Penikmat Dana Iklan Bank BJB


Jakarta, MI - Kasus dugaan fraud di bank daerah terus berlanjut. Terbaru, PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk (Bank BJB) diduga terlibat dalam kasus korupsi dana iklan.
Dugaan kasus korupsi ini mencakup penggelembungan (markup) dana iklan oleh Bank BJB selama periode 2021-2023, dengan nilai mencapai Rp 200 miliar yang diduga mengalir ke sejumlah pejabat bank.
Diketahui, bahwa Bank BJB pada Tahun 2021, 2022 dan Semester I 2023 telah merealisasikan Beban Promosi sesuai Laporan Keuangan PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten seluruhnya sebesar Rp1.159.546.184.272,00. Realisasi tersebut antara lain berupa Beban Promosi Umum dan Produk bank sebesar Rp820.615.975.948,00.
Dari realisasi beban promosi umum dan produk bank tersebut, di antaranya sebesar Rp801.534.054.232,00 dikelola oleh Divisi Corporate Secretary (Corsec).
Pemeriksaan secara uji petik dilaksanakan secara terbatas atas biaya penayangan iklan di media televisi, media cetak dan media online melalui kerja sama dengan enam agensi seluruhnya sebesar Rp341.889.544.020,00 yang kini fokus diusut KPK.
Audit BPK menggunakan sub judul Mekanisme Pengadaan Jasa Agensi Belum Menjamin Terciptanya Harga yang Paling Menguntungkan bank bjb dalam laporannya. Padahal, di dalam laporan justru sangat kuat terekam indikasi adanya kerugian negara dan pelanggaran terhadap aturan pengadaan.
Bahkan, dalam laporan yang sama, secara eksplisit disebutkan, sudah berulang kali auditor BPK meminta dokumen bukti bayar penayangan iklan dari agensi iklan ke manajemen Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten (BJB), tapi tak kunjung dipenuhi. Pun, hasil nihil juga didapati auditor negara saat meminta bukti kepada agensi.
Menurut sumber Monitorindonesia.com yang enggan disebutkan namanya mengatakan bahwa “Pengadaan Barang dan Jasa (hususnya iklan) yang membidanginya adalah Divisi Corporate Sekretary (Approver) bank bjb Kantor Pusat, Widi Hartoto sebagai Pemimpin Divisi Corporate Sekretary. Dan dia disebut-sebut salah satu pegawai kepercayaan Yuddy Renaldi Direktur Utama Bank BJB".
Dalam laporan bernomor 20/LHP/XVIII.BDG/03/2024, diungkap potensi aliran dana dengan nilai mencapai Rp260 miliar yang tidak jelas. Hasil itu didapat auditor negara melalui serangkaian investigasi dan uji petik.
Pihak BJB dan enam agensi iklan memilih tertutup tutup mulut kepada auditor tentang besaran uang yang dibayar ke media massa. Keenam agensi itu adalah PT Cipta Karya Sukses Bersama (CKSB), PT Antedja Muliatama (AM), PT Cakrawala Kreasi Mandiri (CKM), PT Wahana Semesta Bandung Ekspres (WSBE), PT BSC Advertising (BSCA) dan PT Cipta Karya Mandiri Bersama (CKMB).
Pihak BJB menyiapkan anggaran promosi hingga Rp1,15 triliun. Sebagian besarnnya, yakni Rp820,61 miliar dialokasikan untuk promosi produk bank dan umum di media massa.
Laporan BPK menyebutkan sebanyak RpRp341.889.544.020,00 telah digelontorkan kepada enam agensi itu. Para agensi mendapat bayaran berdasar bukti penayangan iklan atau logproof.
Namun, dalam perjanjian kerja sama, agensi tidak diwajibkan oleh BJB untuk melampirkan bukti pembayaran kepada media. Padahal, bukti bayar ini menjadi dasar klaim agensi kepada bank. Hal ini yang menjadi celah terjadinya penggelembungan harga.
Saat BPK mengonfirmasi kepada sejumlah media, indikasi mark-up pun terlihat kentara dari total realisasi penayangan iklan di TV, media cetak dan online.
Misalnya iklan di TV, terdapat 17 media arus utama yang dipasang iklan BJB. Seperti Global TV yang mengonfirmasi ke BPK bahwa bayaran iklan dari agensi sebesar Rp350 juta.

Sedangkan, pihak agensi mengklaim bayaran ke BJB mencapai Rp2,66 miliar atau selisih sekitar Rp2,31 miliar. Masih dalam selisih miliaran rupiah, pihak Trans 7 mengonfirmasi biaya iklan yang dibayarkan agensi Rp1,13 miliar.
Padahal, klaim yang diajukan agensi tembus berkali lipat hingga Rp8,58 miliar.
