Mengulik Fasos dan Fasum SIPPT DKI Jakarta, Antara Konsistensi dan Konspirasi

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 6 April 2023 02:31 WIB
Jakarta, MI - Penataan Ibu Kota setiap masa selalu menarik untuk dibahas. Jakarta sebagai Ibu Kota negara Indonesia, Pusat Pemerintahan, Kota Bisnis dan pariwisata sejatinya menjadi kota yang ramah lingkungan sejajar dengan kota kota besar lainnya dengan negara maju. Kondisi kota modern tersebut mestinya bisa diwujudkan. Manakala pemimpin disetiap masanya konsisten dengan RUTR (Rencana Umumn Tata Ruang) dan peraturan lain yang berkorelasi dengan pembangunan ibukota Jakarta. Konsekuensi logis perkembangan pertambahan penduduk tidak boleh jadi alasan dari ketentuan ketentuan yang mengikat. Begitu juga pertumbuhan industri perumahan dan industri lainnya yang tersebar di Jakarta ini semua diatur dengan ketentuan yang sesungguhnya relevan dimasanya. Masalah pun muncul akibat inkonsistensi pemerintah daerah dalam menjalankan ketentuan yang sudah dibuat sendiri dan peraturan perundang undangan yang mengikat. Sejak era tahun 2000-an permasalahan Fasos Fasum yang berasal dari pemegang SIPPT selalu menjadi temuan BPKP. Namun permasalahan ini sepertinya tidak pernah diselesaikan dengan serius. Untuk diketahui bahwa, Surat Izin Penunjukan Penggunaan Tanah (SIPPT) adalah izin yang diberikan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta kepada developer atau pengembang atas penggunaan tanah untuk pengembangan suatu kawasan. Ketentuan dan hal-hal terkait surat izin tersebut diatur dalam Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 41 Tahun 2001. Merujuk pada peraturan tersebut, SIPPT diperlukan untuk pengembangan kawasan pada lahan seluas lebih dari 5.000 meter persegi. Artinya, developer yang hendak mengembangkan kawasan dengan lahan di atas 5.000 meter persegi wajib mengantongi surat izin tersebut. Tujuan diterbitkannya surat izin ini adalah, sebagai upaya penertiban penguasaan dan kepemilikan tanah di ibu kota. Selain itu, SIPPT pun berfungsi sebagai jaminan atas perlindungan hukum yang jelas bagi pemilik lahan. Catatan Monitor Indonesia bahwa kusutnya penarikan Fasos dan Fasum dari pengembang/developer tersebut bersumber dari Pemprov sendiri. Karena sejatinya SIPPT tersebut hanya satu syarat awal bagi perusahaan untuk menguasai lahan seluas diatas 5000 meter. Selanjutnya dalam melanjutkan kegiatan berikutnya dengan peraturan yang sangat banyak yang harus dipenuhi pengembang harus sudah terlebih dulu menyelesaikan kewajibannya perihal penyerahan Fasos dan Fasum sebesar 5% dari luas lahan yang dikuasai sesuai SIPPT. Lalu kenapa masalah penyerahan Fasos dan Fasum seolah dialamatkan kepada pengembang disebut bandel? Lalu dimunculkan lagi alasan dasar hukum mengeksekusi pemilik SIPPT tidak cukup kuat untuk Wali Kota mengejar aset-aset tersebut sebagai Ketua Tim Pengendalian dan Pengawasan Pembangunan Wilayah (TP3W). Polemik dasar hukum ini oleh DPRD DKI Jakarta juga seolah diamini. Padalah kalau itu masalahnya, pemprov bisa saja mengeluarkan Pergub (Peraturan Gubernur) atau kalau perlu buatkan Perda (Peraturan Daerah). Selanjutnya Monitor Indonesia juga melihat ada dua klasifikasi aset Fasum dan Fasos tersebut. Kategori pertama yang dipegang pengembang/developer. Masalah ini sebenarnya bukan hal yang terlalu rumit. Karena Fasos dan Fasum tersebut hanya pencatatan saja menjadi milik Pemprov DKI. Faktanya bahwa Fasos dan Fasum tersebut menjadi bagian nilai tambah bagi pengembang meraup untung lebih besar manakala penataan kawasan perumahan ataupun apartemennya tertata rapih. Yang kedua adalah golongan pemegang SIPPT Industri dan Kawasan pendidikan. Di zona inilah problem paling pelik. Dan dibutuhkan satu kebijakan yang benar benar bisa diterima kedua belah pihak. Baik Pemprov maupun pemegang SIPPT. Nah, di kawasan zona kedua inilah Monitor Indonesia melihat peliknya masalah. Terendus ada dugaan indikasi main mata antara oknum Pemprov DKI dengan pemegang SIPPT. Untuk itulah beberapa pejabat terkait masalah ini berusaha kami gali informasi dan data yang sebenarnya. Diantaranya Wali Kota Jakarta Timur, Muhammad Anwar. Kepala Dinas Citata (Cipta Karya Tata Ruang dan Pertanahan), Heru Hermawanto dan Kepala Inspektorat DKI Saefulloh Hidayat namun hingga saat ini belum memberikan respons saat dikonfirmasi Monitor Indonesia. Sementara itu Pengamat Tata Kota Nirwono Yoga menilai seharusnya Pemprov DKI terbuka atas masalah klasik ini. Menurut dia, publik berhak tahu berapa luas kewajiban pemegang SIPPT yang belum diserahkan dan siapa saja mereka. Nirwono Yoga mendesak agar Pemprov DKI membuka daftar pengembang yang tidak menyerahkan Fasos Fasum. "Pemprov Pemprov DKI harus mengumumkan daftar pemegang SIPPT yang belum membangun kewajiban Fasos dan Fasum nya. Dan memberi tenggat waktu kepada mereka untuk mengklarifikasi," ujarnya. Selanjutnya apabila lewat tenggat waktu, misalnya akhir 2023, Pemprov DKI dapat mengambil langkah tegas terhadap para pemegang SIPPT yang belum memenuhi kewajiban tersebut dengan menghentikan/membekukan/ membatalkan seluruh proses kegiatan properti pemegang SIPPT tersebut. "Sampai mereka memenuhi kewajibannya tersebut," katanya . Guna mengungkap tabir gelap yang ditengarai sarat kepentingan oknum oknum pemprov DKI dari sektor ini, Team Investigasi Monitor Indonesia akan menurunkan laporan liputan berikutnya. (Sabam Pakpahan) #Fasos dan Fasum SIPPT DKI Jakarta

Topik:

DKI Jakarta Pemprov DKI Jakarta Heru Budi Hartono Fasos dan Fasum SIPPT DKI Jakarta Fasilitas Umum Fasilitas Sosial