Pejabat Negara Bisnis PCR di Masa Pandemi, Fahri Hamzah: Menurunnya Standar Etika

Reina Laura
Reina Laura
Diperbarui 8 November 2021 14:08 WIB
Monitorindonesia.com - Pejabat negara di pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) diduga terlibat dalam praktik bisnis polymerase chain reaction (RT-PCR) di masa pandemi, menjadi sorotan Wakil Ketua Umum DPN Partai Gelora Indonesia, Fahri Hamzah. Bahkan, Fahri menyebut kasus pejabat berbisnis tersebut membuktikan bahwa standar etika pejabat negara saat ini telah menurun. "Mereka (pejabat negara) sebagaimana layaknya sebuah bisnis, mereka mengambil untung besar sekali dari pandemi. Oleh karena itu, menjadi wajar jika mereka tidak bisa lagi membedakan mana negara dan mana pasar," kata Fahri Hamzah melalui keterangan tertulisnya, Senin (9/11/2021), menyikapi kelakuan pejabat negara tersebut. Diketahui, sejumlah nama pejabat negara di pemerintahan Presiden Jokowi yang disebut terlibat dalam bisnis alat kesehatan (Alkes) itu adalah Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marivest) Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri BUMN Erick Thohir. Bahkan, mantan Wakil Ketua DPR RI itu beranggapan kalau para juru bicara yang berusaha menjelaskan duduk persoalan, terkait pejabat negara tersebut, minim pengetahuan, sehingga menambah runyam pengertian institusi dan personal. "Lalu, muncul pembelaan diri dari para pejabat itu, bahwa bisnis itu mereka lakukan justru untuk membantu rakyat dalam pandemi. Mereka beralasan bahwa bisnis mereka dalam rangka mempercepat pelaksanaan keputusan dan kemudian keuntungannya untuk rakyat," lanjutnya. Menurutnya, penjelasan pejabat tersebut jika tidak ditelaah secara baik dapat diartikan sebagai sebuah kebenaran dan minta untuk dimaklumi. Padahal, sebagai pejabat publik dan etika bernegara hal tersebut seharusnya tidak bisa dibenarkan karena kesalahannya sudah fatal. "Sungguh, kalau kita tidak memakai nalar dan etika bernegara, seolah pikiran para pejabat yang berbisnis di masa pandemi ini benar. Padahal kesalahannya fatal. Pertama dan utama, pejabat adalah regulator, pengusaha adalah operator. Keduanya tidak boleh melekat dalam diri 1 orang," jelasnya. Kedua, merangkap bisnis dan pejabat negara (terutama PNS) sekaligus dilarang dalam peraturan pemerintah dan juga etika pejabat negara. Presiden adalah pembina birokrasi negara melalui para menteri. Bagaimana jadinya kalau mereka melanggar etika itu. "Terlalu banyak alasan bahwa merangkap bisnis dan pejabat kesalahan fatal. Saking fatalnya sehingga ini tidak perlu dibahas karena sangat elementer kesalahannya. Dan kesalahan itu bisa merembet ke mana-mana," terangnya. Tak hanya itu, mantan politisi PKS tersebut juga secara khusus menyoroti menteri-menteri muda di bidang ekonomi. Dalam kinerjanya, mereka dianggap tidak memahami cara kerja negara lalu mereka menganggap bahwa pekerjaan negara itu berbisnis. Lalu, lanjut Fahri, para pejabat negara menjadi makelar dengan alasan mempercepat eksekusi kebijakan. Dengan adanya mental semacam itu, menurutnya semakin membuat kacau tata kelola negara ini. "Saya bisa mengungkap banyak contoh dari yang saya mengerti dan lihat langsung. Tapi cukupkah yang sudah terungkap di media massa menjadi contoh. Terlalu kasat mata untuk dibantah bahwa di balik cita2 baik bapak dan kesulitan masyarakat, ada yang ambil manfaat sambil menjabat," jelasnya. Menyikapi kondisi itu Fahri mengingatkan Presiden Jokowi untuk berani melakukan evaluasi dan mengambil sikap tegas terhadap para bawahannya yang abai dengan persoalan etika tersebut. Menurut dia, momen ini sangat baik sekali bagi Presiden Jokowi untuk mengevaluasi para pejabat yang juga merangkap sebagai pengusaha. "Bapak jangan percaya mereka yang menganggap para pejabat-pebisnis ini adalah jawaban bagi birokrasi yang lamban. Seolah mereka pahlawan dan jagoan. Niat baik bapak, bahwa pengusaha yang diangkat menjadi pejabat publik adalah jawaban bagi percepatan pengambilan keputusan dalam birokrasi yang gemuk dan lamban. Mungkin saja terjadi dalam beberapa kasus. Tapi daya rusaknya lebih besar. Mereka merusak pasar dan permainan," tambahnya. Fahri juga menegaskan, seorang pejabat publik terikat secara hukum dan etik untuk selalu menjunjung tinggi perilaku serta harus terhindar dari konflik kepentingan. Oleh karena itu, presiden seharusnya dapat mengembalikan marwah itu, sehingga negara dan pengusaha memiliki peran masing-masing. "Tapi, jika para pejabat itu merasa perlu berbisnis seolah program pemerintah bisa gagal dan tidak terlaksana, sungguh tidak bijaksana. Ini merusak cara kita melihat peran negara dan peran rakyat sebagai pelaku usaha. Sekali lagi bisnis adalah pekerjaan rakyat bukan negara. Perbaikilah keadaan ini bapak Presiden, kembalikan citarasa menjadi pejabat negara. Kembalikan kepercayaan rakyat kepada pejabat negara," imbuh politisi dari Nusa Tenggara Barat (NTB) ini. (Ery)