Ketua PPI Jepang dukung KONTRAS dan Koalisi Masyarakat Kritisi Proses Legislasi Revisi UU TNI

Rizal Siregar
Rizal Siregar
Diperbarui 16 Maret 2025 14:11 WIB
Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang. (Dok. MI)
Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang. (Dok. MI)

Jakarta, MI - Revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI dalam satu bulan terakhir memicu perdebatan tajam. 

Di satu sisi, pemerintah menegaskan bahwa revisi ini penting untuk memperkuat pertahanan negara. Namun, di sisi lain, kelompok masyarakat sipil khawatir kebijakan ini berpotensi mengancam demokrasi dan supremasi sipil.

Pada Sabtu (15/3/2025), kontroversi semakin memanas ketika Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) bersama Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menggeruduk rapat pembahasan revisi RUU TNI yang digelar secara tertutup di Hotel Fairmont, Jakarta Pusat. 

Rapat tersebut dinilai tidak transparan dan mengabaikan prinsip partisipasi publik dalam penyusunan regulasi.

Sikap kritis juga disuarakan oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang. Organisasi mahasiswa Indonesia yang berbasis di Jepang ini mendukung KontraS dan Koalisi Masyarakat dalam mengkritisi proses legislasi revisi RUU TNI. Mereka menuntut agar pemerintah dan DPR menyusun naskah akademik yang jelas terkait urgensi revisi ini dan membuka ruang bagi publik untuk mengkaji dokumen tersebut.

"Terlepas dari manfaat yang diklaim Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin, bahwa revisi ini diperlukan untuk menghadapi dinamika geopolitik, kompleksitas ancaman, dan perkembangan teknologi militer global, kami melihat ada potensi ancaman terhadap demokrasi dan HAM di Indonesia," ujar Ketua Umum PPI Jepang, Prima Gandhi, di Tokyo, dalam siaran pers, Minggu (16/3/2025).

Menurutnya, salah satu kekhawatiran utama adalah kembalinya dwifungsi TNI melalui perluasan jabatan sipil yang bisa diisi oleh prajurit aktif. 

"Ini bisa membuka ruang bagi militer untuk kembali terlibat dalam pemerintahan sipil, sesuatu yang seharusnya sudah ditinggalkan sejak reformasi 1998," tambahnya.

Gandhi juga menyoroti dampak lebih luas terhadap mahasiswa Indonesia di luar negeri, khususnya di negara-negara yang menjunjung tinggi demokrasi. 

"Jika demokrasi dan penegakan HAM di Indonesia terus melemah, bukan tidak mungkin lulusan luar negeri enggan kembali ke tanah air dan memilih pindah kewarganegaraan (brain drain). Padahal, Indonesia sangat membutuhkan mereka untuk membangun bangsa," tegasnya.

Selain itu, pelaksanaan rapat revisi RUU TNI di Hotel Fairmont yang berjarak hanya dua kilometer dari Gedung Parlemen juga menuai kritik. Gandhi menilai hal ini bertentangan dengan semangat efisiensi anggaran yang digaungkan pemerintah.

 "Seharusnya seluruh kementerian dan anggota DPR RI menunjukkan komitmen nyata dalam penghematan anggaran, bukan hanya sekadar wacana!" pungkasnya. ****

 

 

Topik:

PPI Jepang UU TNI DPR