Ribuan Nelayan Cilacap Turun ke Jalan, Tolak PNBP 10 Persen

Rekha Anstarida
Rekha Anstarida
Diperbarui 19 Januari 2023 19:07 WIB
Cilacap, MI - Ribuan nelayan di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah turun ke jalan, Kamis (19/1). Mereka menolak pemberlakuan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar 10 persen, seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 85 Tahun 2021 karena memberatkan nelayan. Unjuk rasa yang digelar di depan Kantor Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Cilacap itu, diisi berbagai orasi dari perwakilan nelayan dan pengusaha kapal. Koordinator lapangan unjuk rasa Sugiyamin mengatakan, pemberlakuan PNBP sebesar 10 persen sangat memberatkan nelayan. "Kami juga keberatan dengan pemberlakuan denda 1.000 persen dan biaya tambat labuh (parkir kapal di pelabuhan)," kata Sugiyamin yang juga Ketua Kelompok Nelayan PPSC. Karena itu, nelayan Cilacap menolak pemberlakuan PP Nomor 85 Tahun 2021. Ahuan, pengusaha kapal mengatakan bahwa pemberlakuan PP Nomor 85 Tahun 2021 juga memberatkan para pengusaha kapal, karena mereka juga dibebani pajak-pajak lainnya termasuk urusan perbankan. "Bagaimana kami bisa menyejahterakan para pekerja kalau seperti ini," kata anggota Asosiasi Pengusaha Kapal Ikan (APKI) Cilacap itu. Saat didaulat untuk menyampaikan orasi, Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kabupaten Cilacap Sarjono menyebut, pihaknya pada hari Senin (16/1) telah mengikuti rapat di Kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Jakarta. Salah satu materi yang dibahas dalam rapat itu berkaitan dengan PP Nomor 85 Tahun 2021, yang dinilai memberatkan nelayan di berbagai daerah. "Hari ini perwakilan DPD HNSI Jawa Tengah juga sedang rapat di KKP untuk membahas masalah PP Nomor 85 Tahun 2021," katanya. Usai berorasi di depan Kantor PPS Cilacap, para nelayan yang dikawal personel Polresta Cilacap kemudian bergerak menuju Gedung DPRD Kabupaten Cilacap untuk menyampaikan aspirasi. Di Gedung DPRD, mereka dijaga ketat dengan pagar betis personel polisi, TNI, dan Satpol PP1. Mereka kembali menyerukan penolakan terhadap pemberlakuan PNBP. Tidak hanya itu, nelayan protes atas tarif tambat labuh saat tidak melaut. Kedatangan mereka di Gedung DPRD diterima langsung oleh Ketua DPRD Kabupaten Cilacap Taufik Nurhidayat dan Wakil Ketua Saeful Musta'in. Ketua DPC HNSI Kabupaten Cilacap Sarjono mengatakan, Pajak produksi 10 persen (PP 85) harus ada hitung-hitungannya, bruto atau netto. "Kalau tidak bisa dihapus, ya harus jelas hitung-hitungannya. Kemarin di pusat berkumpul nelayan dari Jawa Barat dan Jawa Tengah. Denda 1.000 persen mohon dihilangkan atau dikaji ulang. Biaya tambat labuh memberatkan, kembalikan ke kebijakan seperti yang dulu. Dan harus ada juklak dan juknisnya," kata Sarjono. Dia mencontohkan, nelayan di pantura hanya ditarik dalam sebulan hanya Rp 5.000 per gross tonage (GT) dan penarikan 3 kali meski labuh selama sebulan. Juga si pantura dikelola oleh Pemprov Jateng. Menanggapi hal itu, Ketua DPRD Kabupaten Cilacap Taufik Nurhidayat menekankan bahwa regulasi sifatnya mengikat. "Pelabuhan di setiap daerah berbeda. Sehingga apakah di pantura bisa diterapkan di Cilacap," ujar Taufik. Ketua KUD Mino Saroyo Untung Jayanto menjelaskan, dalam rapat dengan 800 pengusaha, PNBP yang dikenakan kepada pengusaha hanya 5 persen kepada kapal di bawah 10 GT. Ia menambahkan bahwa fungsi KUD hanya mengakomodasi nelayan. Pihaknya mengusulkan PNBP dikenakan 3 persen saja. Biaya tambat labuh dikenakan Rp 4.000 seperti semula, dan usulan PNBP 3 persen untuk diteruskan ke Menkeu RI. Sementara itu, pengusaha kapal Suprianto mengatakan bahwa jangan menghalangi pihak yang berusaha guna mengentaskan pengangguran dan mengurangi kriminalitas. "Dengan adanya pemberlakuan biaya tambat labuh sangat memberatkan," ucapnya. Menanggapi hal tersebut, Kepala PPS Cilacap, Imas Marsiah mengatakan, langkah PPS Cilacap pada 16 Januari menerima surat dari pelaku usaha perikanan tangkap. Surat tersebut meminta izin akan melakukan unjuk rasa nelayan Cilacap. Sementara saat rapat di Jakarta, Menteri KKP menerima dengan baik. "Bapak Menteri mengatakan bahwa mengubah PP 85 butuh waktu 6 bulan. Solusi yang diambil yaitu menerbitkan Kepmen dengan maksud mengubah dan mengacu kepada harga acuan dari 10 persen nkdengan harga acuan ikan," kata Imas. Terkait tarif tambat labuh, Imas mengatakan karena PPS Cilacap adalah UPT dari Dirjen Perikanan Tangkap KKP RI. "Kebijakan tersebut mengacu kepada PP. Pungutan berlaku di kolam PPS Cilacap, dan kapal di atas 5 GT dikenakan tarif," kata Imas. Sedangkan, Kepala PSDKP Cilacap Erik mengungkapkan bahwa, denda 1.000 persen karena pelanggaran dan tidak ada di PP 85 Tahun 2021, tetapi di PP 5 Tahun 2019. Erik juga menegaskan bahwa di Cilacap hingga kini belum ada yang melanggar. Kepada awak media, Suprianto mengatakan, semua dari perwakilan nelayan mencoba menyampaikan aspirasi, seperti tambat labuh, PNBP 10 persen. "Namun hari ini belum membuahkan hasil. Tapi dijanjikan besok Selasa ada perwakilan dari para pengusaha kapal ke KKP Pusat di Jakarta," katanya. Supri juga menegaskan bahwa hari ini sudah didengar, sudah dievaluasi, dan tanggapannya. Responnya sudah dikomunikasikan dengan KKP RI. "Juga ada PP di mana ada poin-poin yang meringankan kami yaitu menunggu musim. Yang tarifnya di bawahnya, tetapi ternyata poin tersebut belum ada juknisnya," ungkap dia. Bagi nelayan, yang memberatkan adalah biaya tambat labuh. Menurut Supri, dulu PP 75 Tahun 2021 perhari cuma dikenakan Rp 4.000. Tapi dengan aturan yang sekarang perhari dengan panjang kapal rata-rata 15 meter dikenakan Rp 30 ribu. "Sekarang, kita satu tahun tidak melaut. Kita mau berangkat saja berat. Apalagi dengan biaya-biaya tarif yang sebegitu besarnya. Tuntutan kita adalah penolakan dan kembali seperti semula," ungkapnya. Saat ditanya dampak pungutan, dia mengatakan tentunya memberatkan. "Sekarang kita sebagai pemilik kapal, kita sudah off hampir satu tahun karena memang hasil laut nggak ada. Bahkan cuaca itu ekstrem, biaya operasional saja nggak nutup. Apalagi ditambah dengan tarif yang segitu besar," ucap Supri. [MI/Estanto]