Pembunuhan di Luar Proses Hukum dan Penggunaan Senpi oleh Polisi Tak Semestinya - Bukan Bertindak Layaknya 'Algojo'

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 27 November 2024 13:39 WIB
Sejumlah rekan berdoa untuk siswa korban penembakan yang diduga oleh oknum polisi di Semarang, Semarang, Jawa Tengah, Selasa (26/11/2024)
Sejumlah rekan berdoa untuk siswa korban penembakan yang diduga oleh oknum polisi di Semarang, Semarang, Jawa Tengah, Selasa (26/11/2024)

Jakarta, MI - Seorang siswa kelas XI SMKN 4 Kota Semarang berinisial GRO dilaporkan meninggal dunia diduga akibat luka tembak di tubuhnya.

Jenazah warga Kembangarum, Kota Semarang, itu telah dimakamkan oleh keluarganya di Sragen pada Minggu (24/11/2024) siang.

Polisi menduga korban merupakan pelaku tawuran antargeng yang terjadi di sekitar wilayah Simongan, Semarang Barat, pada Minggu (24/11/2024) dini hari.

Polisi yang berusaha melerai peristiwa tawuran tersebut terpaksa membela diri dengan menembakkan senjata api.

Kemarin, Polrestabes Semarang telah melaksanakan prarekonstruksi kasus penembakan tersebut.

Setidaknya terdapat tiga lokasi kejadian yang disebut bermula dari tawuran antarkelompok tersebut.

Selain itu, anggota polisi berinisial R yang diduga sebagai pelaku penembakan juga sedang dalam pemeriksaan di Pengamanan Internal (Paminal).

Kasus oknum itu telah memicu kritik luas dari kalangan pegiat HAM terkait dengan pembunuhan di luar proses hukum dan penggunaan senjata api oleh polisi. 

Pun kasus ini menjadi sorotan baru-baru ini terkait penggunaan senjata api oleh polisi yang tidak semestinya.

Kendati, polisi mengatakan kasus ini terkait dengan tawuran dan pembelaan diri dari serangan.

Peneliti dari KontraS menduga kasus ini sebagai pembunuhan di luar proses hukum (extrajudicial killing), sementara Amnesty International Indonesia menyoroti "kegagalan sistemik dalam prosedur penggunaan senjata api" oleh polisi.

Namun, kepolisian membantah tuduhan ini dengan mengatakan banyak kalangan “belum mengetahui persis kejadiannya”. Polisi bersikeras siswa SMK di Semarang tewas karena terlibat tawuran.

Kapolrestabes Semarang, Kombes Pol Irwan Anwar, mengeklaim saat kedua kelompok terlibat tawuran, muncul anggota polisi yang mencoba untuk melerai.

Menurut Irwan, anggotanya melepaskan tembakan sebagai "tindakan tegas" karena ada serangan.

Di sisi lain, pihak SMK Negeri 4 Semarang meyakini remaja berinisial GRO sebagai "anak baik" yang tidak pernah terindikasi ikut tawuran.

Berikut hal-hal yang sejauh ini diketahui tentang kasus polisi diduga tembak siswa SMK di Semarang.

Konologi versi polisi

Peristiwa penembakan itu diperkirakan terjadi pada Minggu (24/11/2024) dini hari.

Kapolrestabes Semarang Kombes Pol Irwan Anwar mengakui seorang pelajar SMKN 4 Semarang tewas karena kemungkinan kena tembak anggotanya.

"Nanti saya masih menunggu hasil visum dari rumah sakit, tapi sepertinya dari luka tembak," kata Irwan, sambil menambahkan remaja berusia 17 tahun itu tertembak di bagian pinggul.

Irwan membuat klaim polisi melepaskan tembakan untuk melerai tawuran antardua kelompok. GRO dituduh menjadi salah satu anggota kelompok yang tawuran.

Kepolisian, kata Irwan telah memeriksa 12 anak yang terlibat tawuran, empat di antaranya ditetapkan sebagai tersangka.

Dalam keterangan terpisah, Kabid Humas Polda Jateng, Kombes Pol Artanto, bersama timnya melakukan "prarekonstruksi" di lokasi kejadian pada Selasa (26/11/2024).

Artanto mengungkap polisi yang melepas tembakan hingga menewaskan GRO berinisial Aipda R, anggota Polrestabes Semarang.

Saat ini Aipda R sedang dalam pemeriksaan Pengamanan Internal (Paminal) Profesi dan Pengamanan (Propam), klaim Artanto.

