PLN Terlilit Utang Ratusan Triliun: Megakorupsi Menyelimuti, Warga Pelosok Menjerit!

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 15 Januari 2025 17:10 WIB
Anak-anak di sebuah pulau di Muna Barat, Sulawesi Tenggara (Sultra) membentangkan tulisan 'Kami Butuh Air hingga Listrik' (Foto: Dok MI/Din)
Anak-anak di sebuah pulau di Muna Barat, Sulawesi Tenggara (Sultra) membentangkan tulisan 'Kami Butuh Air hingga Listrik' (Foto: Dok MI/Din)

Jakarta, MI - Persoalan yang menyelimuti PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) (Persero) seakan tak pernah habis. Sejak ditetapkannya Direktur Utama (Dirut) PLN periode 2001-2008, Eddie Widiono, sebagai terpidana korupsi pada akhir Maret 2010 lalu, seketika PLN  dicap sebagai perusahaan yang menjadi mesin ATM bagi para koruptor.

Pejabat yang duduk sebagai Direktur Utama sesudahnya turut mengikuti langkah Eddie, diterpa isu korupsi. Beragam masalah terus muncul dalam tubuh PLN hingga Sofyan Basir memimpin perusahaan pelat merah itu pada 2014-2019. 

Tak berbeda jauh dengan para pendahulunya, kehadiran dia justru membuat benang kusut yang ada dalam perusahaan setrum makin semrawut.

Catatan Monitorindonesia.com, dari tahun 2011 sampai dengan 2019 setidaknya ada 4 mantan bos PT PLN yang terlibat dalam kasus dugaan rasuah di perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pelat merah itu. Eddie Widiono, Dahlan Iskan, Nur Pamudji dan Sofyan Basir.

Lantas mengapa PT PLN hingga saat ini masih memiliki utang ratusan triliun, padahal ratusan juta rakyat membayar listrik setiap bulannya?

Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo, pada Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VI DPR, Selasa (3/12/2024) lalu menyatakan berhasil mengurangi utang hingga Rp55 triliun dalam kurun waktu tiga tahun. 

Utang PLN turun dari Rp450 triliun pada 2020 menjadi Rp396 triliun pada 2023. Sementara itu, pendapatan PLN juga naik dari Rp346 triliun pada 2020 menjadi Rp487 triliun pada 2023. 

Sedangkan laba bersih PLN juga terus meningkat dari Rp5,9 triliun pada 2020 menjadi Rp22,1 triliun pada 2023. "Operating revenue kami naik sementara pembayaran utang tahunan bisa kami turunkan," jelas Darmawan. 

Menurut dia, hal itu menggambarkan kondisi keuangan PLN semakin sehat. Apalagi rasio pendapatan perusahaan dibandingkan utangnya menjadi semakin besar. 

Dengan kondisi tersebut, Darmawan mengklaim kinerja keuangan PLN menjadi yang terbaik dalam sejarah perusahaan listrik tersebut. "Ini berkat pertumbuhan pendapatan yang sangat sehat, laba berjalan yang meningkat, ditambah berkurangnya liabilitas utang," tukasnya. 

Darmawan Prasodjo menahkodai perusahaan BUMN tersebut sejak 6 Desember 2021 lalu. Di era Darmawan ini juga, terdapat kasus dugaan korupsi disidik Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kejaksaan Agung (Kejagung).

Adalah KPK menyidik kasus dugaan korupsi royek PT PLN Unit Induk Pembangkitan Sumatera Bagian Selatan (Sumbagsel) tahun 2017-2022 dan kasus dugaan korupsi pengadaan tower transmisi PT Perusahaan Listrik Negara atau PLN (Persero) pada 2016 yang hingga saat ini masih nihil tersangka oleh Kejaksaan Agung.

Baru-baru ini, Darmawan dikabarkan mencopot 6 anak buahnya. Karyawan Adji, Muhammad Reza, Agung Nugraha Putra, Abdul Muchlis, Eric Rossi Priyo Nugroho, dan Maria I Gunawan.

