Pemprov Malut Dituding “Lindungi” Oknum Pejabat yang Terlibat Suap


Sofifi, MI – Gubernur Maluku Utara (Malut), Sherly Tjoanda, diduga melindungi sejumlah pejabat yang terlibat dalam kasus suap menyusul operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada akhir tahun 2023 yang menyeret sejumlah pejabat tinggi Pemprov Malut dan pelaku usaha.
Keputusan Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda, memberhentikan sementara Kepala Dinas Perhubungan, Salmin Janidi, menuai sorotan tajam publik. Salmin dicopot dari jabatannya bukan karena pelanggaran etik birokrasi atau pidana korupsi, melainkan atas laporan pribadi dari istri sahnya terkait dugaan pernikahan tanpa izin.
Namun di sisi lain, sejumlah pejabat Pemprov Malut yang diduga kuat terlibat dalam kasus suap besar hasil Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) justru masih bebas menjalankan tugasnya tanpa sanksi, bahkan belum disentuh oleh sidang kode etik atau tindakan administratif apa pun dari pemerintah provinsi.
Di lingkungan Aparatur Sipil Negara (ASN), sanksi pemberhentian tidak harus menunggu putusan pengadilan. Berdasarkan PP No. 94/2021 tentang Disiplin PNS, pejabat pembina kepegawaian dapat menjatuhkan hukuman disiplin sedang hingga berat apabila terdapat indikasi pelanggaran kode etik atau merugikan negara, tanpa menunggu proses pidana selesai.
Hingga kini, Gubernur Sherly Tjoanda belum mengambil langkah pemberhentian terhadap para pejabat yang diduga terlibat dalam kasus suap.
Ironisnya, mereka justru masih menduduki jabatan strategis tanpa pernah disentuh oleh proses sidang etik maupun sanksi administratif apa pun dari pemerintah provinsi.
Kontras dengan itu, Gubernur Sherly Tjoanda justru dengan cepat memberhentikan sementara Salmin Janidi dari jabatannya sebagai Kepala Dinas Perhubungan (Kadishub) Malut. Pemberhentian tersebut dilakukan berdasarkan laporan istri sah Salmin ke Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK), terkait dugaan pernikahan tanpa izin.
Kasus dugaan suap yang menyeret nama-nama pejabat penting hingga pelaku usaha ini disebut sebagai suap secara berjamaah, mengingat melibatkan banyak pihak dalam lingkaran kasus tersebut. Namun, hingga kini, tidak ada satu pun dari mereka yang dinonaktifkan dari jabatan. Padahal, beberapa nama bahkan telah diperiksa secara intensif oleh KPK, hingga dihadirkan di persidangan.
Kebijakan yang timpang inilah yang memicu pertanyaan publik soal konsistensi dan integritas Gubernur Sherly Tjoanda dalam menjalankan roda pemerintahan yang bersih dan adil.
Gubernur dinilai tegas dan cepat dalam merespons laporan rumah tangga dari istri Salmin, namun seolah pasif dan diduga melindungi pejabat yang diduga melakukan korupsi sistematis.
Dalam keterangannya, Plt Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Maluku Utara, Sam Sofyan, Sabtu (17/5), mengonfirmasi bahwa pemberhentian Salmin Janidi dilakukan atas laporan resmi dari istrinya kepada Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK), yaitu Gubernur.
“Sekarang statusnya diberhentikan sementara dari jabatannya. Jadi belum ada peningkatan, masih seperti yang kemarin,” kata Sam kepada Monitorindonesia.com.
Sam menjelaskan bahwa pemberhentian Salmin belum terkait proses hukum, tetapi merupakan bentuk penanganan administratif atas laporan kedinasan yang masuk.
“Status Salmin ini kan dilaporkan oleh istrinya ke PPK, bukan ke Polisi. Jadi sementara prosesnya sampai sekarang masih di ranah PPK, dalam hal ini Pemda melalui BKD,” ungkapnya.
Namun ketika ditanya soal para pejabat yang tersangkut kasus suap, Sam menjelaskan bahwa belum ada yang ditetapkan sebagai tersangka, sehingga tidak bisa diberhentikan.
“Seandainya mereka ini kemudian ditetapkan sebagai tersangka, maka akan diberhentikan sementara dari ASN,” tegasnya.
Ia menambahkan, “Dorang sampai saat ini diperiksa sebagai saksi. Kalaupun dorang sampai ditetapkan sebagai tersangka, misalkan seperti Pak Imran Yakub dan lainnya, kalau sudah ada penetapan tersangka dan sudah ada putusan inkrah, maka proses dorang itu langsung diberhentikan sebagai PNS,” jelas Sam Sofyan.
Namun pernyataan tersebut justru memperkuat kritik bahwa Pemprov Malut menggunakan standar ganda dalam menindak pelanggaran.
Di satu sisi, laporan pribadi seperti kasus Salmin langsung ditanggapi dengan pencopotan jabatan, tetapi dugaan korupsi yang jauh lebih serius tidak diproses dengan kecepatan dan ketegasan yang sama.
Sekretaris Daerah Provinsi Maluku Utara, Samsudin A. Kadir, juga memilih bungkam saat dikonfirmasi oleh Monitorindonesia.com melalui pesan WhatsApp pada Sabtu (17/5), ketika ditanya soal alasan di balik keputusan pemberhentian Salmin dan sikap pemerintah terhadap para pejabat yang disebut dalam pusaran suap.
Ketertutupan informasi ini memperkuat anggapan bahwa Pemerintah Provinsi tidak transparan dan tidak konsisten dalam menegakkan etika birokrasi. Ketika para pelanggar kode etik serius dibiarkan tetap menjabat, sementara yang tersandung persoalan pribadi langsung dicopot, maka kepercayaan publik terhadap sistem pemerintahan pun ikut terkikis.
Publik menilai semestinya sikap tegas yang dijatuhkan kepada Salmin Janidi dapat pula diterapkan kepada pejabat lain yang terseret dalam kasus suap.
“Bukan cuma dari jabatannya seperti Pak Salmin. Kalau Pak Salmin itu kan diberhentikan dari jabatannya sebagai Kepala Dinas,” kata Sam Sofyan menegaskan, seolah membedakan bahwa pemberhentian jabatan tidak selalu berarti pemberhentian sebagai ASN.
Sementara itu, Ketua Komisi I DPRD Malut, Nazlatan Ukhra Kasuba, yang diharapkan memberikan pandangan resmi terkait perbedaan perlakuan ini, belum memberikan tanggapan hingga berita ini diterbitkan.
Sebelumnya, istri sah Salmin Janidi telah melaporkan suaminya ke Polda Malut atas dugaan pernikahan tanpa izin. Laporan tersebut kemudian turut disampaikan secara resmi ke Gubernur melalui Badan Kepegawaian Daerah sebagai laporan pelanggaran kedinasan.
Namun jika hanya karena laporan pribadi seorang pejabat bisa langsung dinonaktifkan, publik wajar menuntut agar pejabat yang terlibat dalam dugaan transaksi jual beli jabatan dan suap berjamaah dalam lingkungan birokrasi juga mendapatkan perlakuan yang sama.
Kasus ini kembali menegaskan bahwa pemerintahan yang tidak transparan dan tidak adil dalam menerapkan kebijakan justru akan menciptakan ruang ketidakpercayaan, melemahkan wibawa hukum, dan memperburuk citra ASN secara keseluruhan. (Jainal Adaran)
Topik:
Gubernur Malut Sherly Tjoanda Pemprov Malut KPK