RI dalam Bahaya dan Menakutkan Tanpa UU Perampasan Aset: Siapa yang 'Membonceng' agar Tak Disahkan?

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 26 November 2024 07:49 WIB
RUU Perampasan Aset yang sudah dibahas sejak 2006 itu dipercaya bisa merampas “aset yang tidak seimbang dengan penghasilan atau sumber penambahan kekayaan yang tidak dapat dibuktikan - Emak-emak memegang ember bertuliskan "Birokrat Pencuri Uang Rakyat" (Foto: Dok MI)
RUU Perampasan Aset yang sudah dibahas sejak 2006 itu dipercaya bisa merampas “aset yang tidak seimbang dengan penghasilan atau sumber penambahan kekayaan yang tidak dapat dibuktikan - Emak-emak memegang ember bertuliskan "Birokrat Pencuri Uang Rakyat" (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyebut Indonesia dalam bahaya dan menakutkan tanpa Undang-Undang Perampasan Aset.

Pada 2023 RUU Perampasan Aset masuk ke dalam Prolegnas Prioritas 2023. Mantan Presiden Joko Widodo alias Jokowi juga telah mengirim surat presiden (surpres) RUU Perampasan Aset. Surpres itu bernomor R 22-Pres-05-2023 yang dikirim tanggal 4 Mei 2023 untuk dibahas bersama DPR. Hingga kini tak kunjung dibahas juga dewan terhormat di Senayan itu.

"Intinya lebih berbahaya lagi, lebih menakutkan lagi kalau kita nggak punya UU Perampasan Aset. Justru itu yang lebih menakutkan lagi. Kalau misalkan kita sudah punya, tinggal kita nanti mekanismenya yang kita jaga, kita kawal," ujar Analisi Hukum Senior di Direktorat Hukum dan Regulasi PPATK, Azamul Fahdly, dikutip pada Selasa (26/11/2024). 

"Banyak sebenarnya (mekanisme) yang bisa kita buat. Di beberapa negara, (perampasan aset) itu mengatur harus ada indiasi tindak pidananya," katanya menambahkan.

Menurut dia, pengesahan RUU Perampasan Aset penting sebagai bagian dari upaya pemberantasan korupsi. Apalagi, banyak aset para pelaku kejahatan berada di luar negeri.

Pun, dia menyatakan bahwa PPATK telah menginisiasi dan menyusun RUU itu sejak tahun 2008. Namun setelah 16 tahun berlalu, RUU tersebut belum juga disahkan. 

"Padahal, berbagai kasus tindak pidana, khususnya tidak pidana pencucian uang (TPPU), saat ini kian berkembang dan semakin kompleks seiring perkembangan teknologi," jelasnya.

Dia menegaskan, tanpa RUU ini, pelaku tindak pidana akan semakin leluasa menyembunyikan hasil kejahatan mereka dan kerugian negara, baik material maupun immaterial  akan semakin besar.

Menurut Azamul, pengesahan RUU ini bisa memperkuat kerja sama internasional. "Banyak aset hasil kejahatan yang disembunyikan di luar negeri, ungkapnya, memerlukan mekanisme kerja sama timbal balik dengan negara lain," tukasnya.

"Intinya lebih berbahaya lagi, lebih menakutkan lagi kalau kita nggak punya UU Perampasan Aset. Justru itu yang lebih menakutkan lagi. Kalau misalkan kita sudah punya, tinggal kita nanti mekanismenya yang kita jaga, kita kawal. Banyak sebenarnya (mekanisme) yang bisa kita buat. Di beberapa negara, (perampasan aset) itu mengatur harus ada indiasi tindak pidananya," katanya.

Pemerintahan Prabowo bisa apa?

Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengaku akan berupaya untuk melobi para ketua umum parpol dan DPR untuk memuluskan proses pembahasan RUU Perampasan Aset.

Hal itu Ia sampaikan merespons nasib RUU Perampasan Aset yang tak termasuk kedalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2025. "Karena itu sekarang kami lagi melakukan upaya dialog (soal RUU Perampasan Aset) bersama dengan Parlemen, dengan Ketua-ketua Umum Partai Politik," kata Supratman di Kantor Kementerian Hukum, Jakarta, Rabu (20/11/2024).