PLN ini merupakan salah satu BUMN yang memiliki peran strategis, karena itu harus dipimpin orang yang memahami dan mengerti urat nadi tentang manajemen dan sistem kelistrikan, serta bagaimana memahami berbagai aspek di dalamnya.

Karena itu sudah seharusnya ada perubahan pola di Kementerian BUMN ini nantinya dalam menetapkan Dirut, sehingga bukan sekadar jadi jatah politik.
Lantas siapa yang memahaminya, jelas kalangan internal sendiri, bukan lagi-lagi dari eksternal. 

"Saya yakin, sangat banyak sosok yang memiliki leadership di PLN apalagi itu rumah bagi mereka sebagai pegawai sejak awal berkarir,"  kata Koordinator Nasional Relawan Listrik Untuk Negeri (Re-LUN), Teuku Yudhistira di Jakarta, Rabu (16/10/2024) lalu.

Menunjuk dan menetapkan posisi Dirut PLN sebagai salah satu jabatan politis, memang menjadi hak Menteri BUMN melalui rapat umum pemegang saham (RUPS) jajaran Komisaris di institusi tersebut. 

Namun, alangkah baiknya segala masukan positif dari berbagai kalangan, bisa menjadi pertimbangan pemilik kekuasaan.

PLN tak punya saingan, kok bisa punya utang?

Menteri BUMN Erick Thohir sempat mengungkapkan penyebab utama PLN sampai mencatatkan utang jumbo, salah satunya, Proyek Pembangkit Listrik 35.000 megawatt (MW). Hingga Agustus 2021, proyek ini baru mendekati 30 persen dengan 10.469 MW yang telah dilakukan commercial operation date (COD). 

Megaproyek listrik 35 ribu MW itu sebelumnya diproyeksikan akan selesai pada 2019 namun pemerintah merevisi jadi tahun 2025 ini. Pun, adanya pandemi Covid-19 ditambah dengan proyeksi listrik yang baru sekitar 6000 MW, megaproyek tersebut rawan akan kembali molor ke tahun 2029. 

Di sisi lain, Ketua Harian Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) Arthur Simatupang menyoroti mahalnya harga listrik. Biaya investasi dan produksi di Indonesia yang jauh lebih tinggi dibanding negara lainnya dinilai menjadi penyebab mahalnya harga listrik di tanah air.

“Harga lahan tiba-tiba melonjak saat akan dibebaskan. Belum lagi biaya dana (cost of fund) di sini mahal sekali. Di sana cuma dua persenan. Di sana juga pengusaha dapat free tax, sedangkan di sini masih ada pajaknya dan sebagainya,” kata Arthur.

Menurut Arthur, harga listrik energi baru terbarukan (EBT) di beberapa negara di Uni Emirat Arab memang akan lebih murah dibanding harga listrik EBT yang dijual di Indonesia.

Harga listrik EBT di UEA dijual di kisaran 2,25 sen per KWH hingga 2,99 sen per KWH. Solar tenaga matahari 150 MW dijual dengan harga 2,99 sen per KWH, dan 200 MW 2,42 sen per KWH. Sedangkan di Indonesia, harga listrik EBT dipatok di kisaran 15 sen per KWH hingga 18 sen per KWH.

Arthur mengatakan proses perizinan dan birokrasi yang panjang dan memakan waktu yang lama membuat harga listrik di tanah air sulit bersaing dengan negara lain. “Lamanya perizinan ini kan biaya juga, kita dibayang-bayangi ketidakpastian,” kata dia.

Menurut Arthur, pengusaha di sana juga mendapat kesempatan membangun pembangkit dalam skala besar. Sehingga investasinya lebih efisien. Selain itu, biaya logistik di Indonesia juga lebih mahal. Sebab infrastruktur belum memadai dan kondisi alam di Indonesia sangat berat.

“Biaya logistik kita di Indonesia ini kan yang tertinggi di ASEAN. Yakni, 29 persen dari produk domestik bruto (PDB). Tingginya biaya logistik membuat biaya kita membangun infrastruktur listrik sangat tinggi,” ungkap Arthur.

PLTS nihil di pelosok!

Aturan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap yang terhubung ke jaringan PLN diatur dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 2 Tahun 2024.  Peraturan ini merupakan revisi dari Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2021. 

