Monitor Korupsi Tak Kunjung Tuntas di Kejagung: PLN hingga BRIN

Firmansyah Nugroho
Firmansyah Nugroho
Diperbarui 23 Februari 2025 01:01 WIB
Jaksa Agung ST Burhanuddin (Foto: Dok MI)
Jaksa Agung ST Burhanuddin (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Kejaksaan Agung (Kejagung) yang kembali dipercaya masyarakat dalam hal penegakkan hukum seharusnya dapat menjadi momentum menuntaskan kasus-kasus dugaan korupsi yang tak kunjung kejelasan atau penetapan tersangka. 

Kasus lama saja bisa diusut kembali, Jiswasraya misalnya. Lantas kenapa kasus yang baru tak digas hingga tuntas? Kasus yang kurang memiliki alat bukti atau yang sudah memiliki kecukupan alat bukti tetapi terbengkalai, sehingga perlu diambil keputusan terkait penyelidikannya oleh Kejagung. Apakah demikian?

Tak luput, meski kembali dipercaya, publik juga mempertanyakan kinerja Kejagung mengusut tuntas kasus korupsi. Maka dari itu, Kejaksaan Agung harus mengusut semua kasus dugaan korupsi yang sampai saat belum jelas tindak lanjutnya atau masih mangkrak. "Ini menjadi sebuah kegelisahan akademik atas beberapa kasus besar di Kejagung yang belum maksimal ditangani," kata pengamat hukum pidana, Kurnia Zakaria, Sabtu (22/2/2025).

Kasus yang ditangani Kejaksaan Agung harus ada pinsip keterbukaan dan atau fungsi kontrol yang jelas melalui bekerjanya sistem peradilan pidana yang berani untuk mengoreksi. 

Dalam hal ini, tidak ada istilah dipetieskan. Bibir lagi dilakban untuk menyampaikan perkembangan ke publik terkait dengan dicurinya uang negara.

Lantas apa saja kasus dugaan korupsi tak kunjung tuntas itu?

Pertama, dugaan korupsi di tubuh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Bahwa pada 2022 lalu, Kejaksaan Agung  telah memeriksa banyak saksi terkait dugaan korupsi pengadaan tower transmisi di PLN pada tahun 2016. Hingga saat ini belum ada yang tersangka.

Adapun keputusan menaikkan kasus ke tahap penyidikan kasus itu, berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: Print-39/F.2/Fd.2/07/2022 tanggal 14 Juli 2022.

Menurut Jaksa Agung ST Burhanuddin kejaksaan telah menemukan sejumlah fakta perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang, kesempatan dan sarana dalam kasus tersebut. Ia mengatakan, PT PLN Persero tahun 2016 memiliki kegiatan pengadaan tower sebanyak 9.085 set tower dengan anggaran pekerjaan sebesar Rp2,25 triliun.

Dalam pelaksanaannya, PT PLN, Asosiasi Pembangunan Tower Indonesia atau Aspatindo, serta 14 penyedia pengadaan tower di tahun 2016 telah melakukan perbuatan melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada.

Lebih lanjut, PT PLN dalam proses pengadaan selalu mengakomodasi permintaan dari Aspatindo sehingga mempengaruhi hasil pelelangan dan pelaksanaan pekerjaan, yang dimonopoli oleh PT Bukaka, karena Direktur Operasional PT Bukaka merangkap sebagai Ketua Aspatindo.

Meski begitu, hingga kini Kejaksaan Agung belum menetapkan satupun tersangka. 

Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus), Febrie Adriansyah mengatakan, hingga kini Kejaksaan Agung masih fokus dalam pemeriksaan saksi-saksi dari unsur PLN maupun pihak swasta guna mencari siapa pihak yang paling bertanggungjawab untuk dijadikan tersangka.

"Kita masih mencari kesesuaian di kontrak-kontrak yang ada dengan pekerjaannya, kemudian fisiknya adalah proses ketika proses pekerjaan itu, apakah melalui penunjukkan atau apa," ujar Febrie.

Terkait itu, Jampidsus membuka kemungkinan banyak pihak yang akan diperiksa terkait kasus tersebut. Dan ia mengatakan, bila perlu Kejagung akan memeriksa Direktur Utama PT PLN periode 2014-2019, Sofyan Basir dalam kasus yang merugikan negara Rp 2,2 triliun lebih ini. “Kepentingan penyidikan perlu ya pasti kita periksa, intinya kepentingan penyidikan,” singkatnya.

Selain itu, Febrie juga membuka satu lagi kemungkinan. Karena proses pemeriksaan masih berjalan dan semua keterangan dan bukti-bukti masih dihimpun, Febrie mengatakan, jumlah kerugian negara dalam kasus ini diperkirakan akan bisa bertambah.

Kedua, kasus dugaan korupsi yang menyeret Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) pada tahun 2015-2022. Korupsi ini diduga menyangkut penyaluran dana insentif kelapa sawit atau biodiesel.

Kejagung menegaskan penyidikan perkara dugaan korupsi itu masih berjalan. Dirdik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, saat itu Kuntadi menyampaikan, bahwa pihaknya masih mencari alat-alat bukti untuk mencari tersangka kasus BPDPKS.

"BDPKS masih berjalan. Masih-masih, kita terus mencari simpul pertanggungjawabannya," kata Kuntadi belum lama ini.

