MPR RI akan Gelar Sidang Paripurna September 2024

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 12 Mei 2024 14:55 WIB
Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo (tengah) (Foto: Dok MI/MPR RI)
Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo (tengah) (Foto: Dok MI/MPR RI)

Jakarta, MI - Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo (Bamsoet) menuturkan menjelang berakhirnya masa bakti anggota MPR RI periode 2019-2024, MPR akan menggelar sidang paripurna MPR akhir masa jabatan. 

Sidang yang akan diikuti seluruh anggota MPR dari unsur DPR dan DPD RI rencananya dilaksanakan di akhir bulan September 2024. 

"Sebelum berakhir masa tugas, MPR melalui Badan Pengkajian MPR telah melakukan kajian terhadap beberapa hal. Diantaranya, kajian tentang Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN), kajian tentang pembentukan Undang-undang MPR dan kajian tentang perubahan tata tertib MPR," kata Bamsoet usai bertemu anggota Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR di Jakarta, Jumat (10/5/24).

"Termasuk rekomendasi yang akan diberikan kepada MPR RI periode 2024-2029," sambungnya.

Anggota Komisi Kajian Ketatanegaraan yang hadir antara lain Andi Mattalatta, Rambe Kamarulzaman dan Syamsul Bahri.

Bamsoet menjelaskan, terkait rancangan PPHN, Badan Pengkajian MPR menitikberatkan substansi PPHN disusun berdasarkan paradigma Pancasila sebagai kerangka operasional dalam pembangunan tiga ranah kehidupan berbangsa. 

Yakni pembangunan karakter dan kualitas manusia, pembangunan kelembagaan sosial politik dan tata kelola pemerintahan, serta pembangunan ekonomi dan kesejahteraan. 

Ranah pembangunan karakter dan kualitas manusia meliputi mental ideologi, agama, budaya, pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi serta komunikasi dan informasi. 

Pembangunan kelembagaan sosial politik dan tata kelola pemerintahan meliputi politik dalam negeri, politik luar negeri, hukum, reformasi birokrasi dan kelembagaan serta pertahanan dan keamanan. 

Pembangunan ekonomi dan kesejahteraan meliputi pembangunan ekonomi, kependudukan, kesehatan serta lingkungan hidup.

"Ketiga ranah tersebut saling terkait dan berinteraksi satu sama lain. Apabila dianalogikan sebagai pohon, maka pembangunan karakter dan kualitas manusia adalah akarnya".

"Pembangunan kelembagaan sosial politik dan tata kelola pemerintahan ibarat batang yang menjadi inti dari sebuah pohon. Sedangkan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan ibarat bunga dan buah yang memberikan manfaat bagi kehidupan," kata Bamsoet. 

Dia menuturkan, Badan Kajian MPR juga telah menyiapkan usulan naskah akademik dan rancangan UU MPR. 

Pembentukan Undang-undang MPR yang terpisah dari Undang-undang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (UU MD3) sesuai dengan amanat ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Khususnya, Pasal 2 Ayat (1), Pasal 19 Ayat (1), dan Pasal 22C Ayat (4), yang mengamanatkan bahwa kelembagaan MPR, DPR, dan DPD diatur dengan undang-undang tersendiri,

"Dari sisi ketatanegaraan Indonesia, pemisahan UU tentang MPR, UU tentang DPR, dan UU tentang DPD sangat penting. Terlebih, masing-masing lembaga perwakilan rakyat itu memiliki tugas pokok dan fungsi yang berbeda". 

"Semisal, MPR merupakan lembaga yang memiliki kewenangan tertinggi untuk mengubah dan menetapkan undang-undang dasar. Sementara, DPR dan DPD merupakan lembaga perwakilan rakyat," kata Bamsoet.

Bamsoet menambahkan, Badan Kajian MPR juga telah melakukan kajian terhadap perubahan tata tertib (Tatib) MPR terkait beberapa ketentuan. 

Diantaranya, tentang tata cara pelantikan dan pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden, jenis putusan MPR setelah perubahan UUD NRI 1945, pengaturan pelaksanaan wewenang MPR, pelaksanaan sidang tahunan MPR, serta tata cara perubahan UUD NRI 1945. 

"Nantinya perubahan Tata Tertib MPR RI akan dibahas dalam Rapat Gabungan Pimpinan MPR RI bersama Pimpinan Fraksi, Kelompok DPD, dan Alat Kelengkapan," jelasnya. "Setelah disepakati perubahan terhadap Tata Tertib MPR dalam rapat gabungan, hasilnya akan dibawa dan disahkan dalam rapat paripurna MPR akhir masa jabatan," imbuh Bamsoet.