Aturan PLTS Atap yang tercantum dalam Permen ESDM Nomor 2 Tahun 2024: Kapasitas pemasangan PLTS Atap dibatasi oleh ketersediaan kuota PLN; Kuota kapasitas PLTS Atap ditetapkan oleh Direktur Jenderal Ketenagalistrikan setiap 5 tahun; Tidak ada lagi mekanisme ekspor impor; Tidak ada lagi biaya kapasitas untuk semua pelanggan PLN; Pelanggan bisa mengajukan permohonan pemasangan PLTS Atap melalui aplikasi PLN Mobile. 

Pemegang IUPTLU bertanggung jawab untuk menyediakan dan memasang KWh Advanced Meter; dan PLTS Atap dengan kapasitas lebih dari 3 MW harus menyediakan pengaturan basis data prakiraan cuaca. 

Untuk memasang PLTS Atap yang terhubung ke jaringan PLN, maka perlu mendapatkan izin khusus. Izin ini hanya bisa diberikan kepada badan usaha yang terdaftar sebagai Badan Usaha Pembangunan dan Pemasangan PLTS.

Terkait PLTS itu, daerah-daerah pelosok masih nihil. Di Muna Barat (Mubar), Sulawesi Tenggara (Sultra), misalnya. Data yang diperoleh Monitorindonesia.com, bahwa di sana ada sembilan pulau masih nihil antara lain Desa Meginti, Desa Kangkonawe, Desa Pasi Padanga, Desa Gala, Desa Katela, Desa Santiri, Desa Bero, Desa Santigi, dan Desa Tiga.

Ketidakadaan PLTS dan sumber air bersih di sembilan Desa, di tiga Kecamatan, Kabupaten Muna Barat  itu terjadi karena tidak ada langkah konkret yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam menyikapi secara serius permasalahan ini.

"Tidak adanya keseriusan dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Muna Barat melihat persoalan yang ada di Kepulauan Muna Barat, semacam di anaktirikan oleh Pemda ini 9 desa," kata La Ode Muhammad Didin Alkindi dari Lembaga Jaringan Aktivis Anoa Nusantara (Janusa) kepada Monitorindonesia.com.

Menurutnya, pengadaan alat penerang PLTS/PLN bisa diusulkan melalui Musrembang Kabupaten untuk dianggarakan di APBD, tetapi Pemda Mubar tidak melakukannya.

"Apa alasan pemda tidak memperhatikan 9 Desa yang ada di Kepulauan ini, sehingga bertahun-tahun masyarakat nya tidak menikmati listrik dan sudah berpuluh tahun tidak ada Sumber air bersih, hanya Tuhan yang tahu," kata Didin.

Muna Barat Butuh Listrik dan Air Bersih
Anak-anak di sebuah pulau di Muna Barat, Sulawesi Tenggara (Sultra) membentangkan tulisan 'Kami Butuh Air hingga Listrik' (Foto: Dok MI)

Selain itu, ia menjelaskan bahwa program lampu penerangan hingga air bersih juga menjadi bagian prioritas dalam penggunaan dana desa yang bersumber dari APBN, tinggal bagaimana Musrembang di desa antara masyarakat dan pemerintah desa menyepakati hal tersebut.

"Pihak Kementerian Desa PDT menyampaikan kepada kami bahwa penggunaan DD itu setiap tahunnya memang menjadi prioritas pada faktor itu," jelas Didin.

Korupsi jadi sebab?

Sejumlah kasus dugaan korupsi sudah lama ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung (Kejagung). Bahkan KPK  sudah menetapkan tersangka di kasus proyek PT PLN Unit Induk Pembangkitan Sumatera Bagian Selatan (Sumbagsel) yang merugikan negara raturan miliar rupiah.

Namun, kasus korupsi PT PLN Sumbagsel hingga kini tak kemajuan berarti. Begitu juga dengan kasus yang disidik penyidik Jaksa Agung Muda (JAM) Bidang Pidana Khusus (Pidsus) Kejagung pada Juli 2022 lalu, kasus dugaan korupsi pengadaan tower transmisi PT Perusahaan Listrik Negara atau PLN (Persero) pada 2016 hingga saat ini masih nihil tersangka. Padahal Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mendukung Kejagung dalam hal bersih-bersih di kementerian itu.

