Kasus Dugaan Malpraktek Resmi Dilapor KePolda Metro Jaya

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 10 Februari 2025 21:03 WIB
Gedung Krimsus Polda Metro Jaya (Foto/Ist)
Gedung Krimsus Polda Metro Jaya (Foto/Ist)

Jakarta, MI – Setidaknya ada 4 pertanyaan yang sangat penting dan wajib dijelaskan Direktoran Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI kepada masyarakat terkait permohonannya ke Dirjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan (Dirjen Farmalkes) Kementerian Kesehatan RI Nomor: PM.01.04/2721/2023 tertanggal 13 Juni 2023 perihal pemasukan obat melalui jalur khusus/Special Access (SAS) yang disetujui Dirjen Farmalkes 27 Juni 2023 untuk menerima donasi dari global fund to figh Aids  (GFATM).

Pertama: Syarat yang menjadi ketentuan pengelolaan bantuan/donasi oleh pemberi Donasi yang wajib dilaksanakan penerima donasi.

Kedua: Nilai dana yang didonasikan GFATM kepada pasien dan pendamping pasien setiap kontrol, khususnya penderita penyakit Tuberculosis Resisten Obat (TB-RO) di Indonesia, apakah ada insentif untuk Perawat, Apoteker dan dokter (dr).

Ketiga: Mengenai sertifikat analisis, informasi yang menyatakan obat telah memiliki izin edar atau persetujuan penggunaan darurat dari otoritas obat negara asal atau negara lain untuk keperluan donasi.

Keempat: Otoritas Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI khusus registrasi dan penyaluran obat yang dipasok melalui jalur khusus tersebut untuk dapat dikonsumsi masyarakat atau pasien.

Penjelasan itu kata salah seorang pasien Poli Linik TBMDR RSUD Kabupaten Bekasi berinisian MA sangat penting karena setelah dirinya mengkonsumsi jenis obat yang dipasok melalui jalur khusus atau donasi tersebut, penyakitnya justeru semakin parah dengan timbulnya penyakit lain seperti: Napsu makan hilang, mual/muntah, otot nyeri sulit digerakkan, Jantung berdebar-debar, Kulit gatal, Penglihatan mata buram, Telapak kaki terasa panas sakit diinjakkan yang dia duga efek samping obat.

MA pun mengaku trauma makan obat kimia walau resep dr ketika dia mengetahui, dari 6 jenis obat, Bdg 100 mg (2 tablet), Cfz 100 mg (1 kapsul), Lfx 250 mg (4 tablet), Lzd 500 mg (1 tablet), Cs 250 mg (3 kapsul), dan Vit B6, 25 mg (1 tablet) yang diberikan dr Poli Linik, satu diantaranya, yakni: Cicloserin 250 mg produksi Dong-A ST Co.Ltd, Korea Selatan yang wajib dikonsumsi tiga (3) kapsul sekali makan belum terdaftar dan belum ada ijin edar dari BPOM RI.

“Kewajiban Diren P2P mencantumkan Kode SAS dan Label SAS pada kemasan terkecil obat sebagaimana ketentuan butir 4 Surat Keterangan Nomor:FP.01.01/E/1150/2023 tentang persetujuan pemasukan obat melalui jalur khusus/Special Acces Scheme (SAS) diduga keras belum dilaksanakan. Begitu juga mengenai sertifikat analisis, informasi yang menyatakan obat telah memiliki izin edar atau persetujuan penggunaan darurat dari otoritas obat negara asal atau negara lain untuk keperluan donasi supaya dijelaskan sedetil mungkin kepada masyarakat,” kata MA menaruh curiga jangan-jangan para pasien yang divonis TB-RO menjadi peserta uji klinis yang kehilangan haknya.

Ketika hal ini dikonfirmasi kepada Direktur Pencegahan dan Pengendaian Penyakit (Dirjen P2P) Kemenkes RI, melalui suratnya Nomor:PS.04.1/C/223/2025 tertanggal 4 Februari 2025 yang ditanda tangani Plt Dirjen Penanggulangan Penyakit, dr. Yudhi Pramono menjelaskan: Obat yang beredar di Indonesia harus memiliki izin edar dari BPOM.

Pada kondisi tertentu berdasarkan peraturan pemerintah nomor 28 tahun 2024 tentang peraturan pelaksanaan UU nomor.17/2023 tentang kesehatan, dalam keadaan tertentu, sedian Farmasi Alat kesehatan dapat diinpor tanpa mmemiliki perijinan berusaha berupa izin edar melalui mekanisme jalur khusus yang dilaksanakan sesuai UU.