"Setiap penggunaan alat dan sebagainya dia harus dapat bertanggung jawab, apakah dia sudah melaksanakan sesuai dengan SOP atau dia melanggar," katanya.

Seorang advokat lokal, Zainal Abidin Petir, mengeklaim menelusuri fakta di lapangan.

Ketua LBH Petir (Penyambung Titipan Rakyat) Jateng ini mengaku “belum puas” dengan keterangan kepolisian bahwa tiga anak yang kena tembak itu karena melawan, membawa senjata tajam, sehingga mereka harus menghadapi “tindakan tegas”.

“Maka saya mencari informasi, apakah betul anak itu termasuk gangster. Nah kami sudah menelusuri ke sekolah. Di sekolah, catatan anak itu baik sekali,” kata Petir.

Ia juga mendesak Kapolrestabes Semarang, Irwan Anwar, tidak segan-segan mengambil tindakan ”kalau memang anak buahnya yang salah tidak sesuai dengan SOP”.

“Kita cintai Polri dengan bersih-bersih institusi polri. Kalau ada yang salah sikat saja,” kata Petir.

Kronologi versi pihak sekolah

SMK Negeri 4 Semarang mengeklaim tak pernah mendapat informasi dari polisi bahwa siswanya, GRO, tewas karena kena tembak polisi.

Setidaknya sampai Senin (26/11), pihak SMK Negeri 4 Semarang menyebut kematian siswanya sebagai "misterius".

"Makanya kita pun juga istilahnya belum dapat info yang jelas, kita tak berani menyampaikan penyebab kenapa," kata Staf Kesiswaan SMK Negeri 4 Semarang, Nanang Agus.

Dari informasi yang diperoleh pihak sekolah, saat peristiwa terjadi GRO sedang bersama dua rekannya bersepeda motor. Dua rekannya selamat dari insiden penembakan polisi.

Keduanya diduga juga terkena tembakan tapi tidak mengalami luka serius. Satu masih dirawat di rumah sakit, sementara lainnya sudah kembali ke rumah.

"Dari pihak keluarga belum mengizinkan bertemu siapa pun," kata Nanang.

Pihak sekolah juga meragukan keterlibatan GRO dan dua rekannya dalam tawuran.

GRO dan dua siswa lain tidak punya catatan pernah terlibat tawuran atau kasus kenakalan lainnya, klaim pihak sekolah.

"Anaknya baik. Kebetulan mereka anak-anak yang istilahnya terpilih. Mereka mengikuti ekstrakurikuler yang kita tahu paskibra, itu anak-anak pilihan," tambah Nanang.

Reaksi organisasi HAM?

Kepala Divisi Hukum KontraS, Andri Yunus, mengatakan pernyatan sepihak dari kepolisian atas peristiwa tewasnya pelajar SMK Negeri 4 Semarang, GRO, pada Minggu dini hari (24/11) hanya akan mengaburkan fakta yang sebenarnya.

Ini karena sampai Selasa (26/11) polisi belum menuntaskan proses penyelidikan dan penyidikannya guna mengurai peristiwa yang menimpa korban. 

Padahal sebagai institusi yang memiliki sumber daya besar, polisi semestinya bisa melakukan investigasi yang komprehensif.

"Pola yang kami temukan di beberapa kasus serupa, statment-statment berupa klaim seperti itu jadi pembelaan institusi polisi ke publik, yang semestinya jika memang ada dugaan pelakunya dari kepolisian ya enggak perlu dilakukan upaya pengaburan fakta," ujar Andri Yunus, Selasa (26/11/2024).

Kalau merujuk pada Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 1 Tahun 2009 tentang penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian, apa yang dilakukan Aipda R dinilai telah melanggar pasal 8 mengenai penggunaan kekuatan dengan kendali senjata api.

Disebutkan di sana ada beberapa syarat atau kondisi polisi bisa menggunakan senjata api:

Tindakan pelaku kejahatan atau tersangka dapat secara segera menimbulkan luka parah atau kematian bagi anggota Polri atau masyarakat

Anggota Polri tidak memiliki alteratif lain yang beralasan dan masuk akal untuk menghentikan tindakan/perbuatan pelaku kejahatan atau tersangka tersebut

Anggota Polri sedang mencegah larinya pelaku kejahatan atau tersangka yang merupakan ancaman segera terhadap jiwa anggota Polri dan masyarakat

Namun perlu ditekankan, penggunaan kekuatan dengan senjata api merupakan upaya terakhir untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka

Dalam kasus yang menimpa korban, kata Andri Yunus, polisi diduga kuat langsung melepaskan tembakan tanpa memperhitungkan bahwa yang disasar adalah anak.