Entah apa alasan Kejagung belum menyeret tersangka dalam kasus ini. Kasus tower transmisi naik ke tahap penyidikan dari penyelidikan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: Print-39/F.2/Fd.2/07/2022.  

Ketut yang juga Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali menerangkan kasus ini bermula pada 2016, saat itu PT PLN sedang melakukan kegiatan pengadaan tower sebanyak 9.085 set dengan anggaran Rp 2,2 triliun. 

Proyek pengadaan tower itu dilaksanakan oleh PT PLN dan Asosiasi Pembangunan Tower Indonesia (Aspatindo) serta 14 penyedia pengadaan tower. 

"Adapun kasus posisi dalam perkara ini yaitu bahwa PT PLN (Persero) pada 2016 memiliki kegiatan pengadaan tower sebanyak 9.085 set tower dengan anggaran pekerjaan Rp 2.251.592.767.354 (triliun). Dalam pelaksanaan, PT PLN (Persero) dan Asosiasi Pembangunan Tower Indonesia (Aspatindo) serta 14 penyedia pengadaan tower pada 2016," kata Ketut Sumedana dalam keterangan persnya, Selasa (26/7/2022) silam.

Dalam prosesnya, kata Ketut, pengadaan tower transmisi ini melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan yang ada pada jabatan atau kedudukan. Perbuatan itu, kata Ketut, menimbulkan kerugian keuangan negara.

"Telah melakukan perbuatan melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, dalam proses pengadaan tower transmisi PT PLN (Persero) yang diduga menimbulkan kerugian keuangan negara," kata Ketut.

Korupsi Tower Transmisi PLN

Tak hanya itu, kata Ketut, dokumen perencanaan pengadaan proyek pada 2016 juga tidak pernah dibuat. Sementara itu, pengadaan tower ini menggunakan daftar penyedia terseleksi (DPT) tahun 2015 yang seharusnya menggunakan produk DPT 2016.

"Dokumen perencanaan pengadaan tidak dibuat, menggunakan daftar penyedia terseleksi (DPT) tahun 2015 dan penyempurnaannya dalam pengadaan tower, padahal seharusnya menggunakan produk DPT yang dibuat pada 2016, namun pada kenyataannya DPT 2016 tidak pernah dibuat," ujar Ketut.

Ketut mengungkap PT PLN dalam proses pengadaan selalu mengakomodasi permintaan dari Aspatindo. Hal itu pula yang mempengaruhi hasil pelelangan dan pelaksanaan pekerjaan yang dimonopoli oleh PT Bukaka. Dalam hal ini, Ketua Aspatindo juga menjabat Direktur Operasional PT Bukaka.

PT Bukaka dan 13 penyedia tower lainnya yang tergabung dalam Aspatindo telah melakukan pekerjaan dalam masa kontrak Oktober 2016 hingga Oktober 2017. Realisasi pekerjaan itu sebesar 30 persen. "PT Bukaka dan 13 penyedia tower lainnya yang tergabung dalam Aspatindo telah melakukan pekerjaan dalam masa kontrak (Oktober 2016-Oktober 2017) dengan realisasi pekerjaan sebesar 30 persen," ujar Ketut.

Lalu, pada November 2017 hingga Mei 2018, penyedia tower tetap mengerjakan pengadaan tower tanpa legal standing. Hal itu kemudian memaksa PT PLN melakukan adendum yang berisi perpanjangan waktu kontrak selama 1 tahun.

"Selanjutnya, pada periode November 2017 sampai Mei 2018, penyedia tower tetap melakukan pekerjaan pengadaan tower tanpa legal standing yang kondisi tersebut memaksa PT PLN (Persero) melakukan adendum pekerjaan pada Mei 2018 yang berisi perpanjangan waktu kontrak selama 1 tahun," kata Ketut.

Sama halnya di KPK, juga tengah mengusut kasus dugaan rasuah di PT PLN. Adalah soal proyek PT PLN Unit Induk Pembangkitan Sumatera Bagian Selatan (Sumbagsel). 

