Harga Pangan Naik, DPR Desak Pemerintah Jaga Stabilitas dan Ketersediaan


Jakarta, MI - Anggota Komisi IV DPR RI, Riyono, menyampaikan bahwa ada dinamika dalam sektor pangan di Indonesia.
Demikian dikatakannya Riyono dalam diskusi yang digelar Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP) bekerja sama dengan Biro Pemberitaan DPR, Kamis, (27/2/2025)
"Ada satu hal penting yang setiap tahun selalu menjadi pembahasan kita. Filosofinya dulu, ya. Pangan ini menjadi sesuatu yang sangat krusial. Bahkan, saya mengatakan bahwa pangan bergizi adalah kebutuhan utama," ujar Riyono.
Saat ini, pemerintah memiliki program Makan Bergizi Gratis (MBG). Riyono mengungkapkan bahwa standar FAO mencatat bahwa 52% dari pengeluaran bulanan seharusnya dialokasikan untuk kebutuhan pangan.
"Jadi, kawan-kawan bisa menghitung kebutuhan pangan bergizi, yaitu maksimal 52% dari pengeluaran bulanan rumah tangga," jelasnya.
Riyono juga mencatat bahwa dalam dua hingga tiga tahun terakhir, laporan FAO menunjukkan bahwa harga pangan bergizi di Indonesia lebih tinggi dibanding negara-negara tetangga di Asia Tenggara.
"Dibandingkan dengan negara lain, harga pangan bergizi di Indonesia mencapai 4,47 dolar AS atau sekitar Rp69.000 per hari. Angka ini lebih tinggi dibanding Thailand (4,3 dolar), Filipina (4,1 dolar), Vietnam (4 dolar), dan Malaysia (3,5 dolar)," ujarnya.
Berdasarkan riset tersebut, biaya yang perlu dikeluarkan orang Indonesia untuk memenuhi kebutuhan makan bergizi seimbang adalah sekitar Rp22.126 per hari atau Rp663.791 per bulan.
"Jadi, bisa dikatakan bahwa masyarakat Indonesia memiliki konsumsi pangan bergizi, meskipun dengan harga yang relatif tinggi," tambahnya.
Riyono menegaskan bahwa Komisi IV DPR RI mendukung program pemerintah dalam mencapai swasembada pangan, terutama dalam hal ketersediaan beras. Namun, ia menyoroti bahwa harga beras masih belum sepenuhnya terkendali.
"Saat ini, pemerintah telah menetapkan cadangan pangan nasional sekitar 2 juta ton yang harus tersedia di gudang Bulog. Namun, Bulog hanya menguasai sekitar 3 hingga 5% peredaran beras di tingkat nasional. Ini menyebabkan kebijakan harga beras sulit dikendalikan," jelasnya.
Menurut Riyono, penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk gabah dan beras sering kali terlambat.
"Selama hampir 10 tahun terakhir, HPP selalu ditetapkan setelah panen raya dimulai. Seharusnya, penetapan harga dilakukan lebih awal agar petani mendapatkan kepastian harga," ujarnya. ***
Topik:
DPR Pangan