Maung untuk Elit, AMMDes untuk Rakyat: Ironi Nasionalisme di Atas Roda
Klaten, MI- Pemerintah membanggakan Maung, mobil taktis buatan PT Pindad yang dirancang untuk militer dan pejabat, sebagai simbol kemandirian otomotif nasional. Namun di balik sorotan itu, ada AMMDes kendaraan serbaguna hasil gagasan Sukiyat, inisiator Esemka asal Klaten, yang benar-benar bekerja untuk rakyat.
Maung hidup dari proyek dan dana negara, sedangkan AMMDes hidup karena dibutuhkan masyarakat. Ironisnya, yang disanjung justru yang dibiayai besar oleh pajak publik, bukan yang memberi manfaat langsung bagi rakyat.
Maung disebut simbol kemandirian, tetapi pembelinya hanya negara. Komponen impor masih banyak, produksi terbatas, dan sebagian dana pengadaan bahkan sempat dikembalikan karena tak terpenuhi. Hasilnya, mobil nasional yang dibayar rakyat, dipakai pejabat, tapi belum sepenuhnya buatan sendiri.
Sebaliknya, AMMDes bekerja senyap di desa dengan mengangkut hasil panen, menggiling gabah, memompa air, hingga membantu korban bencana. Dari semangat gotong royong Sukiyat lahir PT Kiat Inovasi Indonesia (KII) yang mengembangkan Mahesa, cikal bakal AMMDes. Proyek ini sempat diresmikan Presiden Jokowi dan Menteri Airlangga pada 2018 lewat kerja sama dengan Astra Otoparts, membentuk PT KMWI dan PT KMWD (yang rencananya berlokasi di Klaten).
Namun tak lama, nama “Kiat” dihapus, Sukiyat melepas sahamnya, dan proyek rakyat berubah menjadi milik korporasi besar. Ia bahkan menggugat Astra atas dugaan kekurangan pembayaran senilai ratusan miliar rupiah. Ironi, karya rakyat diambil alih atas nama nasionalisme.
Meski tersisih, AMMDes terbukti bermanfaat. Tingkat komponen dalam negerinya mencapai 73%, jauh di atas Maung. Bahkan, AMMDes mampu menekan kerusakan panen pisang di Lampung hingga 25%, tanpa subsidi dan tanpa sorotan politik.
Maung dan AMMDes menunjukkan dua wajah Indonesia:
Maung lahir dari anggaran dan gengsi untuk menambah citra pemerintah saat melaju di jalan beraspal menggunakan plat merah menuju istana.
Sedangkan AMMDes lahir dari kebutuhan rakyat menembus lumpur menuju sawah demi menambah penghasilan petani.
Yang melayani pejabat dijadikan ikon nasionalisme, sedangkan yang membantu petani justru dilupakan. Padahal, kemandirian sejati bukan pada siapa yang membuat, tapi siapa yang merasakan manfaatnya.
Keduanya sama-sama buatan anak bangsa. Namun, yang satu jadi proyek, yang lain jadi kehidupan. Mobil nasional seharusnya menegakkan kemandirian bangsa, bukan memisahkan simbol dan fungsi.
Topik:
Mobil Maung Pindad AMMDes Mobil Nasional