Hanya saja, KPK sudah menetapkan tersangka dalam kasus yang sedang disidik itu. Sementara di Kejagung hingga saat ini belum ada tersangka terkait kasus di PT PLN itu.

Apakah aparat penegak hukum tak berani mengungkap kasus dugaan korupsi di perusahaan pelat merah itu. Setiap tahun PT PLN dalam laporan keuangannya selalu merugi, padahal perusahaan itu tunggal dalam mengelola listrik negara.    

Dari penelusuran Monitorindonesia.com, proyek-proyek PT PLN di sejumlah titik sudah diatur sedemikian rupa. Anggaran bahkan diduga mark up hingga 100 persen. 

Sebagai contoh, dalam proyek penataan kabel-kabel listrik yang menjuntai di sepanjang jalan protokol di Jakarta, PT PLN Persero menganggarkan hingga Rp 12 juta per meter.

Proyek itu juga "dijual" ke sub kontraktor dengan nilai penawaran Rp 5-6 juta per meter dengan menggunakan Mesin boring HDD (Horizontal Direct Drilling). 

"Dengan harga Rp 2,1 juta saja kami masih ada sisa, padahal, yang kita tahu dari PLN ke main kontraktor angkanya cukup besar antara Rp 10-12 juta per meter," ungkap salah seorang perusahaan sub kontraktor yang menggunakan mesin HDD di Jakarta Timur, beberapa waktu lalu.

Ketika ditanya kenapa hanya bekerja sebagai sub kontraktor kalau bisa mengerjakan proyek HDD di harga Rp 2.1 juta per meter, dia mengatakan sangat sulit perusahaannya masuk berkompetisi di PT PLN.

"Enggak mungkin kami bisa menang tender sekalipun harga penawaran kami jauh lebih murah. Separuh dari harga yang dibuat PLN saja kami masih ada untung kok. Ini yang kami kerjakan selama ini".

"Proyek-proyek PLN itu sudah diatur (PLN) bersama pembesar-pembesar. Perusahaan seperti kami gak bakalan menang tender, sekalipun kami sebenarnya yang banyak mengerjakan proyek-proyek (PLN) selama ini," ungkapnya.

Bisa dibayangkan, dari proyek penataan kabel menggunakan mesin bor HDD yang ada di Jakarta saja bisa mencapai puluhan kilometer setiap tahun. Nilai proyeknya mencapai triliunan rupiah.

Indonesian Ekatalog Wacth (INDECH) meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) gerak cepat untuk menyelamtkan keuangan negara i tubuh PT PLN. Terkini, INDECH mendesak KPK untuk membuka penyelidikan 20 proyek besar di PT PLN (Persero) tahun 2016-2019 di sejumlah daerah di Indonesia. Termasuk proyek pengadaan dan pembangunan kabel Bawah tanah Gandul-Kemang tahun 2022.  

Proyek yang merugikan negara hingga triliunan rupiah harus menjadi perhatian khusus KPK karena diduga melibatkan banyak vendor seperti PT Kabel Metal Indonesia (KMI), PT Sucaco, PT Berca, PT Prysmian Cable dan lainnya.

Sebanyak lima vendor cable yang mendapatkan proyek "arisan" dari PT PLN dalam kurun waktu 2016-2019. Vendor cable tersebut masing-masing berbagi wilayah kerja mulai dari Sumatera, Jawa, Bali hingga Makassar.

Proyek itu dikerjakan dengan metode Pengeboran Horisontal Terarah/Horizontal Directional Drilling ( HDD) merupakan metode konstruksi/pengeboran tanpa galian dengan menggunakan mesin bor dengan langkah kerja terakhirnya adalah “menarik” pipa atau utilitas lainnya ke dalam lubang bor.        

Dari hasil penelusuran tim investigasi Monitorindonesia.com di sejumlah daerah, sedikitnya 20 lokasi proyek penanaman kabel milik PT PLN (persero) pada tahun 2016-2019. Lokasi dan perusahaan yang mengerjakan itu diantaranya, PT Pharma (Makassar), PT Kencana Sakti Indonesia dan PT Citra Gentari Indonesia di kawasan Cawang (Jakarta) dan Palembang dengan vendor PT BICC (Berca).