"Terlebih korban adalah anak, sudah jelas penggunaan senjata itu tidak mencerminkan prinsip-prinsip dalam Perkap," katanya.

Dan kalaupun polisi terpaksa menembakkan senjatanya, maka tidak boleh menyasar organ vital yang bisa menyebabkan kematian.

"Yang paling penting sekalipun senjata api digunakan untuk melumpukan tidak boleh diarahkan ke bagian-bagian vital tubuh orang yang menyebabkan meninggal," tegasnya.

Menurut dia, polisi seharusnya menggunakan cara atau pendekatan yang persuasif apabila berhadapan dengan anak.

Sekalipun dianggap ada upaya ancaman balik seperti diancam dengan senjata tajam, harus diupayakan proses penegakan hukum.

"Kalau polisi pakai senjata api, sekali lagi hanya untuk melumpuhkan bukan untuk membunuh."

Atas dasar itulah Andri Yunus menilai apa yang dilakukan Aipda R bisa disebut sebagai "pembunuhan di luar hukum" atau extrajudicial killing.

Sebab pada dasarnya polisi bukan pihak pengadil atau penentu hukuman seseorang yang dituduh melakukan tindak pidana.

Tugas polisi sesuai aturan KUHP melakukan penangkapan, penahanan, penyitaan, dan lain sebagainya yang kemudian membawa terduga pelaku ke kejaksaan untuk diadili di pengadilan.

Bukan bertindak layaknya "algojo" yang memberikan penghukuman.

Catatan KontraS pada Juli 2023-Juni 2024 menemukan 35 peristiwa extrajudicial killing yang menyebabkan 37 orang meninggal.

Andri juga menyerukan agar polisi secara transparan mengumumkan hasil uji balistik, hasil pemeriksaan Aipda R.

Jangan sampai, kasus di Kota Semarang berakhir tanpa mengungkap kebenaran.

Tapi lebih dari itu, Andri Yunus, mendesak kepolisian agar tak cuma menjatuhkan sanksi etik jika anggotanya terbukti bersalah.

Tindakan anggota polisi tersebut harus dipertanggung jawabkan secara pidana karena bagaimana pun ada peristiwa yang menyebabkan hilangnya nyawa.

"Kami tidak ingin hanya disanksi etik, tapi pidana. Itu bisa berjalan beriringan,” katanya.

Kegagalan sistematik

Amnesty International Indonesia menyoroti apa yang mereka sebut “kegagalan sistemik dalam prosedur penggunaan senjata api dan pola pikir aparat yang cenderung represif”.

Kasus penggunaan senjata api oleh polisi yang diduga menewaskan warga sipil juga terjadi di Kepulauan Bangka Belitung di hari yang sama dengan insiden siswa SMK Semarang.

Dalam kasus ini personel Brimob Polda Babel diduga menembak warga yang dituduh mencuri buah sawit hingga tewas.

“Dua insiden di Semarang dan Bangka Barat ini mempertegas pola kekerasan polisi yang mengkhawatirkan, apalagi publik baru saja diguncang oleh kasus penembakan polisi senior terhadap polisi junior di Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.

Usman mempertanyakan mengapa penggunaan senjata api oleh polisi, yang seharusnya menjadi langkah terakhir, justru terkesan menjadi senjata utama.

Merespons peristiwa di Kota Semarang, Usman mengatakan dugaan penembakan remaja SMK “bukan hanya tidak legal, tidak perlu, tidak proporsional, dan tidak akuntabilitas, tetapi juga melanggar prinsip perlindungan hak asasi manusia”.

“Kejadian-kejadian ini tidak dapat dianggap sebagai insiden terisolasi, tapi mencerminkan kegagalan sistemik dalam prosedur penggunaan senjata api dan pola pikir aparat yang cenderung represif,” kata Usman, yang menuntut adanya pertanggungjawaban atas kasus-kasus penembakan.

Ia juga mendesak agar “negara juga harus merevisi aturan penggunaan senjata api, memastikan penggunaannya hanya sebagai upaya terakhir sesuai prinsip legalitas, nesesitas, proporsionalitas dan akuntabilitas agar tetap melindungi HAM".

Menurut catatan Amnesty International Indonesia, dari 16 Januari hingga 24 November 2024 terdapat sedikitnya 31 kasus pembunuhan di luar hukum oleh aparat atas 31 korban.

Dalam sebulan terakhir terdapat setidaknya delapan kasus dengan delapan korban. Sebagian besar kasus sejak awal tahun ini diduga dilakukan oleh personel Polri, yaitu 23 kasus dengan 23 korban.