Adapun total selisih untuk di media TV saja sebesar Rp28,14 miliar. Jumlah selisih didapat dari klaim BJB untuk belasan TV sebesar Rp37,93 dikurang jumlah hasil konfimasi media yang hanya Rp9,79 miliar.
Namun, BPK dalam laporannya tidak menyebut itu sebagai kerugian keuangan negara, tetapi hanya ‘pemahalan’.
Jumlah selisih yang sarat penggelembungan harga ini berpotensi lebih besar lagi. Sebab, BPK tidak memperoleh akses transaksi dari agensi yang membayar jasa iklan ke media.
Para agensi menolak mengeluarkan dokumen transaksi dengan alasan kerahasiaan perusahaan. “Dokumen tersebut diperlukan untuk menguji kebenaran pelaksanaan penayangan iklan dan biaya penayangan,” tulis laporan BPK sebagaimana dilihat Monitorindonesia.com, Senin (14/10/2024).
Pimpinan PT CKSB yang mendapat dana proyek sekitar Rp78,46 miliar, beralasan selisih bayar itu sebagai margin atau nilai keuntungan. Dalam keterangannya ke auditor, direktur perusahaan juga bilang nilai selisih berasal dari fee sebesar 1% yang diatur dalam kontrak dengan BJB.
Pimpinan Divisi Corporate Secretary yang berstatus Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pengadaan promosi iklan ini, pun mengatakan, perbedaan nilai margin dan fee tersebut masih dianggap wajar demi keterkenalan produk bank di publik.
Selain itu, terdapat sejumlah selisih yang didapat agensi ditaksir bisa lebih banyak lantaran tidak terdapat bukti tertulis pemesanan iklan antara pihak agensi dan media.
Pun tidak ada di atas hitam-putih ihwal kontrak kerja sama. Sehingga ditemukan beberapa alokasi iklan yang tidak sesuai dengan proyeksi lini masa agensi. Bahkan, ada beberapa iklan muncul dalam sela program TV tertentu, yang sebenarnya tidak tercantum dalam proposal agensi ke BJB.
“Hubungan kerja sama yang selama ini diterapkan dengan media berlandaskan rasa saling percaya,” tulis laporan BPK yang merangkum alasan para agensi.
Masih dalam pengondisian iklan di TV, pihak BJB ternyata tidak mewajibkan penawaran harga pasang iklan yang dipatok media.
Sehingga bank mengeluarkan estimasi anggaran semaksimal mungkin, alih-alih menekan anggaran demi efisiensi keuangan di sektor bisnis lain.
Promosi di media online pun tak kalah gelap transparansinya. Pihak PT BSCA disebut BPK mengalihkan kerja promosi iklan ke PT WSBE tanpa pemberitahuan ke BJB. Padahal, kedua perusahaan sudah mendapat dana promosi iklan sebesar Rp50 miliar lebih.
Akibat pengalihan kerja tanpa izin ini, BPK melaporkan bahwa anggaran menjadi sia-sia lantaran panjanganya rantai jasa iklan dari satu perusahaan ke perusahaan lain. Sementara itu, BJB sudah membayar jasa agensi ke PT BSCA sebesar Rp29,86 miliar.
“Potensi pemborosan atas pekerjaan penayangan iklan media online yang dialihkan PT BSCA ke PT WSBE,” tulis laporan BPK lagi.
Dalam lingkup iklan yang melibatkan institusi berpusat di Bandung, Jawa Barat, sejumlah PT di atas kerap menang proyek promosi. Semisal PT AM yang mendapat proyek iklan media online dari Dinas Komunikasi dan Informatika Kota Bandung pada 2023. Proyek iklan medium serupa didapat juga PT CKM.
Perusahaan yang terdaftar di Bandung ini menang proyek senilai Rp200 juta. Juga, PT WSBE yang mendapat proyek iklan media online dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat dengan nilai pagu Rp505 juta. Semua proyek yang dimenangkan itu melalui mekanisme pengadaan langsung atau tanpa tender.
Untuk dua perusahaan terakhir yang disebut tidak asing dalam industri media massa di Bandung dan Jawa Barat. Media bernama Jabar Ekspres (dulu Bandung Ekspres) di bawah naungan PT WSBE. Sedangkan PT CKM dimiliki oleh Ikin Asikin Dulmatin, yang merupakan pimpinan PT Ayo Media Network.
Anak Ikin juga pemilik saham PT AM yang dalam proyek iklan dari BJB ini mendapat anggara Rp88,75 miliar. Afiliasi perusahaan juga terlihat antara PT CKMB dan PT CKSB. Saham dua perusahaan yang berlokasi di Jakarta ini dipegang oleh satu orang.
Selain tidak terbuka soal dokumen kontrak dan penayangan iklan di media, penentuan pengadaan proyek juga dipertanyakan. Dalam laporan BPK, keenam agensi menang proyek melalui mekanisme pengadaan, pemilihan dan penunjukan langsung.
