DPR Soroti Komunikasi Istana: Tak Profesional dan Picu Kebingungan Publik

Rizal Siregar
Rizal Siregar
Diperbarui 7 Mei 2025 08:50 WIB
Anggota Komisi I DPR Syamsu Rizal (Dok. MI)
Anggota Komisi I DPR Syamsu Rizal (Dok. MI)


Jakarta, MI - Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PKB, Syamsu Rizal, mendesak Istana segera mengevaluasi pola komunikasi publiknya yang dinilai amburadul dan membingungkan masyarakat.

Hal ini mencuat setelah kontroversi seputar pernyataan pengunduran diri Hasan Nasbi dari jabatan Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (Presidential Communication Office/PCO) yang kemudian dibatalkan secara mendadak.

"Kalau memang mundur, tunggu sinyal persetujuan dulu baru diumumkan ke publik. Jangan bikin gaduh. Belum selesai polemik mutasi di TNI, sekarang muncul lagi soal Hasan Nasbi," kata Syamsu Rizal atau akrab disapa Deng Ical, dalam keterangannya, Rabu (7/5/2025).

Ia menilai, kasus ini menunjukkan lemahnya koordinasi dan ketidaksiapan dalam pengelolaan komunikasi strategis di lingkungan Istana. Menurut Deng Ical, hal yang lebih mengkhawatirkan justru pernyataan Hasan Nasbi terkait kasus teror pengiriman kepala babi ke kantor redaksi Tempo beberapa waktu lalu.

Alih-alih menyampaikan empati, Hasan justru menyarankan agar kepala babi tersebut dimasak—komentar yang dinilai sangat tidak pantas dan mencoreng citra institusi kepresidenan.

"Itu bukan komentar juru bicara presiden yang profesional. Kita bicara soal teror terhadap pers, bukan bahan masakan," tegas Deng Ical.

Ia menekankan, seorang juru bicara istana tidak bisa bersikap seolah-olah mewakili pendapat pribadi. Mereka berbicara atas nama negara dan harus memiliki sensitivitas tinggi terhadap isu-isu publik, terutama yang menyangkut kebebasan pers dan keamanan media.

"Jangan ada sentimen pribadi saat menyampaikan keterangan resmi. Ini bukan juru bicara tim sukses pasangan calon, ini representasi negara," ujarnya.

Lebih lanjut, politisi asal Dapil Sulawesi Selatan I itu mengatakan bahwa pengiriman kepala babi ke Tempo merupakan bentuk teror yang serius, dan negara seharusnya merespons dengan pernyataan yang tegas, bijak, dan berpihak pada kebebasan pers.

“Ini komunikasi paling dasar. Jubir Istana seharusnya tahu bagaimana berbicara ke media, apalagi dalam kasus yang sensitif seperti ini,” ungkapnya.

Mantan Wakil Wali Kota Makassar itu juga menyoroti pola komunikasi pemerintah yang belakangan kerap membingungkan. Ia mencontohkan pengumuman pembatalan mutasi di tubuh TNI yang belum reda, kini ditambah kegaduhan soal Hasan Nasbi.

“Ini bukan semata soal orang per orang. Ini soal bagaimana negara berkomunikasi dengan rakyatnya. Kalau pola komunikasinya kacau, publik akan kehilangan kepercayaan,” tegas Deng Ical.

Ia pun mendorong agar pemerintah membentuk sistem komunikasi yang terpadu dan profesional, termasuk membangun tim juru bicara yang solid, cermat, dan terlatih dalam menghadapi isu-isu strategis dan sensitif.

Topik:

DPR Komunikasi Istana