Sedangkan vendor PT Sucaco menggandeng PT Pharma, PT Jamindo dan PT SAJ dengan lokasi pekerjaan Makassar, Cilegon, Kebon Jeruk, Ancol dan lainnya. Sedangkan vendor Kabel Metal Indonesia (KMI) menggandeng PT CME di Bali.

Sebagaimana diketahui, proyek penanaman kabel dengan metode HDD di kurun waktu 2016-2019 tersebut mencapai ratusan kilometer. PT PLN mengucurkan dana dana yang sangat  besar untuk proyek tersebut.

PT PLN menetapkan Harga HDD untuk 3 pipa sebesar Rp 12 juta per meter. Sementara untuk ukuran 6 pipa sebesar Rp 16 juta per meter. Sementara untuk ukuran 12 pila Rp 24 juta per meter. Belum lagi pengadaan cable 150 KV yang diadakan vendor yang harganya tak kalah mahal juga.

Dalam pelaksanaan proyek di kurun waktu 2016-2019, vendor menggandeng sejumlah kontraktor binaan PT PLN. Vendor cable memberikan pekerjaan kepada kontraktor binaan atau yang diajukan pejabat PT PLN untuk mengerjakan proyek fisik seperti HDD. Perusahaan vendor berfungsi sebagai penyedia kabel yang sudah tercantum dalam ekatalog.

KMI-CME
Indonesian Ekatalog Watch (INDECH) pun sudah mengendus dugaan mega korupsi di tubuh PT PLN tersebut. INDECH merujuk Harga  satuan pekerjaan HDD per meternya hanya Rp 2,1 juta sebagaimana terungkap dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 847/Pid.B/2020/PN.Jak.Sel, tanggal 26 Oktober 2020.

PT. PLN (Persero) Unit Induk Pembangunan Jawa Bagian Timur dan Bali, telah melaksanakan Pekerjaan SKTT UGC Pecatu Nusa II Tahun 2018 yang merupakan bagian dari proyek HDD 2016-2019.

Dalam putusan PN Jaksel tersebut, Pekerjaan SKTT UGC Pecatu Nusa Dua, PT. PLN (Persero) Unit Induk Pembangunan Jawa Bagian Timur Dan Bali telah menunjuk PT Kabel Metal Indonesia (KMI). KMI memberikan Pekerjaan SKTT UGC Pecatu Nusa Dua, kepada PT CME. Selanjutnya, PT CME memberikan Pekerjaan SKTT UGC Pecatu Nusa Dua, kepada PT Ida Iasha Nusantara (IIN).

Dirut PLN Darmawan
Direktur Utama (Dirut) Perusahaan Listrik Negara (PLN) Darmawan Prasodjo

PO sebagai bentuk SPK pemberian kerja dari PT. CME kepada PT. IIN dengan Nomor :162/PT-CME/V/2018, tanggal 4 Mei 2018 perihal PO jasa HDD untuk pengerjaan UCG Pecatu - Nusa Dua Bali senilai Grand total Rp. 31.185.000.000. Nomor :163/PT-CME/V/2018, tanggal 4 Mei 2018 perihal PO jasa HDD untuk pengerjaan UCG Pecatu - Nusa Dua Bali senilai Grand total Rp. 27.720.000.000.

Pada kenyataannya PT. Ida Iasha Nusantara hanya mengerjakan pekerjaan 9.636.35 meter HDD dari kontrak di 12.600 meter yang menjadi objek pekerjaan. Harga per meter Rp 4.400.000 (Rp. 31.185.000.000 + Rp 27.720.000.000) dibagi 12.600 meter.

Selanjutnya, PT Ida Iasha Nusantara memberikan Pekerjaan SKTT UGC Pecatu Nusa Dua, kepada PT. Surya Cipta Teknik (SCT). Harga HDD yang disepakati oleh PT IIN dengan PT SCT sebesar Rp 3.400.000. Dan perkiraan Direktur PT IIN, biaya maksimal pekerjaan HDD hanya Rp 2.100.000 per meter. Artinya untuk proyek HDD Bali yang totalnya  30 kilometer tiga kali di subkontrakkan. 