Menurut Yudhi, secara unum seluruh obat hanya dapat diedarkan apabila ada ijin edar, dikecualikan untuk obat yang belum memiliki izin edar dan belum diproduksi dalam negeri namun dibutuhkan dalam pelayanan kesehatan atau obat yang mengalami kekosongan stok yang berdampak mengganggu kesinambungan pelayanan kesehatan dapat dimasukkan melalui jalus SAS dan diedarkan.

Kemudian dalam surat jawaban konfirmasi, Yudhi membenarkan obat-obat tersebut merupakan donasi dari The Global Fund to Figh AIDS, Tuberculosis (GF ATM), dan mengenai pertanyaan monitorindonesia.com, apakah obat-obat tersebut sudah memiliki sertifikan analisis, informasi yang mengatakan obat-obat tersebut telah memiliki izin edar atau persetujuan penggunaan darurat dari otoritas negara asal, pertanyaan ini tidak secara tegas dijawab.

Yudhi mengatakan, berdasarkan PerMenkes Nomor.14/2021 tentang standar kegiatan usaha dan produksi pada penyelenggaraan perizinan berusaha berbasis resiko sector kesehatan disebutkan adanya persyaratan khusus atau persyaratan teknis produk, proses, dan/atau jasa, salah satunya perlu dibuktikan bahwa setiap obat yang diterima dari donasi perlu disertakan Cortificate of Analyst (CoA).

Yudhi menepis obat-obat tersebut dikaitkan dengan uji klinis. “Obat-obat tersebut bukan merupakan obat yang melalui uji klinis” kata Yudhi seraya menguraikan system pelaporan secara berjenjang. Penggunaan obat dilaporkan RS/Badan Usaha/Instalasi/Lembaga dibidang kesehatan melalui system informasi Tuberculosis  (SITB). Dirjen P2P Kemenkes mendistribusikan obat kepada Dinas Kesehatan Provinsi secara berjenjang.

Ditanya efek samping yang dikeluhkan pasien MA kepada monitorindonesia, Plt. Dirjen Pencegahan dan pengendalian penyakit Kemenkes, Yudhi membenarkan hasil monitoring dan laporan menunjukkan pasien mengalami mual/muntah, napsu makan berkurang, rasa kebas dan ngeri pada otot tangan dan kaki, elergi kulit ringan. Efek samping obat kata Yudhi merupakan hal yang dapat ditangani di tingkat Fasyankes TB-RO.

Terbatasnya pertanyaan pada surat konfirmasi tertulis monitorindonesia.com nampaknya juga mempengaruhi terbatasnya jawaban dari Dirjen P2P Kemenkes, sehingga 4 materi yang menurut pasien TBMDR berinisial MA belum sepenuhnya mendapat penjelasan.

Diberitakan sebelumnya, pasien Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Bekasi berinisial MA yang divonis dokter (dr) Poli Linik RSUD Kabupaten Bekasi menderita TB MDR dan dikasih obat, mengeluhkan kondisi kesehatannya semakin parah yang dia duga akibat efek samping obat yang dikonsumsinya sesuai resep dokter (dr).
MA pun mengaku telah resmi melaporkan peristiwa yang dialaminya di RSUD Kabupaten Bekasi itu kePolda Metro Jaya (PMJ). Dia berharap, Penyidik kePolisian dapat mengungkap segala dugaan kecurangan jika memang ada, kecerobohan jika memang ada kecerobohan para medis atau pejabat yang mengelola donasi GFATM tersebut.

“Saya Percayakan sepenuhnya ke Penyidik. Mudah-mudahan dalam waktu yang tidak terlalu lama kasus ini bisa klir end klin, dan harapan saya, obat yang tidak memiliki ijin edar itu pun sudah selayaknya ditarik dari peredaran,” kata MA kepada monitorindonesia.com (10/2) sambil menunjukan Laporan Polisi Nomor:STTLP/B/21/X/2024/SPKT/Polda Metro Jaya tanggal 16 Oktober 2024.

Menurut MA, dia melaporkan peristiwa yang menimpa dirinya itu ke APH bukan semata kepentingan pribadinya, tetapi lebih pada kemanusiaan karena hampir semua pasien yang divonis menderita TB-RO mengalami nasib yang sama dengan masa rawat jalan rata-rata 2 tahun dalam kondisi memprihatinkan. (red)

Topik:

Polda Metro Jaya