Maluku Utara jadi Magnet Bagi TKA di Industri Tambang

Rolia Pakpahan
Rolia Pakpahan
Diperbarui 7 November 2024 17:09 WIB
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Maluku Utara, Marwan Polisiri (Foto: MI/Rais Dero)
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Maluku Utara, Marwan Polisiri (Foto: MI/Rais Dero)

Sofifi, MI – Industri pertambangan di Maluku Utara (Malut) telah menjadi pilar utama perekonomian daerah, dengan 83.960 pekerja tercatat di seluruh perusahaan tambang yang beroperasi di provinsi ini pada Maret 2024. 

Data yang dirilis oleh Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Malut mencatat, sektor tambang tersebar di 127 perusahaan di lima kabupaten, yakni Halmahera Tengah (Halteng), Halmahera Utara (Halut), Halmahera Selatan (Halsel), Halmahera Timur (Haltim), dan Pulau Taliabu.

Sebagian besar tenaga kerja ini terpusat di dua kabupaten utama, yaitu Halmahera Tengah dan Halmahera Selatan, yang menjadi lokasi sejumlah perusahaan tambang besar. Di Halteng, terdapat lebih dari 60 perusahaan yang menyerap 56.553 tenaga kerja. 

Dari jumlah tersebut, 33.131 orang merupakan tenaga kerja lokal, 19.840 orang berasal dari luar Maluku Utara, dan 4.682 orang adalah tenaga kerja asing (TKA). Keberadaan perusahaan besar seperti PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) dan PT Harita di Halteng memicu tingginya permintaan akan tenaga kerja asing (TKA), terutama yang memiliki keahlian teknis khusus.

Di Halsel, yang memiliki 19 perusahaan tambang, tercatat 21.571 pekerja. Sebagian besar pekerja berasal dari daerah setempat, dengan 12.904 orang merupakan tenaga kerja lokal, namun jumlah TKA juga cukup signifikan, mencapai 4.115 orang. Sebagian besar TKA di Halsel berasal dari Tiongkok, dengan mayoritas bekerja di sektor nikel, komoditas utama yang menjadi fokus hilirisasi industri di Maluku Utara.

Di kabupaten lain, seperti Halmahera Utara (Halut) dan Halmahera Timur (Haltim), jumlah pekerja lebih sedikit. Halut tercatat memiliki 3.082 pekerja di 36 perusahaan tambang, dengan mayoritas tenaga kerja lokal (1.918 orang), sementara TKA hanya berjumlah 13 orang. 

Di Haltim, yang memiliki delapan perusahaan tambang, tercatat 1.250 pekerja, di mana sebagian besar adalah pekerja lokal Malut (814 orang). Pulau Taliabu, dengan empat perusahaan tambang, memiliki 1.504 pekerja, semuanya berasal dari tenaga kerja lokal. 

Dengan demikian, total pekerja di seluruh sektor pertambangan Maluku Utara terdiri dari 60.102 tenaga kerja lokal, 26.014 pekerja dari luar Maluku Utara, dan 8.814 TKA.

Meski tenaga kerja lokal masih mendominasi, kehadiran tenaga kerja asing, terutama dari Tiongkok, tetap menjadi isu yang mendapat perhatian. 

Kepala Disnakertrans Malut, Marwan Polisiri, menjelaskan bahwa TKA sangat banyak dijumpai di Halteng dan Halsel, yang menjadi pusat operasi perusahaan tambang besar. 

“Perusahaan-perusahaan besar seperti IWIP dan PT Harita memerlukan keahlian teknis yang tidak dapat disediakan oleh tenaga kerja lokal dalam jumlah besar, sehingga mereka mengandalkan tenaga kerja asing,” ujarnya baru-baru ini.

Pemprov Malut juga telah mengeluarkan kebijakan yang mempermudah pekerja dari luar daerah untuk bekerja di sektor tambang tanpa perlu melakukan perpindahan penduduk. 

Kebijakan ini memungkinkan pekerja dari luar Maluku Utara untuk tetap menggunakan KTP asal mereka, mempercepat proses perekrutan tenaga kerja di sektor yang berkembang pesat ini.

Selain itu, sektor pertambangan, terutama yang terkait dengan hilirisasi nikel, memberikan dampak positif terhadap perekonomian daerah, termasuk dalam hal penyerapan tenaga kerja. 

Data Disnakertrans menunjukkan bahwa jumlah pekerja meningkat sebesar 25,8 persen, dari 645.900 orang pada 2023 menjadi 669.900 orang pada Februari 2024. Pertumbuhan ini menunjukkan bahwa sektor pertambangan berperan penting dalam menciptakan lapangan kerja baru di Maluku Utara.

Sektor ini juga membuka peluang lebih banyak di bidang kewirausahaan di sekitar lokasi tambang. Aktivitas ekonomi yang berkembang, baik dalam penyediaan barang dan jasa untuk mendukung operasional tambang, turut mendorong tumbuhnya usaha kecil dan menengah (UKM) di kawasan-kawasan sekitar tambang. 

Hal ini memberikan dampak positif bagi perekonomian lokal, meski terdapat beberapa tantangan terkait ketimpangan dalam distribusi manfaat ekonomi dan ketergantungan pada sektor tambang.

Sektor pertambangan di Maluku Utara diperkirakan akan terus berkembang, seiring dengan upaya pemerintah dan industri untuk mempercepat hilirisasi nikel dan mengolah hasil tambang di dalam negeri. 

Hal ini dapat membuka peluang lebih banyak bagi tenaga kerja lokal, namun tantangan terkait kualitas dan keahlian tetap menjadi hambatan utama. 

Oleh karena itu, diperlukan pelatihan dan pengembangan kapasitas tenaga kerja lokal agar dapat bersaing di industri ini.

Dengan meningkatnya permintaan global terhadap produk olahan nikel, Maluku Utara berpotensi menjadi pemain utama dalam industri pertambangan dan pengolahan nikel Indonesia. Namun, keberhasilan ini harus diimbangi dengan kebijakan yang mendorong pemerataan manfaat ekonomi bagi masyarakat setempat dan pengelolaan yang berkelanjutan. 

Sektor tambang bisa menjadi pilar utama pembangunan ekonomi Maluku Utara, namun pemerataan manfaat ekonomi dan pengelolaan yang bijaksana akan menentukan dampak jangka panjang bagi daerah.

Ke depan, sektor tambang harus mampu memberikan manfaat berkelanjutan, dengan fokus pada pemberdayaan tenaga kerja lokal dan pengawasan terhadap keberadaan tenaga kerja asing di kawasan pertambangan. (Rais Dero)

Topik:

maluku-utara disankertrans-maluku-utara pemprov-malut malut