Mark Up Rp 9 Juta/meter
"Dari fakta persidangan di Pengadilan Negeri  Jakarta Selatan jelas disebut pekerjaan harga  HDD hanya Rp 2,1 juta per meter. Hasil pekerjaan diterima PLN dengan baik ya. Sementara PT PLN membuat harga Rp 12 juta meter. Kalaupun ada tambahan harga pipa (bungkus kabel), hitungan kami tidak sampai Rp 1 juta. Artinya pekerjaan HDD bisa selesai dengan baik Rp 3 juta per meter. PLN kucurkan Rp 12 juta per meter. Ada dugaan mark up Rp 9 juta per meter," ungkap Sekretaris Sekjen INDECH Order Gultom beberapa waktu lalu.

Dengan adanya dugaan mark up Rp 9 juta per meter,. Jumlah proyek HDD di 20 lokasi sepanjang 2016-2019 di sejumlah daerah di Indonesia mencapai ratusan kilometer sehingga kerugian negara di proyek HDD bisa mencapai triliunan rupiah dalam kurun waktu itu. Kerugian negara itu masih di proyek fisik yang dikerjakan oleh kontraktor HDD belum lagi pengadaan cable oleh vendor.

"KPK harus segera membuka penyelidikan atas proyek HDD di PLN selama ini. Kami siap memberikan data dan nama-nama perusahaan yang selama ini kami tengarai bersekongkol dengan oknum petinggi PT PLN ke KPK. Kuat dugaan kami para oknum pejabat PLN menitip harga ke kontraktor. Pekan depan INDECH akan melaporkan kasus ini ke KPK," ujar Order.

Sebelumnya diberitakan, PT IIN memperoleh keuntungan sebesar Rp 2.300.000 hanya sebagai perusahaan perantara dari kontraktor PT CME mitra PT KMI. Sedangkan PT SCT bisa mengerjakan proyek HDD hingga tuntas dan diterima oleh PLN senilai Rp 2,1 juta per meter.

"PT IIN yang hanya sebagai perantara saja dalam proyek itu bisa mendapatkan fee sebesar Rp 2,3 juta per meter. Logikanya PT CME sebagai main kontraktor tentu mendapatkan bagian yang jauh lebih besar lagi dari PT IIN. Artinya, dalam perencanaan di PLN ada dugaan mark up hingga ratusan persen untuk pekerjaan HDD ya," tambah Order.

INDECH menduga Pekerjaan SKTT UGC Bali Pecatu – Nusa Dua, telah terjadi kemahalan harga. SKTT UGC Bali Pecatu – Nusa Dua memiliki Panjang 30.000 meter (30 kilometer). Bila dikalkulasi kerugian negara hanya untuk pekerjaan HDD Pecatu-Nusa Dua saja (vendor KMI) mencapai Rp 63 miliar. Sementara pekerjaan HDD di seluruh wilayah kerja PT PLN (Persero) bisa mencapai ratusan kilometer setiap tahun. Artinya kerugian negara hanya pekerjaan HDD saja negara dirugikan triliunan rupiah setiap tahun.

Pengalihan pekerjaan SKTT UGC Bali Pecatu – Nusa Dua, melanggar peraturan di bidang pengadaan barang dan jasa. “Penyedia Barang/Jasa dilarang mengalihkan tanggung jawab seluruh atau sebagian pekerjaan utama dengan mensubkontrakkan kepada pihak lain dengan cara dan alasan apapun, kecuali disubkontrakkan kepada Penyedia Barang/Jasa yang memiliki kompetensi dalam bidang tersebut, dengan persetujuan Pengguna Barang/Jasa.”

Direktur Utama PT PLN Darmawan Prasojo Ketika dikonfirmasi terkait kasus ini masih enggan memberikan keterangan. Pesan singkat yang dikirimkan Monitorindonesia.com ke ponselnya juga belum dijawab hingga berita ini diturunkan. (wan)

Topik:

PLN BUMN Korupsi PLN Utang PLN