Gema Janji Pemberantasan KKN dan Bayang-bayang Masa Lalu di Pemprov Malut

Albani Wijaya
Albani Wijaya
Diperbarui 9 April 2025 12:50 WIB
Gubernur Malut Sherly Tjoanda dan Wakil Gubernur Sarbin Sehe (Foto: MI/Rais Dero)
Gubernur Malut Sherly Tjoanda dan Wakil Gubernur Sarbin Sehe (Foto: MI/Rais Dero)

Sofifi, MI – Pemerintahan Gubernur Malut Sherly Tjoanda dan Wakil Gubernur Sarbin Sehe yang baru saja berjalan sebulan lebih kini menghadapi ujian serius terkait konsistensi terhadap komitmen tata kelola pemerintahan yang bersih. 

Penunjukan Abjan Sofyan sebagai Ketua Tim Percepatan Pengendalian dan Pengawasan Pembangunan Daerah menuai sorotan publik, lantaran rekam jejak Abjan yang pernah tersangkut kasus korupsi saat menjabat Sekretaris Daerah Halmahera Barat pada 2016 silam.

Meski memiliki pengalaman panjang di dunia birokrasi, baik sebagai Sekda Halbar di era Bupati Namto Hui Roba maupun sebagai Kepala Bappeda Pulau Morotai saat Benny Laos menjabat bupati. 

Penunjukan Abjan dianggap menimbulkan kontradiksi dengan semangat pemberantasan korupsi yang sebelumnya digaungkan Sherly Tjoanda dalam pidato perdananya.

Menanggapi polemik tersebut, Wakil Gubernur Malut Sarbin Sehe yang ditemui di Kantor Gubernur Malut pada Rabu (9/4) mengaku tidak mempermasalahkan siapa pun yang ditunjuk, selama yang bersangkutan memiliki ide dan kapasitas yang mumpuni untuk mendorong pembangunan daerah.

“Siapapun yang punya pikiran bagus, kita butulah, dalam proses pembangunan Maluku Utara,” ujar Sarbin.

Ia menambahkan bahwa pendekatan pemerintah saat ini lebih menekankan pada profesionalisme dan kerja nyata dibanding latar belakang individu.

“Siapapun dia, saya tidak melihat siapa saja, kiranya bagus, bekerja, kita perlukan yah kita diskusi,” ungkapnya.

Namun, Sarbin menegaskan bahwa kewenangan akhir dalam urusan pengangkatan jabatan strategis berada di tangan Gubernur Sherly Tjoanda.

“Seperti itu, soal pengangkatan dan kewenangan ada di Ibu Gubernur,” katanya.

Nama Abjan Sofyan bukan sekadar bagian dari sejarah birokrasi Malut. Ia juga tercatat dalam arsip kasus dugaan tindak pidana korupsi yang ditangani Kejaksaan Tinggi Maluku Utara. 

Pada tahun 2016, Abjan ditahan karena diduga terlibat dalam korupsi APBD Halbar tahun 2007–2009 yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp11,8 miliar. 

Status hukum terakhirnya memang belum diumumkan secara luas, namun fakta bahwa ia pernah ditahan sebagai tersangka tetap menjadi catatan penting dalam penilaian publik.

Kembalinya Abjan ke lingkaran strategis Pemprov Malut, apalagi dalam jabatan yang berfungsi sebagai pengendali dan pengawas pembangunan, dianggap berpotensi mencederai komitmen reformasi birokrasi dan antikorupsi yang menjadi narasi utama pasangan Sherly–Sarbin saat dilantik.

Gubernur Sherly Tjoanda dalam pidatonya di rapat paripurna DPRD Malut pada 6 Maret 2025 menegaskan tekadnya untuk membersihkan birokrasi dari praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.

“Kami hadir untuk mengabdi kepada rakyat, bukan untuk memperkaya diri. Kami akan berdiri di garda terdepan dalam memberantas praktik-praktik yang merugikan negara dan rakyat ini,” tegas Sherly kala itu.

Ia bahkan menyampaikan komitmen kuat terhadap transparansi anggaran dan penggunaan APBD secara akuntabel.

“Setiap rupiah dari APBD harus dikelola secara transparan dan diprioritaskan untuk kepentingan masyarakat, bukan segelintir elite,” ujarnya.

“Saya tidak ragu untuk menindak siapa pun yang menyalahgunakan jabatan atau mempolitisasi rakyat demi kepentingan pribadi,” tambahnya.

Namun, hanya berselang beberapa pekan sejak pidato itu, munculnya nama Abjan dalam struktur strategis Pemprov menimbulkan tanda tanya besar: sejauh mana komitmen tersebut bisa dipegang?

Di tengah sorotan publik, langkah Gubernur Sherly dalam mengangkat Abjan menjadi pertaruhan serius bagi kredibilitas pemerintahannya. Tidak cukup hanya mengandalkan rekam pengalaman, publik butuh jaminan integritas. Apalagi, jabatan yang diberikan bukan sekadar teknis, tetapi juga simbolik—mewakili semangat pengawasan dan percepatan pembangunan yang bersih.

Pemerintah memang membutuhkan orang-orang yang memahami birokrasi dan perencanaan pembangunan, tetapi publik menuntut lebih dari sekadar kecakapan teknis: mereka menginginkan pemimpin dan pejabat dengan integritas yang tidak diragukan.

Kini, Sherly Tjoanda dihadapkan pada dua pilihan sulit: terus maju dengan keputusan yang bisa menggerus kepercayaan publik, atau mengevaluasi langkah tersebut demi mempertahankan moralitas pemerintahan yang sejak awal ia kampanyekan. (Rais Dero)

Topik:

Maluku Utara Pemprov Malut