Saat Gubernur dan Sultan Bicara dengan Bahasa yang Sama: Amanah

Albani Wijaya
Albani Wijaya
Diperbarui 17 April 2025 12:37 WIB
Sultan Tidore Husain Alting Sjah dan Gubernur Malut Sherly Tjoanda (Foto: MI/Rais Dero)
Sultan Tidore Husain Alting Sjah dan Gubernur Malut Sherly Tjoanda (Foto: MI/Rais Dero)

Sofifi, MI – Di tengah kompleksitas tata kelola pelayanan publik, khususnya dalam penyelenggaraan ibadah haji, Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda, dan Sultan Tidore, Husaen Alting, secara tak terduga mempertemukan gagasan dalam ruang berbeda namun dalam irama yang serupa, memperjuangkan pelayanan haji yang efisien, transparan, dan berpihak pada kepentingan umat.

Pertemuan itu bukan dalam forum formal, bukan pula di ruang kabinet, melainkan melalui komunikasi terbuka di media sosial, yang justru menunjukkan pentingnya ruang publik sebagai arena kontrol terhadap kekuasaan. 

Akademisi Unkhair Ternate, Mukhtar Adam, dalam rilis resminya kepada Monitorindonesia.com pada Kamis, 17 April 2025, menilai pertemuan gagasan itu sebagai awal baik untuk membangun sistem pelayanan haji yang bersih dari praktik pemborosan.

“Pertemuan pikiran antara Sherly Tjoanda dan Sultan Husaen Alting menandai niat tulus dua figur publik untuk mengawal kebijakan daerah yang menyangkut kepentingan masyarakat luas,” ujar Mukhtar. 

Ia menggarisbawahi pentingnya kolaborasi antara pemegang kekuasaan eksekutif dan simbol adat-budaya, agar kebijakan tidak hanya sah secara administratif, tetapi juga mendapat legitimasi moral.

Dalam rilisnya, Mukhtar mengutip pernyataan Anies Baswedan bahwa dalam sistem demokrasi, oposisi adalah penyeimbang yang terhormat. 

“Oposisi memberi sugesti reflektif terhadap jalannya kekuasaan. Mereka bukan musuh negara, melainkan mitra kritis untuk menghindarkan kekuasaan dari potensi penyimpangan,” ujarnya. 

Dalam konteks Maluku Utara, peran Sultan sebagai pemimpin adat, menurut Mukhtar, berperan layaknya oposisi moral yang sah.

Polemik yang menjadi titik temu gagasan antara Gubernur dan Sultan Tidore adalah pembiayaan perjalanan jemaah haji dari Ternate ke embarkasi Makassar, yang dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pemprov Malut, bukan dari dana setoran haji jemaah yang dikelola Kementerian Agama.

“Karena bersumber dari APBD, maka Gubernur memiliki otoritas penuh dalam mendesain rencana penggunaan dukungan pendanaan tersebut,” tegas Mukhtar. 

Dengan otoritas itu, Sherly Tjoanda menginisiasi langkah efisiensi signifikan atas dana perjalanan haji yang dialokasikan sebesar Rp11 miliar.

Dari total 1.067 jemaah haji Malut tahun ini, harga tiket tertinggi rute Ternate-Makassar PP mencapai Rp1.200.200. Bila dikalkulasi, biaya transportasi seharusnya hanya menghabiskan Rp2,5 miliar. 

Namun, Pemprov Malut justru mengontrakkan Rp7,3 miliar kepada maskapai Lion Air. Artinya, terdapat potensi efisiensi sebesar Rp4,8 miliar yang dapat dialihkan untuk memperbaiki kualitas layanan, bahkan menambah uang saku jemaah.

Sultan Tidore, melalui unggahannya di media sosial, secara tegas mengingatkan agar proses suci ini tidak dikotori oleh kepentingan ekonomi atau celah keuntungan. 

“Perjalanan haji adalah keringat rakyat menunaikan ibadah. Janganlah ada yang mencari keuntungan dari proses ini,” seru Sultan.

Sayangnya, Mukhtar mencatat bahwa terlepas dari kesamaan niat antara dua tokoh tersebut, ketidakefektifan pola komunikasi publik membuat rencana besar itu tak menjelma dalam kebijakan konkret. 

“Kegagalan dalam membangun kanal komunikasi yang strategis menyebabkan terhambatnya sinkronisasi ide. Akibatnya, efisiensi yang mestinya dicapai justru tidak terwujud,” tegasnya.

Ia mengusulkan agar BPK RI turun tangan melakukan audit investigatif atas penggunaan dana haji dari APBD di tahun-tahun sebelumnya. Langkah ini penting untuk membangun basis data dan pijakan kebijakan bagi Gubernur Sherly Tjoanda dalam merancang reformasi layanan haji di tahun-tahun mendatang.

“Sudah saatnya kita melakukan audit memori. Publik perlu diyakinkan bahwa pelayanan haji tidak diselewengkan menjadi ruang pemborosan. Setiap rupiah dari APBD adalah amanah rakyat. Dan jemaah haji adalah warga yang telah berikhtiar panjang, menabung bertahun-tahun, demi menunaikan panggilan suci,” katanya.

Lebih lanjut, Mukhtar menyarankan agar Pemprov Malut membentuk tim kecil lintas institusi yang melibatkan unsur pemerintah, tokoh adat, akademisi, dan perwakilan jemaah, guna membangun sistem layanan haji yang lebih partisipatif. 

“Pelayanan jemaah haji tidak boleh bersifat teknokratis semata. Harus ada ruang partisipasi publik dan nilai-nilai kultural yang dijaga,” tandasnya.

Dalam konteks ini, Mukhtar menilai Sherly Tjoanda telah menunjukkan komitmen awal yang baik dengan membuka opsi efisiensi dan perbaikan layanan. Namun ia menekankan bahwa perbaikan sistem harus disertai dengan reformasi struktural, termasuk transparansi kontrak, audit anggaran, dan pelibatan masyarakat.

Pertemuan pikiran antara Gubernur dan Sultan bukan sekadar diskursus di media sosial, melainkan cermin kebutuhan mendesak untuk membangun tata kelola pemerintahan yang kolaboratif dan akuntabel. Jika momentum ini dirawat, bukan mustahil Maluku Utara menjadi contoh praktik baik pelayanan publik berbasis integritas.

“Dan jika jalan ini terus dijaga, maka seruan Labbaikallahumma labbaik akan benar-benar menjadi gema dari pelayanan negara yang tulus kepada warganya,” pungkas Mukhtar. (Rais Dero)

Topik:

Gubernur Malut Sherly Tjoanda Sultan Tidore Husaen Alting