Retno Sulistiyaningrum Sebut Ada Perbedaan Realisasi Keuangan Antara Monev Bappeda dengan DPRKP DKI Jakarta

Rizky Amin
Rizky Amin
Diperbarui 6 Mei 2023 03:47 WIB
Jakarta, MI - Plt Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (DPRKP) Provinsi DKI Jakarta, Retno Sulistiyaningrum buka suara soal kecurigaan sejumlah pihak yang menduga adanya penyimpangan dalam program dinas ini pasca covid-19 tahun 2020. Retno Sulistiyaningrum menjelaskan, bahwa kecurigaan yang disebutkan adanya laporan perbedaan proyeksi target dan anggaran terealisasi akibat dari kondisi masa pandemi covid-19. Namun perlu ditekankan bahwa sekalipun kondisi mencekam, pemerintah mempunyai pertimbangan memilah skala prioritas dan mempertimbangkan keselamatan manakala sebuah program harus dilaksaksanakan. Sebagai kepala Bidang Pemukiman, Retno Sulistiyaningrum mengklaim bahwa DPRKP Jakarta saat itu masih dimungkinkan untuk melakukan perbaikan kawasan permukiman kumuh yang juga sangat mendesak, sehingga diputuskan untuk direalisasikan. Soal capaian kinerja program dan kerangka pendanaan program perumahan rakyat dan kawasan pemukiman tahun 2020, Retno Sulistiyaningrum menyatakan bahwa, presentase unit perumahan rakyat yang terbangun dengan target 0,53% Rp 451.607.569.458 dan realisasi 0,53% Rp 246.455.910.559. Sementara jumlah kawasan/fasilitas pemukiman, ia menyebutkan, target 56 RW Rp 28.357.344.798 dan realisasi 27 RW kumuh Rp 25.971.410.132. "Anggaran dialihkan ke penanganan covid-19 sehingga anggaran untuk penanganan RW Kumuh diefisiensikan menjadi Rp 28.357.344.798 untuk 11 RW Kumuh dan realisasi DPRKP adalah sebesar Rp 25.971.410.132 untuk 11 RW Kumuh dengan rincian: SDPRKP Jakarta Pusat (2 RW Kumuh), SDPRKP Jakarta Utara (2 RW Kumuh), SDPRKP Jakarta Barat (2 RW Kumuh), SDPRKP Jakarta Selatan (2 RW Kumuh), SDPRKP Jakarta Timur (2 RW Kumuh) dan SDPRKP Kepulauan Seribu (1 RW Kumuh)," jelasnya kepada Monitor Indonesia, Jum'at (5/5). Lantas bagaimana dengan persentase perumahan rakyat yang terbangun, sesuai target tapi nilainya berbeda? Retno Sulistiyaningrum menjelaskan, bahwa untuk realisasi persentase unit perumahan rakyat yang terbangun, terdapat perbedaan realisasi keuangan antara monev Bappeda dengan realisasi DPRKP. "Dimana realisasi anggaran berdasarkan monev Bappeda adalah Rp 246.455.910.559 (tidak memperhitungkan uang muka untuk kegiatan pembangunan Rusun multi years 2019-2022). Sementara realisasi DPRKP seharusnya Rp 405.739.998.174 (dengan memperhitungkan uang muka untuk kegiatan pembangunan Rusun Multi Years 2019-2022)," katanya. Diberitakan sebelumnya, sejumlah pihak mempertanyakan kebijakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta di masa kepemimpinan Anies Baswedan dengan mengeluarkan dana APBD dalam bentuk dana bantuan tak terduga (BTT). Sumber Monitor Indonesia di Kebon Sirih menyatakan pertanggung jawaban keuangan Pemprov DKI tersebut masih belum jelas. “Diduga kuat sarat KKN. Untuk itu perlu kiranya penegak hukum segera mengambil langkah mengusutnya,” tegas sumber tersebut, Rabu (3/5). Sementara dari dokumen yang diperoleh Monitor Indonesia juga terlihat keanehan keanehan dari Reviu LKPJ 2020 Gubernur DPRD DKI Jakarta. Dari 17 point berikut rincian anggaran dan programnya terlihat kejanggalan-kejanggalan. Dari perhitungan kasar saja angka Dana BTT tersebut mencapai Rp 9 triliun lebih dan termasuk diantaranya peruntukan ke Dinas Sosial dengan nilai total Rp 3.722.056.488.500 yang kini sudah bergulir penegak hukum setelah viral dimedia sosial beberapa waktu silam. Berikut beberapa catatan yang merupakan gelontoran dana BTT: 1. Dinas Kesehatan dengan nilai total Rp 958.237.339.146. 2. Badan Pendapatan Daerah Rp 363.610.000. 3. BPBD dengan kegiatan pembelian masker kain 3 lapis dengan nilai anggaran Rp 200 miliar dan kegiatan pemberian honor insentif dan penunjang posko dengan nilai anggaran Rp 5.468.092.200. 4. Dinas Sosial Rp 3.722.056.488.500. 5. Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah Rp 285.247.243. 6. Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan Rp 10.374.289.120. 7. BKD Rp 23.621.697.200. 8. Satpol PP Rp 23.621.697.200. 9. Dinas Pariwisata dan Kreatif Rp 91.708.418.618. 10. Inspektorat Rp Rp 4.051.800.000. 11. Biro Umum Rp 1.294.483.751. 12. Dinas Pendidikan Rp 176.000.000. 13. Sekretaria DPRD Rp 2.195.138.855. 14. Dinas Kominfo Rp 29.049.600.000. Sementara itu Syaefuloh Hidayat kepala Inspektorat prov DKI Jakarta kepada Monitor Indonesia, Selasa (2/5) menyatakan bahwa belanja tak terduga (BTT) ada dalam postur APBD dan sudah dipertanggungjawabkan sesuai ketentuan. Mantan pejabat BPKP ini menyatakan Pemprov DKI memperoleh predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK RI pada tahun tersebut. “Terima kasih pak. Izin memberikan penjelasan singkat sebagai berikut. Belanja tak terduga atau BTT itu ada dalam postur APBD Pak dan telah dipertanggung jawabkan sesuai ketentuan,” katanya. Menurutnya, hal itu juga telah dicantumkan dalam laporan keuangan yang kemudian diaudit BPK dengan opini WTP. “Serta pertanggung jawaban keuangan tersebut telah juga di tetapkan dalam Perda Pertanggung Jawaban APBD (P2APBD),” tambahnya. Bertolak belakang dengan Kepala Inspektorat tersebut, sumber Monitor Indonesia menyebutkan bahwa penggunaan dana BTT tersebut murni keputusan Gubernur, Sekda, Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) dan Dinas terkait tanpa persetujuan DPRD. “Kalau dikatakan Inspektorat ada dalam postur APBD itu hanya nilai dana BTT saja,” katanya. (Sabam Pakpahan)
Berita Terkait