Kekerasan Berbasis Gender Meningkat 111 Persen Selama Lockdown Covid

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 25 November 2021 18:21 WIB
Monitorindonesia.com – Pandemi Covid-19 menjadi penyebab melonjaknya kekerasan berbasis gender. Laporan The Ignored Pandemic: The Dual Crisis of Gender-Based Violence and Covid-19 yang dipublikasikan Oxfam Internasional, menunjukkan lonjakan 22 hingga 111 persen pada jumlah laporan penyintas ke layanan bantuan kekerasan berbasis gender di 10 negara, Argentina, China, Kolombia, Siprus, Italia, Malaysia, Somalia, Afrika Selatan, Inggris, dan Tunisia, selama masa kuncitara atau lockdown. Data ini diungkap pada kampanye 16 Hari Antikekerasan Terhadap Perempuan tahun 2021 oleh Koalisi Perempuan Indonesia, Yayasan Kesehatan Perempuan, LBH APIK Sulawesi Selatan, SANTAI, Project Multatuli, KBR, dan Oxfam di Indonesia, saat diskusi publik dan media gathering secara luring dan daring, Kamis (25/11/2021). Dikemukakan, advokasi penghapusan kekerasan berbasis gender sudah berjalan 30 tahun. Sayangnya, pandemi malah meningkatkan kekerasan itu dan memperkuat ketimpangan dalam kesetaraan gender. Pemerintah perlu melindungi perempuan dan anak perempuan agar aman dari ancaman berbagai jenis kekerasan yang rentan dialaminya. Selain 10 negara di atas, di Indonesia Komnas Perempuan melaporkan peningkatan aduan kekerasan terhadap perempuan sebesar 40 persen di tahun 2020 dibandingkan tahun 2019, di mana 65 persen dari kasus tersebut berkaitan dengan kejahatan online atau siber. Perkembangan teknologi yang semestinya menjadi alat bantu yang mendukung kemajuan manusia, berbalik menjadi media berkembangnya kekerasan berbasis gender di dunia maya yang dikenal sebagai kekerasan berbasis gender online (KBGO). Pandemi yang membatasi mobilitas orang, meningkatkan intensitas interaksi di dunia maya, sehingga tendensi meningkatnya angka KBGO pun tidak dapat dihindari. Berdasarkan catatan tahunan Komnas Perempuan tahun 2021, kasus KBGO yang dilaporkan langsung ke Komnas Perempuan meningkat tajam dari 241 kasus pada tahun 2019 naik menjadi 940 kasus di 2020. “Sangat disayangkan bahwa masih banyak masyarakat yang menganggap bahwa isu KBGO ini belum urgent, padahal isu ini pun masih puncak gunung es. Bahaya yang ada di dalamnya masih belum terkuak dan jika dibuka, sebetulnya isunya lebih rumit dari sekadar kekerasan berbasis online,” ujar Evi Mariani, Pemimpin Umum Project Multatuli. “16 Hari Antikekerasan Terhadap Perempuan dimulai hari ini hingga 10 Desember, memberi kesempatan kepada pemerintah, legislatif, organisasi masyarakat sipil, serta masyarakat luas untuk mendorong percepatan aksi dalam memberikan kerangka perlindungan dan kebijakan yang mampu melindungi perempuan dan anak perempuan dari segala ancaman dan risiko. Baik di Indonesia maupun global, angka kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan meningkat, temasuk peningkatan perkawinan anak selama pandemi Covid-19. Oleh karena itu, pemulihan pandemi harus dilakukan secara adil dengan memastikan korban dan penyintas kekerasan berbasis gender, termasuk KBGO mendapatkan layanan publik yang diperlukan.” Ujar Maria Lauranti, Country Director Oxfam di Indonesia. Negara dan pemerintah juga perlu memastikan adanya respons terhadap kekerasan berbasis gender yang lebih terkoordinasi, komprehensif, dan multi-sektoral yang memungkinkan para penyintas mengakses layanan yang efektif dan berkualitas baik secara luring maupun daring. Diskusi juga menyoroti RUU TPKS yang diusulkan tahun 2016 justru mengalami kemunduran sebab RUU ditarik dari Prolegnas 2020 pada 2 Juli 2020. Berdasarkan laporan KOMPAKS pada 30 Agustus 2021, RUU baru yang disusun Badan Legislasi DPR juga memangkas 85 pasal yang berisi perlindungan bagi korban. “RUU TPKS jelas memiliki dampak publik. Diajukan dan didorong oleh 120 lebih lembaga layanan masyarakat dan ratusan jaringan masyarakat sipil. Sayangnya kita berhadapan dengan hambatan dukungan politik. Sekarang perempuan sudah sadar haknya, pemerintah jangan sampai menganggap bahwa suara perempuan ini tidak penting,” ujar Kalis Mardiasih, penulis dan aktivis perempuan yang juga narasumber media gathering. Upaya tersebut, lanjut Kalis,  seharusnya dapat direalisasikan dengan pengesahan RUU TPKS yang sudah tertunda lebih 2 tahun. Kurangnya komitmen pemerintah hingga penghapusan RUU dari Prolegnas prioritas merupakan kemunduran, progres yang berbanding terbalik dengan meningkatnya angka kekerasan terhadap perempuan setidaknya setahun terakhir. “RUU TPKS harus dilihat dari spirit yang menunjukkan bahwa negara turun tangan dalam mengupayakan akses keadilan bagi korban kekerasan seksual. Kebijakan yang ada saat ini belum kuat melindungi korban. Sangat disayangkan ada pihak-pihak yang melakukan penolakan dengan argumentasi yang justru melemahkan performa negara dalam menyelamatkan korban dan menjamin semua warga bangsa aman dari tindak pidana kekerasan seksual,” cetus Mike Verawati, sekjen Koalisi Perempuan Indonesia. Rezki dan Ilham selaku perwakilan kelompok remaja SANTAI dan LBH Apik juga turut serta menyuarakan pentingnya meningkatkan kesadaran akan bahaya kekerasan berbasis gender di kalangan remaja dan anak. Remaja laki-laki memiliki peran penting menghapus kekerasan berbasis gender. “Penghapusan kekerasan berbasis gender, terutama kekerasan seksual tidak hanya dapat menyelamatkan perempuan, tapi juga menyelamatkan laki-laki dari stigma perilaku sempit terkait peran laki-laki yang mengekang selama ini,” ujar Ilham. Pandemi telah memperburuk diskriminasi gender yang sudah berlangsung lama dan telah meningkatkan kerentanan perempuan dan anak perempuan akan kekerasan dan pelecehan. Jika pemerintah tidak memulai strategi yang kuat dan mengalokasikan dana dan fasilitas dengan benar untuk mengatasi hal ini serta memberikan perhatian yang lebih serius terhadap kelanjutan RUU TPKS, upaya yang telah dilakukan terkait pemberdayaan dan perlindungan perempuan dalam 30 tahun terakhir akan menjadi sia-sia.
Berita Terkait