AJI Tuding RUU Penyiaran Skenario Besar untuk Melemahkan Demokrasi

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 27 Mei 2024 13:53 WIB
Sekjen AJI Bayu Wardhana saat berorasi di depan Gedung DPR, Jakarta Pusat, Senin (27/5/2024)
Sekjen AJI Bayu Wardhana saat berorasi di depan Gedung DPR, Jakarta Pusat, Senin (27/5/2024)

Jakarta, MI - Sekretaris Jenderal (Sekjen) Aliansi Jurnalis Independen (AJI) periode 2024-2027, Bayu Wardhana, menuding rencana revisi Undang-undang (UU) Penyiaran dilakukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI semestinya ditolak tanpa kompromi. 

Bayu menduga, revisi UU Nomor 32 Tahun 2002 itu merupakan bagian dari skenario besar untuk melemahkan masyarakat sipil dan kehidupan demokrasi. 

“Ini skenario besar kenapa kita harus tolak (revisi) UU penyiaran, karena ini bagian dari pelemahan masyarakat sipil, pelemahan demokrasi,” kritik Bayu saat berorasi di depan Gedung DPR RI, Jakarta Pusat, Senin (27/5/2024). 

Bayu menambahkan, revisi UU Penyiaran berkaitan erat dengan isu kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) untuk mahasiswa baru kini jadi polemik. 

Jika UKT dinaikkan, menurut dia, banyak calon mahasiswa tidak bisa melanjutkan pendidikan ke tingkat universitas. Akibatnya, hanya mahasiswa dari keluarga mampu mengenyam bangku kuliah. 

“Karena biayanya tinggi, maka yang masuk ke kampus adalah mahasiswa-mahasiswa golongan tertentu yang mungkin tidak kritis pada pemerintahan sekarang,” kritik Bayu. 

Karena itu, Bayu menegaskan, penolakan revisi UU Penyiaran seharusnya tidak hanya disuarakan komunitas pers, tetapi juga mahasiswa dan masyarakat. Sebab, sejumlah pasal dalam revisi UU tersebut dinilai dapat memotong daya kritis mahasiswa dan masyarakat.

Tidak hanya revisi UU Penyiaran itu berupa upaya pelemahan demokrasi, menurut Bayu, tampak dari revisi Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK). Proses pembahasan revisi UU tersebut dilakukan secara tertutup pada pertengahan Mei 2024. 

Hal itu, menurut Bayu, menunjukkan pilar-pilar demokrasi terus dikikis. Bukan hanya legislatif dan yudikatif, tetapi juga pers.  “Legislatif sudah dipereteli, yudikatif dipereteli, dan sekarang pers akan dipereteli. Ini skenario besar teman-teman dari kelompok tertentu yang selama ini banyak menikmati kekayaan negara dengan sarat KKN (kolusi, korupsi dan nepotisme-Red),” ungkap Bayu.

Sebelumnya diberitakan, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), sejumlah organisasi pers lain, serta lembaga pers mahasiswa menggelar demonstrasi di depan Gedung DPR RI Jakarta Pusat, Senin (27/5/2024). 

Unjuk rasa ini untuk menuntut DPR menghentikan revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Dalam aksi unjuk rasa ini, gabungan beberapa lembaga pers juga bakal menuntut DPR untuk melibatkan organisasi pers, akademisi, hingga masyarakat sipil dalam proses penyusunan kebijakan. Terutama, berkaitan dengan kebebasan pers dan kebebasan berekspresi.

Selain AJI Jakarta dan PWI, sejumlah organisasi pers yang disebut akan ikut berdemonstrasi antara lain Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Jakarta Raya; Pewarta Foto Indonesia (PFI); Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif Untuk Demokrasi (SINDIKASI); dan LBH Pers Jakarta. 

Sementara itu, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) yang ikut turun ke jalan yakni LPM Institut UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; LPM Progress Universitas Indraprasta PGRI; LPM KETIK PoliMedia Kreatif Jakarta; LPM Parmagz Paramadina; LPM SUMA Universitas Indonesia; LPM Didaktika Universitas Negeri Jakarta; LPM ASPIRASI-UPN Veteran Mata IBN Institute Bisnis Nusantara; LPM Media Publica; dan LPM Unsika. (Sar)