Denny Indrayana, Finnet dan Doku Lolos di Korupsi Payment Gateway!

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 21 Mei 2025 22:09 WIB
Denny Indrayana (Foto: Istimewa)
Denny Indrayana (Foto: Istimewa)

Jakarta, MI - Setelah 10 tahun bergulir, kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam implementasi pelaksanaan payment gateway di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) kembali disoroti sejumlah pihak.

Persolan utamanya adalah status hukum lanjutan terhadap tersangka mantan Wakim Menkumham Denny Indrayana. Penetapan tersangka ini berdasarkan laporan polisi bernomor LP/166/2015/Bareskrim pada 2015 yang hingga saat ini belum juga dijebloskan ke sel tahanan.

Adapun program yang menjadi bancakan dugaan korupsi itu diluncurkan pada Juli 2014 saat Denny menjabat sebagai Wakil Menteri Hukum dan HAM. Kementerian Keuangan menyebut program tersebut tidak mengantongi izin. 

Program itu diklaim oleh Polri juga telah merugikan negara Rp 32,4 miliar mengacu hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Selain itu, Denny Indrayana juga diduga menyalahgunakan jabatannya sebagai Wamenkumham dalam program sistem pembayaran pembuatan paspor secara elektronik. 

Dia juga diduga berperan menginstruksikan penunjukan dan fasilitasi vendor payment gateway, yaitu PT Nusa Inti Artha (Doku) dan PT Finnet Indonesia. Uang disetorkan di dua perusahaan itu, baru diteruskan ke bendahara negara.

Denny Indrayana dijerat Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 dan Pasal 23 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No 31 Tahun 199 jo pasal 421 KUHP Jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Namun pada 11 Juli 2014, Kementerian Keuangan mengirim surat ke Kemenkumham untuk menghentikan program Payment Gateway itu. Atas dasar surat tersebut, Payment Gateway dihentikan.

Atas hal demikian, OC Kaligis juga menggugat kasus korupsi payment gateway di Imigrasi Kemenkumham. Pun OC Kaligis meminta kasus itu diusut lagi. Denny Indrayana jadi tersangka dalam kasus itu.

Berdasarkan Sistem Informasi Penelusuran Perkara Pengadilan Negeri Jakarat Selatan (SIPP PN Jaksel) saat itu, perkara itu mengantongi nomor 804/Pdt.G/2019/PN JKT.SEL. Duduk sebagai tergugat Badan Reserse Kriminal Kepolisian Republik Indonesia dan Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya, cq. Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya.

"Menyatakan tindakan Tergugat I tidak melanjutkan pemeriksaan Perkara Dugaan Tindak Pidana Korupsi dalam Kegiatan Implementasi/pelaksanaan Payment Gateway pada Kementerian Hukum dan HAM RI Tahun Anggaran 2014 dan kemudian melimpahkan Perkara Dugaan Tindak Pidana Korupsi dalam Kegiatan Implementasi/pelaksanaan Payment Gateway pada Kementerian Hukum dan HAM RI Tahun Anggaran 2014 kepada Tergugat II berdasarkan Surat No.B/3808/VI/RES/3.2./2018/Bareskrim, tertanggal 22 Juni 2018 adalah merupakan perbuatan melawan hukum," demikian gugat OC Kaligis.

OC Kaligis juga menuntut Kapolda Metro Jaya yang membiarkan, mendiamkan pelimpahan perkara dari Bareskrim kepada Kapolda berdasarkan surat No.B/3808/VI/RES/3.2./2018/Bareskrim, tertanggal 22 Juni 2018 adalah merupakan perbuatan melawan hukum.

Oleh karena itu, OC Kaligis menuntut ganti rugi materil Rp 1 juta. "Selain kerugian materiil yang dialami oleh Penggugat akibat perbuatan yang dilakukan oleh Tergugat tersebut, Penggugat juga telah dirugikan baik waktu, tenaga dan pikiran yang semuanya tidak dapat diukur dengan uang, akan tetapi dalam perkara a quo untuk memberikan kepastian hukum atas perbuatan Tergugat, maka Penggugat menuntut ganti rugi immaterial sebesar Rp 10 juta," jelas OC Kaligis.

Anak usaha Telkom dan Doku jadi sorotan

Kasus ini sebelumnya menyeret PT Finnet Indonesia, anak usaha PT Telkom Indonesia (Telkom) tepatnya melalui Telkom Metra dan PT Nusa Satu Inti Artha (Doku). 

Catatan Monitorindonesia.com, bahwa Polri memang pernah melakukan penggeledahan di PT Finnet Indonesia dan PT Nusa Satu Inti Artha (Doku) pada tanggal 14 April 2015.  PT Finnet Indonesia dan PT Nusa Satu Inti Artha menjadi sasaran penggeledahan karena keduanya merupakan vendor yang terlibat dalam proyek tersebut. 

"Denny Indrayana perlu mendapatkan kepastian hukum terkait dengan proses hukum kasus dugaan korupsi Payment Gateway di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dan penggeledahan dua perusahaan itu untuk apa kalau bukan untuk memperkuat bukti kasus tersebut," kata praktisi hukum, Fernando Emas kepada Monitorindonesia.com, Rabu (21/5/2025).

Direktur Rumah Politik Indonesia (RPI) itu menegaskan bahwa penetapan Denny Indrayana pada Maret 2015 sudah lebih dari 10 tahun namun sampai saat ini belum ada kejelasan mengenai proses tersebut. 

Maka, tegas dia, Mabes Polri harus melanjutkan kembali kasus tersebut dan segera membawa Denny Indrayana ke persidangan di Pengadilan. "Saya berharap melalui pengadilan ditentukan status Denny Indrayana apakah memang terbukti bersalah atau tidak. Jangan sampai mangkraknya kasus yang melibatkan Denny Indrayana akan semakin memperburuk citra Polri di Masyarakat," harap pengamat kebijakan publik itu.

Fernando juga berharap agar dua perusahaan itu terus diselidiki pihak kepolisian.

Sementara itu, praktisi hukum Universitas Esa Unggul, Andri Rahmat Isnaini, menilai bahwa mangkraknya kasus ini merupakan salah satu bentuk ketidakseriusan penyidik (kepolisian) dalam mengungkap kasus ini. 

"Lebih jauh lagi muncul dugaan tindakan tebang pilih dalam kasus ini mengingat Denny Indrayana merupakan mantan Wamenkumham," kata Andri.

Senada dengan Fernando, Andri menekankan, pentingnya penyelesaian dan kepastian hukum dari aparat kepolisian atas kasus ini. Pasalnya, kasus ini disinyalir merugikan negara sebesar Rp32,09 miliar. “Agar negara mendapat pengembalian kerugian negara,” pungkasnya.

Topik:

Doku Finnet Indonesia Payment Gateway Denny Indrayana Polda Metro Jaya Telkom