Supratman menjelaskan upaya lobi itu dibutuhkan untuk memastikan RUU Perampasan Aset akan langsung dibahas ketika Presiden Prabowo mengirim surat presiden (surpres).

Terlebih, kata dia, terdapat preseden Presiden ke-7 RI Joko Widodo telah mengirim surpres terkait perampasan namun diabaikan oleh DPR.

"Supaya begitu Presiden Prabowo akan mengirim supres untuk masuk di dalam prolegnas yang akan datang, memastikan bahwa itu akan dijamin untuk dibahas dan dilakukan pembahasan di Parlemen," jelas dia.

Di sisi lain, Supratman menegaskan Presiden Prabowo berkomitmen untuk melakukan pemberantasan korupsi tanpa pandang bulu. Pun dia menyinggung kinerja aparat penegak hukum di bawah Presiden Prabowo yang terus melakukan upaya pemberantasan korupsi. "Nah karena itu sekali lagi, mohon bersabar, kami lakukan dialog dengan kekuatan-kekuatan yang ada di Parlemen," tukasnya.

RUU Perampasan Aset tak hanya rampas aset koruptor

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengatakan aturan tentang perampasan Aset itu bukan hanya dibutuhkan oleh masyarakat dan PPATK, tapi juga oleh negara, polisi, jaksa, dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).

Berdasarkan data ICW sepanjang tahun 2023, total kerugian negara yang tercatat dalam putusan pengadilan mencapai Rp54 triliun. Namun, dari jumlah tersebut, uang pengganti yang berhasil diputuskan secara hukum hanya sekitar Rp7 triliun. 

Kurnia menyoroti kesenjangan yang signifikan antara kerugian negara akibat tindak pidana korupsi dan pengembalian uang negara melalui mekanisme uang pengganti.

“Artinya, ada gap sekitar Rp49 triliun yang belum bisa dipulihkan,” ujar Kurnia. 

Dia juga menambahkan bahwa uang pengganti yang tercantum dalam putusan belum tentu langsung masuk ke kas negara, karena pelaksanaannya kerap menghadapi hambatan. Proses ini sering kali memakan waktu lama, bahkan tidak jarang melibatkan sengketa hukum lanjutan.

Kurnia mengatakan, tanpa mekanisme perampasan aset yang jelas, penegak hukum menghadapi banyak tantangan. “Dengan tidak adanya RUU Perampasan Aset, aset yang menjadi hasil kejahatan bisa tetap berada di tangan pelaku atau pihak ketiga. Ini tentu melemahkan upaya kita untuk memberikan efek jera kepada koruptor dan mengembalikan kerugian negara,” imbuhnya.

Sementara itu,Pakar Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Yenti Ganarsih, mengatakan RUU itu tidak hanya digunakan untuk merampas aset para koruptor, tapi juga pelaku tindak pidana ekonomi lainnya, seperti pengusutan perolehan harta dalam kasus Rafael Alun sampai harta-harta yang didapatkan dari perdagangan narkoba.

“Karena undang-undangnya namanya asset recovery, berkaitan dengan aset hasil kejahatan, jadi semua hal yang berkaitan dengan aset hasil kejahatan yang sedang diproses, diatur dan diawasi dengan baik,” kata Yenti kepada Monitorindonesia.com.

Dalam draf RUU Perampasan Aset yang sempat beredar pada 2015 lalu, penelusuran aset yang dapat dirampas dilakukan oleh penyidik yang bisa berasal dari kepolisian, kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), maupun pegawai negeri sipil.

Penyidik dapat melakukan kerja sama dengan lembaga yang melaksanakan analisis transaksi keuangan.

Pada 2003, Indonesia menandatangani Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa Melawan Korupsi dan melakukan ratifikasi dengan membuat Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006.

RUU Perampasan Aset atau yang juga dikenal dengan istilah asset recovery merupakan salah satu aturan yang harus ada ketika suatu negara sudah menandatangani konvensi tersebut. Sejak saat itu hingga kini, Indonesia belum juga memiliki aturan hukum soal perampasan aset.

Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yasonna Laoly sempat mengatakan pihaknya sudah selesai melakukan "harmonisasi" draf RUU tersebut.

Selain Kementerian Hukum dan HAM, ada beberapa kementerian dan lembaga lain yang juga harus melakukan harmonisasi. Ketika semua kementerian dan lembaga sudah menyetujuinya, presiden akan mengirimkan surat ke DPR untuk kemudian dilakukan pembahasan.

Pada Februari 2023, Presiden Joko Widodo meminta RUU Perampasan Aset dibahas segera.

Sebagai salah satu ahli yang pernah terlibat dalam pembahasan RUU Perampasan Aset pada 2007 hingga 2010 lalu, Yenti Ganarsih menilai pembahasan RUU Perampasan Aset “sudah selesai” kala itu, tapi sayangnya RUU itu selalu keluar-masuk daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) di DPR. “Tiba-tiba [pembahasannya] melempem 2010 itu. Di tengah-tengah pembahasan Pak SBY melemah, diteruskan lemahnya sama Pak Jokowi,” ujar Yenti.

Yenti yang pernah menjadi ketua panitia seleksi calon pimpinan KPK itu menduga ada pihak-pihak tertentu yang menghambat pengesahan RUU Perampasan Aset.

“Bukan rahasia umum kan, bahwa yang terlibat korupsi siapa? Semua yang menjadi fokusnya KPK, pejabat publik, penyelenggara negara— yang kebanyakan dari politisi, penegak hukum,” kata dia. Ditambah lagi, kata Yenti, ada pihak-pihak di luar eksekutif dan legislatif "yang membonceng" agar RUU Perampasan Aset tidak disahkan.

Yenti menjelaskan RUU Perampasan Aset akan mengatur mekanisme mulai dari penelusuran, penyitaan dan pemblokiran aset yang diduga hasil kejahatan, sampai pengelolaan aset yang telah dirampas.

RUU Perampasan Aset, kata Yenti, mencakup hal-hal yang belum diatur dalam perampasan aset pada Undang-undang Tipikor maupun Undang-undang TPPU.

Dalam Undang-undang Tipikor pasal 18 disebutkan adanya uang pengganti, yang kata Yenti bisa disubsiderkan dengan hukuman penjara jika tak kunjung diganti. Itu berarti “uang tidak kembali”. Begitu juga perampasan aset dalam Undang-undang TPPU, lanjut Yenti.

“Tidak ada asset recovery. Waktu sudah dirampas tidak dimaksimalkan, tidak dikelola dengan baik, bahkan hilang. Lihat Indosurya, ada beberapa yang menjadi masalah," katanya.

RUU Perampasan Aset memungkinkan aset-aset hasil kejahatan itu diatur dan diawasi dengan baik sehingga tidak ada lagi aset yang nilainya turun, lelangnya tidak jelas, sampai kehilangan barang bukti.

Bahkan untuk aset hasil kejahatan yang, misalnya, sudah menjadi pabrik atau hotel, akan dikelola sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam RUU Perampasan Aset.

”Itu tidak bisa ditutup begitu saja, akan dikelola oleh negara, hotelnya tetap jalan, hanya pengurusannya, keuangannya, langsung diberikan kepada yang berhak. Sehingga masyarakat yang bekerja di situ tidak jadi korban. Mereka juga bagian korban karena negara tidak tegas dan tidak cerdas waktu menganggarkan dan mengamankan anggaran itu,” kata Yenti.

Pada 2003, Indonesia menandatangani Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa Melawan Korupsi dan melakukan ratifikasi dengan membuat Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006.

RUU Perampasan Aset atau yang juga dikenal dengan istilah asset recovery merupakan salah satu aturan yang harus ada ketika suatu negara sudah menandatangani konvensi tersebut.

Sejak saat itu hingga kini, Indonesia belum juga memiliki aturan hukum soal perampasan aset.

Yang terbaru, pada 8 Maret lalu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yasonna Laoly mengatakan pihaknya sudah selesai melakukan "harmonisasi" draf RUU tersebut.

