Dedi Mulyadi Beri Tanggapan atas Kritikan dari Atalia Praratya soal Kebijakan Tambahan jumlah Rombel

Adrian Calvin
Adrian Calvin
Diperbarui 3 Agustus 2025 02:20 WIB
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi. (Foto: Dok MI)
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi. (Foto: Dok MI)

 Bandung, MI - Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi memberikan tanggapan atas kritikan yang disampaikan oleh Anggota Komisi VIII DPR RI, Atalia Praratya, terkait kebijakannya yang menambah jumlah siswa dalam satu rombongan belajar (Rombel) yang semula hanya 36 per kelas menjadi 50.

Tanggapan tersebut disampaikan Gubernur Jawa Barat melalui video yang diunggah ke akun Instagram pribadinya, pada Sabtu (2/8/ 2025).

Dalam video itu, Gubernur yang akrab disapa KDM (Kang Dedi Mulyadi) ini, pertama-tama mengucapkan terima kasih atas kritikan yang disampaikan oleh Atalia Praratya untuk dirinya.

"Buat Ibu Atalia saya ucapkan terima kasih atas kritiknya yang merasa prihatin atas ruang kelas di Jawa Barat yang diisi oleh 43 sampai 50 siswa dan tidak semuanya bu, hanya 38 sekolah," ujar Dedi Mulyadi.

KDM mengatakan, bahwa pihaknya terpaksa menerapkan kebijakan tersebut dengan tujuan agar seluruh anak-anak di Jawa Barat bisa bersekolah.

Pasalnya, kata Dedi, anak-anak yang rumahnya dekat dengan sekolah, namun diterima di tempat yang jauh biasanya memilih untuk tak melanjutkan pendidikan

"Itupun kami lakukan terpaksa dibanding mereka tidak sekolah. Mereka tinggal rumahnya dekat sekolah jadi kalau harus bergeser ke tempat lain yang jauh jadi mereka putus sekolah," ungkap Dedi Mulyadi.

Atalia Praratya sebagai komisi bidang sosial, kata Dedi, tak seharusnya membandingkan sekolah provinsi dengan sekolah rakyat.

Menurutnya, keduanya tentu berbeda karena sekolah rakyat merupakan program pemerintah pusat yang diatur langsung oleh Presiden.

"Sekolah rakyat mendapat atensi khusus dari Bapak Presiden dan sebagai bentuk kepedulian Bapak Presiden mengangkat derajat anak-anak miskin untuk tubuh menjadi kelas menengah baru Indonesia," ujar Dedi Mulyadi.

Dedi mengaku bahwa ia sangat mendukung kebijakan Sekolah Rakyat tersebut.

"Saya sangat mendukung kebijakan itu, tetapi kita harus menampung jumlah siswa hampir 800 ribu dan yang terserap oleh sekolah pemerintah juga tidak semuanya hanya 40 persen dari total siswa yang dihasilkan," ujar Dedi Mulyadi.

Dedi menjelaskan, bahwa permasalahan pendidikan ini juga dikarenakan sedikitnya sekolah yang dibangun di Jawa Barat sejak tahun 2020. Ia juga menyampaikan data pembangunan SMA dan SMK yang ada di Provinsi Jawa Barat sejak tahun 2020.

"Tahun 2020 provinsi Jabar tidak membangun satupun unit sekolah baru SMA dan SMK, tahun 2021 hanya membangun unit sekolah baru SMA sebanyak 2 unit, tahun 2022 hanya membangun 1 unit, tahun 2023 membangun 6 unit yaitu 1 SMA, 3 SMK, dan 2 SLB, tahun 2024 membangun 5 unit 1 SLB, 3 SMA, dan 1 SMK. Nah, tahun 2025 membangun 15 unit, 11 SMK, 2 SLB, dan 2 SMA," papar Dedi Mulyadi.

Lebih lanjut, Dedi mengungkapkan terkait janjinya yang akan membangun lebih banyak unit sekolah di tahun depan.

"Insyaallah Bu tahun depan saya akan membangun 50 unit (sekolah baru) agar anak-anak di Jabar bisa bersekolah dengan baik. Untuk itu saya ucapkan terima kasih atas perhatian Ibu yang begitu peduli terhadap dunia pendidikan di Jawa Barat," kata Dedi Mulyadi.

Sebagai penutup, Dedi menyampaikan salam hormat untuk Ridwan Kamil atau yang akrab disapa (Kang Emil). "Salam hormat buat Pak RK (Ridwan Kamil). Semoga Bapak dan Ibu sehat dan bahagia selalu," ujar Dedi Mulyadi.

Sebelumnya, Anggota Komisi VIII DPR RI, Atalia Praratya baru-baru ini menyampaikan kritiknya terhadap kebijakan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi.

Menurut Atalia, pengisian satu kelas dengan rombongan belajar (rombel) 50 siswa akan membebani pengajar dan membuat pelajar tak nyaman. Atalia lalu membandingkan hal tersebut dengan Sekolah Rakyat Menengah Pertama (SRMP) 08 Cimahi yang hanya menampung maksimal 25 siswa perkelas.

Atalia kemudian menilai bahwa sistem tersebut lebih manusiawi dan mendukung proses belajar yang optimal. "Saya menyaksikan ternyata di sekolah rakyat 25 orang sekelas, itu sangat manusiawi. Paling banyak 36 sesuai aturan kementerian (Kemendikdasmen), itu sudah paling banyak," kata Atalia Praratya seperti dikutip dari Kompas.com, Minggu (3/8/2025) dini hari.

Atalia mengaku, banyak guru di wilayah pemilihannya itu sering mengeluhkan hal tersebut. Mereka, kata Atalia, menyampaikan kesulitan dalam menangani siswa yang terlalu banyak dalam satu kelas.

"Saya banyak dapat masukan dan curhat dari guru. Mereka mengurus 25 murid dalam satu kelas saja sudah repot, apalagi ini 50 anak, apalagi di masa mereka (siswa SMA) ini usia remaja," ungkap Atalia Praratya.

Lebih lanjut, istri Ridwan Kami itu kemudian menegaskan bahwa jumlah siswa yang terlalu padat dalam satu ruang belajar akan mengganggu interaksi personal antara guru dengan murid. Akibatnya, proses pengajaran akan menjadi kurang efektif dan tujuan pembelajaran sulit untuk dicapai.

Atalia juga menyoroti tentang ruang kelas yang menurutnya kurang layak jika diisi dengan 50 siswa. Pasalnya, hal ini akan membuat para siswa harus duduk berhimpitan bahkan bertiga dalam satu meja, sehingga menggangu kenyamanan belajar.

"Bagaimana mungkin anak nyaman duduk berhimpitan dengan kondisi sekelas 50 orang. Aktivitas mereka enggak akan nyaman dan sulit," ujar Atalia Praratya.

Topik:

Dedi Mulyadi