Haerul Saleh Dilaporkan ke MKKE BPK, Diduga Tak Laporkan Temuan Vaksin PMK ke APH


Jakarta, MI - Anggota IV Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, Haerul Saleh, dilaporkan ke Majelis Komite Etik (MKKE) BPK RI atas dugaan tidak melaporkan hasil LHP (Laporan Hasil Pemeriksaan) soal temuan vaksil Penyakit Kuku dan Mulut (PMK) Kementerian Pertanian (Kementan).
Adapun laporan itu dilayangkan Forum Komunikasi Generasi Muda Pejuang Aspirasi Rakyat (FK GEMPAR) belum lama ini. Bahwa FK GEMPAR melaporkan dugaan pidana etik itu berdasarkan atas LHP atas sistem pengendalian intern dan kepatuhan terhadap ketentuan Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Pertanian Tahun 2022. LHP Nomor 14.b/LHP /XVII/05/2023 tanggal 23 Mei 2023.
Bahwa dalam LHP BPK RI ditemuan kelebihan pembayaran atas kewajaran harga penyediaan vaksin PMK Tahap II dan III sebesar Rp49.878.637.368,06 dan pembentuk harga vaksin PMK dari PT HAI sebanyak dua kontrak sebesar Rp80.492.000.000,00.
"Anggota IV BPK RI, Haerul Saleh yang bertanggung jawab atas hasil LHP di Kementan tidak melaporkan temuan tersebut kepada instansi berwenang yakni KPK, Kejaksaan dan Polri," kata Sekretaris Jenderal (Sekjen) FK GEMPAR, Jo Eben, kepada Monitorindonesia.com, dikutip pada Senin (12/5 2025).
Padahal, dalam Pasal 8 ayat (3) UU Nomor 15 tahun 2006 tentang BPK dinyatakan bahwa “Apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan paling lama 1 (satu) bulan sejak diketahui adanya unsur pidana tersebut”.
Selanjutnya, bagian keempat larangan dalam Pasal 28. Bahwa Anggota BPK dilarang memperlambat atau tidak melaporkan hasil pemeriksaan yang mengandung unsur pidana kepada instansi yang berwenang.
Anggota BPK RI bisa dipidana, sebagaimana pada BAB IX Ketentuan Pidana, Pasal 36 ayat (1) bahwa "Anggota BPK yang memperlambat atau tidak melaporkan hasil pemeriksaan yang mengandung unsur pidana kepada instansi yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)."
Adapun hasil pemeriksaan atas dokumen kewajaran harga vaksin PMK pada delapan kontrak tahap II dan III, menunjukkan adanya koreksi atas kewajaran item pekerjaan pembentuk harga antara lain berupa pajak penghasilan, denda keterlambatan, biaya overhead, biaya penyimpanan, margin keuntungan yang diperbolehkan dan biaya lainnya yang tidak terkait langsung dengan pengadaan vaksin yang dibebankan sebagai harga yang harus ditanggung pemerintah.
Bahwa BPK RI menyatakan kondisi tersebut mengakibatkan kelebihan pembayaran vaksin PMK sebesar Rp49.878.637.368,06.
Rinciannya: PT PC Rp2.050.167.895,80, PT EAHI sebesar Rp1.959.815.902,00; PT ABI Rp11.375.455.680,16, PT JS sebesar Rp1.604.864.664,00; PT BPA Rp30.535.114.270,10 (Rp7.202.954.990,36 + Rp23.332.159.279,74); PT HAI Rp136.189.443,00; dan PT SHI Rp2.217.029.513,00.
BPK juga menemukan pembentuk harga vaksin PMK dari PT HAI sebanyak dua kontrak sebesar Rp80.492.000.000,00 (Rp40.246.000.000,00 + Rp40.246.000.000,00) tidak dapat dinilai kewajarannya.
BPK RI menyatakan bahwa permasalahan tersebut disebabkan, Direktur Kesehatan Hewan belum optimal dalam pengendalian dan pengawasan kegiatan penyediaan vaksin PMK yang menjadi tanggung jawabnya; dan PPK Satker Direktorat Kesehatan Hewan belum optimal dalam mengendalikan pelaksanaan kontrak.
Atas temuan permasalahan tersebut, Menteri Pertanian melalui Sekretaris Ditjen PKH menyatakan sependapat. BPK merekomendasikan kepada Menteri Pertanian agar memerintahkan KPA dan PPK terkait untuk mempertanggungjawabkan ketidakwajaran pembebanan harga vaksin minimal sebesar Rp49.878.637.368,06 dan melakukan perhitungan kewajaran harga atas dua kontrak pengadaan vaksin sebesar Rp80.492.000.000,00.
FK GEMPAR menduga bahwa temuan BPK RI atas kelebihan pembayaran vaksin PMK sebesar Rp49.878.637.368,06 dan pembentuk harga vaksin PMK dari PT HAI sebanyak dua kontrak sebesar Rp80.492.000.000,00 mengandung unsur pidana, karena pengadaan vaksin ini merugikan keuangan negara. Seharusnya sesuai UU Nomor 15 tahun 2006 tentang BPK RI.
Pada Pasal 8 Ayat 3 : “Apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan paling lama 1 (satu) bulan sejak diketahui adanya unsur pidana tersebut”.
Di lain isi, FK GEMPAR juga telah menyurati Ketua BPK RI, Isma Yatun, mempertanyakan apa dasar hukum BPK RI merekomendasikan kepada kontraktor mengembalikan kerugian negara itu, namun tidak memperdulikan.
"Seharusnya sebgai lembag negara yang terhotmat dan Punya Kewengan Begitu besar, sebaiknya membalas surat dari lembaga yang mempertanykan.
Jo Eben menegaskan, bila BPK RI melakukan pemeriksaan atas proyek pemerintah dan ditemukan ada kerugian negara, selanjutnya BPK RI merekomendasikan agar memulangkan.
"Ya enak betul para terduga koruptor. Inikan kerena ketahuan, coba gak ketahuan, enak betuk kontraktor tersebutkan menikmati uang negara. Faktanya hingga kini, Haerul Saleh tidak melaporkan temuan tersebut kepada lembaga berwenang, bisa ke KPK, Kejaksaan atau Polri," demikian Jo Eben.
Monitorindonesia.com, Senin (12/5/2025) malam telah menghubungi Ketua BPK RI, Isma Yatun, Haerul Saleh dan pejabat Humas BPK RI Yudi Ramdan Budiman untuk mengonfirmasi dan meminta penjelasan atas hal itu. Namun, sampai tenggat artikel ini ditayangkan, belum merespons. (wan)
Topik:
BPK Vaksin PMK Haerul Saleh FK GEMPARBerita Terkait

BPK Didesak Audit Perdin Dirut Pupuk Indonesia Rahmad Pribadi: Jangan Anggap Perusahaan "Nenek Moyangnya"!
16 jam yang lalu

Ekonom Dorong Audit Investigasi Dugaan Patgulipat Pengambilalihan BCA oleh Djarum Group
27 Agustus 2025 09:17 WIB