Selain Kementerian Hukum dan HAM, ada beberapa kementerian dan lembaga lain yang juga harus melakukan harmonisasi. Ketika semua kementerian dan lembaga sudah menyetujuinya, presiden akan mengirimkan surat ke DPR untuk kemudian dilakukan pembahasan.

Pada Februari 2023, Presiden Joko Widodo meminta RUU Perampasan Aset dibahas segera.

Sebagai salah satu ahli yang pernah terlibat dalam pembahasan RUU Perampasan Aset pada 2007 hingga 2010 lalu, Yenti Ganarsih menilai pembahasan RUU Perampasan Aset “sudah selesai” kala itu, tapi sayangnya RUU itu selalu keluar-masuk daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) di DPR.

“Tiba-tiba [pembahasannya] melempem 2010 itu. Di tengah-tengah pembahasan Pak SBY melemah, diteruskan lemahnya sama Pak Jokowi,” ujar Yenti.

Siapa yang mengahambat?

Yenti yang pernah menjadi ketua panitia seleksi calon pimpinan KPK itu menduga ada pihak-pihak tertentu yang menghambat pengesahan RUU Perampasan Aset.

“Bukan rahasia umum kan, bahwa yang terlibat korupsi siapa? Semua yang menjadi fokusnya KPK, pejabat publik, penyelenggara negara— yang kebanyakan dari politisi, penegak hukum,” kata dia.

Ditambah lagi, kata Yenti, ada pihak-pihak di luar eksekutif dan legislatif "yang membonceng" agar RUU Perampasan Aset tidak disahkan.

Sementara itu, Lalola menduga terhambatnya pengesahan RUU ini disebabkan “pemerintah yang belum yakin” karena sejak dulu, surat presiden (supres) yang dibutuhkan sebagai tanda untuk memulai pembahasan di DPR tidak kunjung ada.

“Keengganannya bukan hanya dari sisi legislatif, tapi juga eksekutif. Makanya barulah di tahun ini itu masuk prolegnas prioritas, sehingga harapannya sudah tinggal jalan, tapi ini kita belum tahu kenapa eksekutif masih lambat,” kata Lalola.

Yenti menjelaskan RUU Perampasan Aset akan mengatur mekanisme mulai dari penelurusan, penyitaan dan pemblokiran aset yang diduga hasil kejahatan, sampai pengelolaan aset yang telah dirampas.

RUU Perampasan Aset, kata Yenti, mencakup hal-hal yang belum diatur dalam perampasan aset pada Undang-undang Tipikor maupun Undang-undang TPPU.

Dalam Undang-undang Tipikor pasal 18 disebutkan adanya uang pengganti, yang kata Yenti bisa disubsiderkan dengan hukuman penjara jika tak kunjung diganti. Itu berarti “uang tidak kembali”.

Begitu juga perampasan aset dalam Undang-undang TPPU, lanjut Yenti.

“Tidak ada asset recovery. Waktu sudah dirampas tidak dimaksimalkan, tidak dikelola dengan baik, bahkan hilang. Lihat Indosurya, ada beberapa yang menjadi masalah.”

RUU Perampasan Aset memungkinkan aset-aset hasil kejahatan itu diatur dan diawasi dengan baik sehingga tidak ada lagi aset yang nilainya turun, lelangnya tidak jelas, sampai kehilangan barang bukti.

Bahkan untuk aset hasil kejahatan yang, misalnya, sudah menjadi pabrik atau hotel, akan dikelola sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam RUU Perampasan Aset.

”Itu tidak bisa ditutup begitu saja, akan dikelola oleh negara, hotelnya tetap jalan, hanya pengurusannya, keuangannya, langsung diberikan kepada yang berhak. Sehingga masyarakat yang bekerja di situ tidak jadi korban. Mereka juga bagian korban karena negara tidak tegas dan tidak cerdas waktu menganggarkan dan mengamankan anggaran itu,” kata Yenti. (wan)

Topik:

PPATK RUU Perampasan Aset DPR Jokowi Prabowo Koruptor