naiknya citra baik KPK tidak lepas dari kontribusi kepemimpinan baru. “Kenaikan KPK kan relatif signifikan ya, sekitar 11 persen dari September ke Januari, tentu 3 bulan terakhir ini kita tahu KPK terbentuk pimpinan baru, Dewan Pengawas baru terbentuk, tentu ketika ada personel baru, ada harapan baru di situ,” kata Yohan.

Selain itu, kata dia, persepsi baik publik terhadap KPK juga diberikan atas dasar kasus-kasus yang ditangani dalam tiga bulan terakhir.

Survei Litbang Kompas

“Pada saat tiga bulan terakhir ini pengungkapan kasus-kasus yang cukup menyita perhatian publik, Harun Masiku misalnya, bahkan kemarin Bupati Situbondo ditetapkan tersangka oleh KPK. Saya pikir itu menjadi referensi dan pertimbangan responden ketika menjawab tentang KPK ya,” ujarnya.

“Ini kan ada kenaikan ya dari 65,9 persen, 60,9 persen, 72,4 persen. 56,9 persen menurut saya memang rendah untuk KPK ketika pascarevisi Undang-Undang KPK 2019. KPK memang turun drastis tingkat keyakinan publik dan tingkat citranya di hadapan publik ya,” lanjutnya.

Yohan menyampaikan citra KPK perlahan naik meskipun lembaga antirasuah ketika itu dipimpin oleh Firli Bahuri. Berdasarkan hasil survei Litbang Kompas untuk tingkat kepuasan dan citra baik, urutan teratas dicapai oleh TNI dengan 94,2 persen.

Posisi kedua untuk tingkat kepuasan dan citra baik ditempati oleh Bawaslu 81,6 persen. Di posisi ketiga ada KPU dengan 80,3 persen. Kemudian DPD 73,6 persen, KPK 72,6 persen, Kejaksaan Agung 70 persen, dan Mahkamah Konstitusi 69,1 persen.

Sementara tingkat kepuasan dan citra baik Mahkamah Agung 69 persen, disusul DPR 67 persen, dan Polri 65,7 persen.

Survei Litbang Kompas untuk tingkat kepuasan dan keyakinan terhadap 100 hari Pemerintahan Prabowo dan Gibran dilakukan melalui wawancara tatap muka pada 4 – 10 Januari 2025.

Survei melibatkan 1.000 responden secara acak menggunakan metode pencuplikan sistematis bertingkat di 38 provinsi Indonesia.

Survei ini memiliki tingkat kepercayaan 95 persen dan margin of error penelitian kurang lebih 3,10 persen dalam kondisi penarikan sampel acak sederhana. Kendati demikian, kesalahan di luar pemilihan sampel mungkin terjadi.

Survei tingkat kepuasan dan keyakinan terhadap 100 hari pemerintahan Prabowo dan Gibran dibiayai sepenuhnya oleh Harian Kompas (PT Kompas Media Nusantara). (wan)

Topik:

KPK Kejagung Survei Litbang Kompas