Kuntadi juga masih enggan untuk membeberkan total kerugian perekonomian negara dalam kasus ini. "Belum [total kerugian negara], belum berani bilang," tambahnya.

Sementara itu, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Febrie Adriansyah menyampaikan saat ini pihaknya masih melaksanakan penyidikan untuk menemukan benang merah pada kasus BPDPKS.

"BPDPKS itu sampai sekarang masih ada penyidikan, sampai saat ini memang ada beberapa petunjuk dalam gelar perkara yang belum dipenuhi penyidik BPDPKS," kata Febrie.

Menurutnya, hambatan dalam kasus pengelolaan dana sawit ini karena terintegrasi beberapa komponen produksi sehingga perlu kolaborasi dengan ahli ekonomi untuk mengusut tuntas kasusnya.

Hingga saat ini pun, Kejaksaan Agung belum menetapkan satu pun tersangka dalam perkara ini. Padahal Kejagung sudah memeriksa sejumlah saksi kunci pengelolaan dana sawit, termasuk Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto.

Ketua Komite Pengarah BPDPKS itu diperiksa pada pertengahan Juni lalu. Jaksa juga sudah menyelidik mantan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi. Begitu pula eks anggota Tim Asistensi Menteri Airlangga, Lin Che Wei, yang kini menjadi terpidana kasus korupsi minyak goreng dengan kerugian negara Rp 6,47 triliun.

Akhir September 2023 lalu, penyelidik memanggil dua staf Yayasan Warisan Nilai Luhur Indonesia (IHF) yang didirikan Sofyan Djalil sebagai saksi. Pemeriksaan dua staf Yayasan ini menunjukkan jaksa tengah mengincar aliran uang BPDPKS. Diduga, embrio BPDPKS muncul saat Sofyan Djalil menjadi Menteri Koordinator Perekonomian 2014-2015. Dia pula yang mengajak Lin Che Wei membangun BPDPKS.

Monitorindonesia.com telah mengonfirmasi ke BPDPKS pada beberapa waktu lalu soal kasus ini, namun belum mendapatkan respons.

Ketiga, kasus dugaan korupsi penyalahgunaan anggaran pada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) periode tahun 2021 sampai dengan 2022.

Diketahui, Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) kasus ini ditandatangani Direktur Penyidikan Jampidsus Kejaksaan Agung, Kuntadi.

"Sehubungan dengan Perintah Tugas terkait adanya dugaan tindak pidana korupsi penyalahgunaan anggaran pada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) periode tahun 2021 sampai dengan 2022, berdasarkan Surat Perintah Tugas Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Nomor: Prin-884/F.2/Fd.1/04/2024 tanggal 25 April 2024."

"Bersama ini diminta bantuannya untuk dapat memberikan data dan informasi terkait realisasi anggaran pada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) tahun 2021 sampai dengan 2022 berikut dokumen bukti dukung pertanggung jawaban pengadaan/kegiatan (terlampir)," demikian surat tersebut sebagaimana diperoleh Monitorindonesia.com.

Monitorindonesia.com, pada Jum'at (27/9/2024) telah meminta tanggapan dan konfirmasi kepada Kepala BRIN Laksana Tri Handoko melalui pesan teks WhatsAap, namun hanya ceklis satu.

Kuat dugaan Kepala BRIN Laksana Tri Handoko memblokir WhatsAap jurnalis Monitorindonesia.com. Pasalnya, pada tanggal 28 April 2024 lalu saat dikonfirmasi via WhatsAap yang sama, chat jurnalis Monitorindonesia.com ceklis dua.

Sementara itu, Yan Riyanto Plt. Deputi Infrastruktur Riset dan Inovasi, begitu dikonfirmasi Monitorindonesia.com, tidak merespons sama sekali. Sikap pejabat negara meladeni jurnalis patut dipertanyakan.

Tak hanya itu, Direktur Penyidik Jampidsus Kejagung, Kuntadi tidak memberikan respons juga saat dikonfirmasi Monitorindonesia.com, Rabu (2/10/2024) . 

Sementara, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar menyatakan bahwa pihak akan mengecek penyidikan kasus tersebut. "Kami akan cek," kata Harli kepada Monitorindonesia.com.

Adapun Kejagung telah meminta kepada BRIN agar memberikan data dan informasi berupaDokumen Permohonan Pembayaran dan Pembayaran (SPP, SPM dan SP2D); Disposisi dan Notulen Rapat-rapat terkait Kegiatan; dan Dokumen-dokumen terkait lainnya.

Lalu, Proyek Pengembangan Drone Elang Hitam (2021); Proyek Armada Kapal dan Riset (2021); Proyek Pengadaan Primata Cage NHP Fasilitas ABSL3 (2021); Bantuan Riset Talenta Inovasi (Barista) (2022); Perusahaan Pemula Berbasis Riset (PPBR); Fasilitasi Mikro Berbasis IPTEK (FUMI) (2022); Grass Root Innovation (GRI); Masyarakat Bertanya BRIN Menjawab (MBBM) (2022); Produk Inovasi (2022); dan Riset Indonesia Maju (RIM) (2022).

Namun hingga saat ini tak ada informasi perkembangan kasus tersebut di gedung bundar Jampidsus Kejagung. 

Topik:

Kejagung BRIN PLN