Tanggapan polisi

Kabid Humas Polda Jateng, Kombes Pol Artanto, membantah tudingan yang ditujukan pada institusinya. Dia mengatakan sebagian kalangan “belum mengetahui persis kejadiannya”.

“Saya menyampaikan bahwa yang bersangkutan (Aipda R), tentunya dia akan melakukan tindakan kepolisian, diskresinya, kan berdasarkan kemampuan dia menalar tentang situasi yang ada. Kapan dia harus melepaskan senjata tersebut,” kata Artanto.

Ia juga mengatakan anggota polisi memegang senjata api juga tidak sembarangan karena sudah melalui tes kejiwaan, dan ada aturannya ketika melepaskan tembakan.

“Salah satu pertama, apabila dia melihat adanya gangguan atau ancaman bagi orang lain atau bagi dirinya sendiri, atau kepentingan umum yang lebih luas. Tindakan itu tentunya ada beberapa tahap, misalnya dia ada kesempatan untuk memberikan peringatan, dia akan memberikan peringatan.

Kemudian apabila dia sudah terdesak, dia tentunya harus melakukan upaya lain yang sifatnya melumpuhkan dulu,” tambah Artanto.

Saat ini, Aipda R yang diduga melepaskan tembakan hingga menewaskan Siswa SMK Semarang GRO sedang dalam pemeriksaan.

“Ini kan harus dikaji dulu, apakah yang bersangkutan sudah sesuai dengan SOP, bagaimana situasinya, keadaannya, dan kita tahu sendiri, kalau kreak (tawuran) itu di lapangan kayak apa, pada saat kejadian,” katanya.

Selain itu, polisi juga akan melakukan uji balistik, kata Artanto.

“Tentunya iya. Nanti kan proyektil yang ada di tubuh korban itu akan dilakukan proses pemeriksaan di labfor, apakah itu proyektilnya betul dari pistol milik yang bersangkutan,” katanya.

Artanto juga membantah tuduhan polisi merekayasa dan menutup-nutupi kasus ini.

"Tidak, kita kan transparan, pertama pada saat prarekonstruksi, kita kan membawa seluruh teman-teman media yang mau meliput…. Kita transparan dan silakan teman-teman dari sosial media atau pengamat lainnya untuk memonitor perkembangannya,” katanya.

Kementerian HAM turun tangan

Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai telah memerintahkan anak buahnya memonitoring kasus kasus siswa SMKN 4 Kota Semarang, Jawa Tengah, Gamma Rizkynata Oktafandy (GRO) yang tewas ditembak polisi. 

Aipda RZ selaku pelaku penembakan saat itu beralasan korban sebagai anggota gangster.

"Saya sudah perintahkan staf untuk monitoring kasus ini secara serius," kata Pigai kepada Monitorindonesia.com, Rabu (27/11/2024).

Menurut Natalius, masalah itu sebenarnya menjadi tugas Komisi Nasional Hak Asasi Nasional (Komnas HAM). 

Hanya saja, Kementerian HAM tetap perlu turun tangan untuk mengawal pengusutan kasus tersebut.

"Sesuai dengan Kewenangan yang dimiliki UU 39 Tahun 1999 maka Komnas HAM RI sebagai institusi pemantauan dan penyelidikan kasus HAM dan lembaga kuasi judisial memiliki tugas untuk melakukan pemantauan dan penyelidikan atas tewasnya siswa di Semarang," tandasnya.

Mabes Polri juga turun tangan

Mabes Polri menyatakan telah memberikan asistensi dalam penanganan kasus dugaan penembakan siswa yang dilakukan anggota polisi di Semarang, Jawa Tengah.

"Terkait kejadian di wilayah hukum Polrestabes Semarang, sudah dilakukan asistensi oleh Polda Jawa Tengah, kemudian juga asistensi dari Mabes Polri telah dilakukan," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Polisi Trunoyudo Wisnu Andiko di Gedung TNCC Polri, Jakarta, Selasa malam (26/11/2024).

Ia mengatakan dari Mabes Polri telah menurunkan tim dari Inspektorat Pengawasan Umum (Itwasum) serta Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) untuk memberikan asistensi.

Trunoyudo mengatakan saat ini proses asistensi sedang berjalan dan masyarakat diminta bersabar menunggu hasilnya.

"Asistensi ini tentu memberikan suatu kontribusi yang hasilnya akan menjadi lebih baik atau objektif. Jadi, rekan-rekan saya minta untuk menunggu," tandasnya. (wan)

Topik:

Polisi Semarang Senjata Api Pembunuhan