Mekanisme pengadaan dinilai tidak benar lantaran penentuan yang seharusnya merujuk nilai total transaksi, tapi justru berdasar nilai fee 1-2 persen.
Jika HPS atau harga perkiraan sendiri berdasar nilai fee sekian persen tersebut, maka harga yang terefleksi paling besar hanya Rp1 miliar. Walhasil, nilai itu tidak menghitung dari biaya penanganan iklan.
Sedangkan, muatan nilai transaksi yang juga mencakup biaya iklan ke media bisa berjumlah puluhan miliar. Seperti PT CSKB yang mencatatkan nilai transaksi Rp42 miliar pada 2022 untuk promosi iklan di TV dan media online. “Maka metode pengadaan yang akan dipilih seharusnya adalah tender,” petik laporan BPK.

Mekanisme pengadaan secara langsung ini, juga bertabrakan dengan SK Direksi Nomor 0387/SK/DIR-UMU/2020 tentang Standar Operasional Prosedur Pengadaan Barang/Jasa.
Pengadaan yang bernilai Rp1 miliar ke atas wajib menggunakan skema tender. Manajemen BJB berdalih tidak membuka lelang proyek ini karena khawatir gagal lelang. Namun, klaim ini dalam laporan BPK dimentahkan lantaran tidak ada bukti.
Buruknya tata kelola bank daerah
Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menilai kasus ini menunjukkan buruknya tata kelola bank milik daerah.
Sama seperti halnya bank milik negara (BUMN) dan juga bank milik daerah (BUMD) pada prinsipnya kerap menjadi sapi perah penguasa. “Prinsipnya BUMN dan BUMD itu jadi sapi perah dari oknum penguasa,” kata Boy sapaannya kepada Monitorindonesia.com pada beberapa waktu lalu dikutip pada Senin (14/10/2024).
Menurut Boy, oknum penguasa adalah mereka yang punya kewenangan. “Kalau di pusat oknum itu bisa eksekutif atau legislatif. Kalau di daerah bisa gubernur atau DPRD. Paling tidak untuk membiayai kepentingan politik yang bersangkutan kalau toh tidak masuk kantong sendiri,” jelasnya.
Kasus di BUMD termasuk di Bank BJB, juga diperparah dengan adanya keterkaitan penyalahgunaan wewenang anggota BPK.
Kasus yang sama juga kerap terjadi kongkalikong antara BUMN dengan anggota BPK. “BPK punya wewenang mengawasi. Ketemu oknum nakal ya sudah. Dua-duanya bisa bersekongkol untuk menutupi busuknya atau jeleknya tata kelola di BUMN atau di BUMD,” kata Boy.
Bagaimana perkembangan kasus ini?
Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu kepada wartawan di Bogor, Jawa Barat, Minggu (15/9/2024), menyatakan dugaan korupsi penempatan dana iklan PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk (BJB), sudah naik ke level penyidikan.
“Bank BJB telah melakukan mark-up dana penempatan iklan pada 2021-2023. Total uang markup itu kurang lebih Rp200 miliar dalam kurun waktu tersebut,” katanya.
Menurut Asep, penggelembungan mencapai 100 persen. Setiap pemasangan iklan di satu media, seharga RP200 juta dalam satu kali placement digelembungkan hingga Rp400 juta.
Duit sebanyak itu diduga tidak hanya masuk ke dirut BJB tetapi juga masuk ke sejumlah pejabat. Bahkan disebut-sebut duit mengalir sampai ke Ahmadi Noor Supit agar Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI menghapus soal temuan tersebut.
KPK akan Periksa Anggota BPK Ahmadi Noor Supit?
Berdasarkan informasi yang diperoleh Monitorindonesia.com, sebanyak lima orang telah dijerat sebagai tersangka dalam kasus tersebut. Dari lima tersangka, dua di antaranya merupakan pihak internal BJB, sementara 3 lainnya merupakan pihak swasta.
Seperti pada biasanya, sebelum pengumuman tersangka, KPK tentunya berkutat dulu pada pemeriksaan saksi-saksi. Pun, KPK membuka peluang memeriksa anggota BPK Ahmadi Noor Supit itu sepanjang kepentingan penyidikan kasus tersebut.
"Tentunya semua pihak yang dibutuhkan keterangannya untuk memperkuat dugaan tindak pidana korupsi yang sedang ditangani akan dipanggil," tegas Juru Bicara KPK, Tessa Mahardika Sugiarto kepada Monitorindonesia.com, dikutip pada Sabtu (28/9/2024).
