Bentrok Antar Karyawan PT GNI, Timboel Siregar: Sejarah Buruk!

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 19 Januari 2023 19:36 WIB
Jakarta, MI - Bentrok antar karyawan yang terjadi di PT Gunbuster Nickel Industri (PT GNI), Morowali Utara, Sulawesi Tengah, merupakan kejadian yang sangat disesalkan banyak pihak. Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (Opsi) Timboel Siregar menilai insiden ini menjadi sejarah buruk pelaksanaan hubungan industrial di Indonesia. Informasi yang berkembang, sumber masalah berawal dari tuntutan penerapan prosedur K3 yaitu agar PT. GNI memberikan APD (Alat Pelindung Diri) lengkap kepada pekerja. "Masalah lainnya adalah tentang peraturan perusahaan, kejelasan pemotongan upah, PKWT untuk pekerjaan yang bersifat tetap, mempekerjakan anggota Serikat Pekerja yang diputus kontraknya, memasang sirkulasi udara di setiap gudang atau smelter, dan memperjelas hak-hak pekerja yang sudah meninggal akhir tahun lalu," kata Timboel kepada Monitor Indonesia, Kamis (19/1). Timboel begitu disapa, sangat menyayangkan kasus ini. Pasalnya, kata dia, peristiwa tersebut bersamaan dengan pelaksanaan Bulan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Nasional Tahun 2023 yang berlangsung dari tanggal 12 Januari hingga 12 Februari 2023. Terjadi peristiwa bentrok di PT. GNI (tanggal 14 Januari) yang salah satu penyebabnya adalah masalah K3 dan APD bagi pekerja. "Tentunya ini sebuah ironi yang muncul di tengah upaya Pemerintah mengkampanyekan K3 Nasional," cetusnya. Beberapa persoalan pelanggaran norma kerja yang menjadi pemicu bentrok adalah akibat dari ketidakpatuhan Manajemen PT. GNI terhadap hukum positif ketenagakerjaan yang ada, dan ketertutupan tempat kerja dari akses pihak luar seperti Dinas Tenaga Kerja setempat. Ketertutupan Manajemen PT. GNI, menurut Timboel, menjadi faktor utama sehingga terjadi pelanggaran hak normative pekerja di tempat kerja, dan Dinas Tenaga Kerja Sulawesi Tengah tidak bisa melakukan pengawasan dan penegakkan hukum atas pelanggaran tersebut. "Peristiwa kebakaran pabrik kembang api di Tangerang pada tahun 2017 lalu yang menewaskan 49 pekerja, merupakan akibat dari ketertutupan pabrik tersebut dari akses pihak luar. Pihak Dinas Tenaga Kerja tidak bisa mengakses tempat kerja sehingga masalah K3 dan hak normative pekerja lainnya menjadi sulit diperiksa," ungkapnya. "Perintah Presiden Joko Widodo agar RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) segera dibicarakan di DPR dan disahkan menjadi UU PRT, merupakan momentum sangat baik untuk melindungi Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang selama ini kerap kali mengalami eksploitasi dan penganiayaan," jelasnya. Tentunya, tegas Timboel, terjadinya eksploitasi dan penganiayaan tersebut dimulai dari ketertutupan akses pihak luar terhadap pelaksanaan hubungan kerja di rumah tangga tersebut. Oleh karenanya salah satu point sangat penting dalam RUU PPRT yang harus diatur adalah adanya akses pihak luar ke rumah sebagai tempat kerjanya PRT. "Antara PRT dan majikannya memiliki hubungan kerja yang dibuktikan dengan adanya upah, pekerjaan, dan perintah kerja, sesuai dengan amanat Pasal 1 angka 15 UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan," bebernya. Oleh karenanya, lanjut Timboel, RUU PPRT harus memasukkan PRT sebagai subyek hubungan kerja yang ketentuannya diatur dalam UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja. PRT, tegas dia, wajib mendapatkan upah layak dan pekerjaan yang layak, wajib ikut seluruh jaminan sosial yaitu JKN, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan. "Tempat kerja adalah ruang publik yang harus mudah diakses oleh Pemerintah cq. Dinas Pengawas Ketenagakerjaan untuk memastikan pelaksanaan hubungan kerja di tempat kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan, termasuk memastikan seluruh pekerja termasuk PRT aman dalam bekerja," bebernya. Oleh karenanya, tambah Timboel, Pemerintah harus memastikan ketentuan tentang akses mudah tersebut lebih jelas dan tegas ada dalam regulasi, termasuk dalam RUU PPRT, dengan sanksi yang mengawalnya. Namun demikian persoalan tidak hanya sampai disitu, peran Pengawas Ketenagakerjaan pun harus ditingkatkan kualitasnya untuk melakukan pengawasan dan penegakkan hukum yang baik. "Pemerintah harus menjamin perlindungan pekerja dalam bekerja dan berjalannya norma kerja dalam hubungan kerja di tempat kerja, termasuk untuk PRT," tutupnya. (Wan)