Hak Atas Tanah dan Jaminan Kebebasan Berekspresi Paling Buruk Era Joko Widodo

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 10 Desember 2023 16:02 WIB
Joko Widodo (Foto: Istimewa)
Joko Widodo (Foto: Istimewa)

Jakarta, MI - Setara Institute dan International NGO Forum on Indonesian Development atau INFID melansir indeks Hak Asasi Manusia (HAM) tahun 2023. 

Setara Institute menilai, selama era kepemimpinan Presiden Joko Widodo atau Jokowi, indeks HAM terjadi stagnasi. Bahkan, untuk pemenuhan hak atas tanah dan jaminan kebebasan berekspresi dan berpendapat adalah hak yang paling buruk selama kepemimpinan Jokowi yang hampir menuju satu dekade.

"Jika membandingkan rata-sata skor nasional sejak 2019, data SETARA Institute menunjukkan bahwa kepemimpinan Jokowi tidak pernah mencapai angka moderat yakni 4 dengan skala 1-7," ujar Peneliti Hukum dan Konstitusi Setara Institute, Sayyidatul Insiyah, Minggu (10/12).

Sayyidatul menambahkan, bahwa di tahun 2019 skor Indeks HAM sebesar 3,2, lalu 2020 di angka 2,9, tahun 2021 di angka 3, tahun 2022 di angka 3,3 dan di tahun 2023 ini kembali turun menjadi 3,2.

Menurutnya, indeks HAM adalah studi pengukuran kinerja negara, sebagai pemangku kewajiban (duty bearer). dalam perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM di Indonesia.

"Indeks ini disusun dengan mengacu pada rumpun-rumpun hak yang terdapat dalam kovenan internasional hak sipil dan politik dan kovenan internasional hak ekonomi, sosial, budaya," katanya.

Lebih lanjut, Sayyidatul mengungkapkan enam indikator pada variabel hak sipil dan politik dan 5 indikator pada variabel hak ekonomi, sosial, budaya yang diturunkan ke dalam 50 sub-indikator. Penilaian dilakukan menggunakan skala Likert dengan rentang 1-7, yang menggambarkan nilai 1 sebagai perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan HAM yang paling buruk, dan angka 7 menunjukkan upaya komitmen pemajuan HAM yang paling baik.

"Penilaian ini menggunakan triangulasi sumber dan expert judgement sebagai instrumen justifikasi temuan studi," ungkapnya.

Pada Indeks HAM 2023, kata dia, skor rata-rata untuk seluruh variabel adalah 3,2, yaitu turun 0,1 dari tahun sebelumnya yang berada pada skor 3,3.

Skor rata-rata nasional lebih banyak dikontribusi oleh indikator-indikator dalam variabel hak ekonomi, sosial, budaya (ekosob) yang mencapai skor rata-rata 3,3, dengan penyumbang skor tertinggi adalah hak atas pendidikan yang meraih angka 4,4. Sementara pada pemenuhan hak atas tanah masih berada pada skor 1,9.

"Pada variabel hak sipil dan politik (sipol), negara membukukan capaian di angka 3 dengan indikator kebebasan berekspresi dan berpendapat sebagai penyumbang skor terendah, yakni 1,3 diantara seluruh indikator lainnya," ungkapnya.

Pengkerdilan ruang-ruang sipil yang semakin masif pun terefleksi pada skor indikator kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat yang selalu menjadi indikator dengan skor paling rendah di tiap tahunnya, bahkan selalu mengalami penurunan dari tahun ke tahun, termasuk di tahun ini yang mengalami deklinasi atau penurunan tajam skor sebesar -0,6 dibanding pada Indeks HAM 2019.

Sayyidatul juga menyoroti kekerasan terhadap jurnalis, kriminalisasi berdasarkan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), represi aparat terhadap massa, pembubaran diskusi publik, pembatasan kebebasan akademik, hingga kekerasan berbasis orientasi, identitas, dan ekspresi gender adalah rentetan peristiwa yang selalu dijumpai sepanjang pemerintahan Presiden Jokowi, dengan kecenderungan jumlah kekerasan yang terus meningkat dari tahun 2014 hingga 2023.

"Kekerasan terhadap jurnalis pada pemerintahan Jokowi yang mencapai 81 kasus di tahun 2016 dan 84 kasus di tahun 2020 sebagai puncak dari pemasungan kebebasan," bebernya.

Ia berpandangan bahwa, pasal karet dalam UU ITE menjadi alat pembungkaman terhadap suara-suara yang vokal dan kritis terhadap jalannya pemerintahan. Bahkan, sejak UU ITE disahkan di tahun 2008, kriminalisasi berdasar UU ITE paling banyak ditemukan di tahun kepemimpinan Presiden Jokowi, yaitu sebanyak 97 kasus di tahun 2022.

Represifitas terhadap massa yang berekspresi melalui demonstrasi juga masih sangat masif ditemukan. Ia menyebutkan, kriminalisasi masyarakat adat Poco Leok di Manggarai, represi terhadap masyarakat Rempang, hingga kriminalisasi petani di Air Bangis. "Ini menjadi potret pemberangusan freedom of expression di balik beragam eksekusi Proyek Strategis Nasional (PSN) yang digencarkan pemerintah," tandasnya.

Untuk itu, Setara Institute memberikan rekomendasi bagi kepemimpinan nasional baru. Yakni, Presiden Jokowi mengakselerasi adopsi instrumen HAM internasional melalui ratifikasi optional protocol to the convention against torture dan pengesahan RUU Ratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa.

Selanjutnya, mengambil tindakan segera untuk mencetak legacy di bidang HAM, di antaranya melalui penghentian Proyek Strategis Nasional (PSN) yang belum terrealisasi dan menimbulkan pelanggaran HAM, akselerasi penyelesaian yudisial pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk penuntasan kejahatan pembunuhan atas Munir Said Thalib.

"Kepemimpinan nasional baru menjadikan HAM sebagai basis penyusunan perencanaan pembangunan melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 dengan indikator-indikator yang presisi dan berbasis pada disiplin hak asasi manusia," katanya.

Menurut Setara Isntitute, kepemimpinan nasional baru memperkuat dukungan kebijakan yang mengikat sektor bisnis dan dukungan penganggaran yang signifikan untuk pengarusutamaan bisnis dan HAM sebagai instrumen perwujudan kesetaraan akses terutama hak atas tanah untuk mencegah keberulangan kasus pelanggaran HAM pada sektor bisnis.

"Kepemimpinan nasional baru memastikan perencanaan pembangunan yang inklusif dan memastikan semua entitas warga negara memperoleh jaminan pemajuan kesejahteraan tanpa diskriminasi".

Tak hanya itu, kepemimpinan nasional baru juga harus mengadopsi dan memastikan tata kelola yang inklusif (inclusive governance) dalam menangani intoleransi, radikalisme dan terorisme, guna mewujudkan inclusive society yang memiliki ketahanan atau resiliensi dari virus intoleransi dan radikalisme.

Kepemimpinan nasional baru mengagendakan pembahasan sejumlah RUU yang kontributif pada pemajuan HAM seperti RUU Masyarakat Adat, RUU Sistem Pendidikan Nasional. "Serta melakukan tinjauan ulang terhadap regulasi dan kebijakan yang kontra-produktif pada pemajuan HAM seperti UU Cipta Kerja dan UU Perubahan Kedua UU ITE," tukasnya.

Topik:

setara-institute jokowi joko-widodo hak-atas-tanah hak-kebebasan-berekspresi