Tessa memastikan, siapa pun jika kesaksiannya dibutuhkan, termasuk oknum Anggota BPK itu, maka akan dipanggil dan diperiksa. "Bila sudah terbit Surat Perintah Penyidikan (Sprindik), tentu bergantung pada kebutuhan penyidikan," kata Tessa sembari menyatakan Sprindik kasus ini masih proses administrasi penerbitan.
Di lain sisi berdasarkan informasi yang diperoleh Monitorindonesia.com juga bahwa Ahmadi mantan anggota DPR dari Partai Golkar telah dua kali memanggil Supit sebagai saksi di tingkat penyelidikan.
Namun, Supit diketahui tak pernah menunjukkan batang hidungnya ke KPK. Ahmadi diduga melakukan intervensi kepada auditor BPK Perwakilan Jawa Barat agar temuan penyimpangan tidak berisiko bagi manajemen BJB.
Apa kata Bank BJB?
Bank BJB memberikan tanggapan resmi terkait penyelidikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengenai dugaan markup dana sebesar Rp200 miliar untuk penempatan iklan dalam periode 2021-2023. Menanggapi kasus ini, Bank BJB menegaskan komitmennya terhadap prinsip akuntabilitas dan transparansi.
Widi Hartoto, Approver Bank BJB, menyatakan bahwa pihaknya selalu mematuhi prinsip tata kelola yang baik dalam semua aktivitas operasional, termasuk penempatan iklan dan kerja sama dengan pihak ketiga. “Kami menghormati proses hukum yang sedang berlangsung dan berkomitmen untuk bekerja sama sepenuhnya dengan aparat penegak hukum untuk memastikan bahwa seluruh proses hukum dilakukan dengan objektif dan transparan,” ujar Widi.
Meskipun ada penyelidikan yang melibatkan lima orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka, termasuk direktur utama Bank BJB, pihak manajemen menegaskan bahwa hingga saat ini tidak ada tuntutan hukum yang secara langsung mempengaruhi pengurus, pegawai, atau perseroan. Bank BJB juga menegaskan bahwa operasi dan layanan kepada nasabah tidak terpengaruh oleh isu ini.
“Bank BJB terus melanjutkan rencana penerbitan obligasi berkelanjutan tahap I Tahun 2024 sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan. Kami berkomitmen untuk menjaga integritas dan kualitas pelayanan kepada masyarakat dengan melaksanakan semua aktivitas sesuai dengan kaidah hukum dan prinsip tata kelola yang baik,” tambah Widi.
Bank BJB memastikan bahwa semua kegiatan bisnisnya dilaksanakan dengan mematuhi prinsip-prinsip tata kelola yang baik, dan seluruh aktivitas bisnisnya tercermin dalam laporan yang diaudit oleh auditor independen. Dengan demikian, Bank BJB berusaha untuk menjaga kepercayaan publik dan memastikan bahwa isu ini tidak berdampak pada operasional sehari-hari maupun layanan kepada nasabah.
Pergantian Komisaris BJB
Di tengah pengusutan dugaan korupsi, bank BJB malah merombak jajaran komisarisnya. Pada 5 September 2024 digelarlah Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) Tahun 2024 di Grand Ballroom Trans Hotel Bandung.
Hasilnya, pemegang saham menerima pengunduran diri Ventje Rahardjo Soedigno selaku Komisaris Utama Independen Bank BJB.
Selanjutnya mengangkat Taswin Zakaria sebagai Komisaris Utama Independen, dan Mohammad Taufiq Budi Santoso sebagai Komisaris, serta Hilman Purakusumah Komisaris Independen.
Berdasarkan keputusan RUPSLB Tahun 2024, inilah susunan Komisaris yang baru dari Bank BJB:
1. Komisaris Utama Independen : Taswin Zakaria
2. Komisaris : Mohammad Taufiq Budi Santoso
3. Komisaris : Tomsi Tohir
4. Komisaris : Rudie Kusmayadi
5. Komisaris Independen : Diding Sakri
6. Komisaris Independen : Hilman Purakusumah.
Kata OJK
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Dian Ediana Rae, menyatakan pihaknya masih menunggu perkembangan terkait kasus tersebut.
"Itu kan masih disampaikan ke publik gitu ya, jadi kita belum tahu seperti apa," ujar Dian saat ditemui di Jakarta, Senin (14/10/2024).
Ia juga mengungkapkan bahwa OJK belum menerima informasi resmi dari Bank BJB terkait dugaan korupsi ini dan karenanya belum dapat memberikan banyak komentar.
Namun, Dian memastikan bahwa OJK sudah meminta klarifikasi dari Bank BJB terkait permasalahan ini. "Tentu saja yang terkait itu sudah ada proses," tandasnya.
Ketua BPK RI, Isma Yatun belum memberikan respons konfirmasi Monitorindonesia.com pada tanggal 15 September 2024 lalu hingga berita ini diterbitkan. (wan)
Topik:
KPK BJB BPK OJK Korupsi Bank BJB