Proyek Swakelola di Mata KPK: Efisien, Cepat, dan Legal


Sofifi, MI - Pemprov Malut tengah melaksanakan proyek rehabilitasi tiga fasilitas penting, yakni kantor gubernur, rumah dinas gubernur, dan rumah dinas wakil gubernur, dengan total anggaran mencapai Rp15 miliar. Uniknya, proyek ini dilakukan secara swakelola, tanpa melibatkan pihak ketiga.
Di tengah pelaksanaan proyek, muncul silang pendapat dari berbagai pihak. KPK memandang swakelola sah selama mengikuti prosedur, sementara DPRD bersikap keras karena menilai proyek dengan anggaran besar seharusnya tetap melalui mekanisme tender. Di sisi lain, pelaku usaha meminta adanya transparansi menyeluruh.
Ketua Satgas Koordinasi dan Supervisi Pencegahan Korupsi Wilayah V KPK, Abdul Haris, menyampaikan bahwa sistem pengadaan barang dan jasa saat ini lebih fleksibel dan memungkinkan pelaksanaan swakelola, terutama jika bahan dan jasa sudah tersedia dalam e-katalog.
“Jadi prinsipnya, di ketentuan barang dan jasa itu tidak semua proyek dikontrak. Sekarang sudah ada namanya e-katalog, makanya bisa,” ujarnya di Kantor Gubernur Malut, Senin (16/6).
Ia menjelaskan bahwa dengan sistem e-katalog, pemerintah daerah dapat membeli langsung berbagai kebutuhan seperti semen, pasir, atau baja ringan tanpa perlu proses lelang.
“Kalau seandainya Pemda mampu swakelola, ya swakelola. Karena apa? Pasir bisa lewat e-katalog, semen sudah bisa e-katalog, baja ringan juga di e-katalog. Kalau seandainya dikontrak, itu sifatnya untuk pekerjaan yang kompleks, misalnya pekerjaan jembatan,” jelasnya.
Swakelola, menurutnya, juga lebih cepat dalam menanggapi pekerjaan yang sifatnya darurat atau teknis harian.
“Kalau sekarang itu lebih fleksibel. Bisa swakelola? Ya, nggak masalah, karena lebih terbuka. Dan kalau swakelola, itu kita nggak perlu tunggu proses tender dan macam-macam yang lama. Misalnya, jalan yang berlubang-lubang. Kalau dikontrak, dari lubang 10 senti bisa jadi 30 senti pas kontrak ditandatangani. Akhirnya, tidak sesuai dengan kontrak, dong,” terangnya.
Ia menegaskan, dengan sistem e-katalog, pemerintah dapat sekaligus mendorong tumbuhnya UMKM lokal.
“Jadi itu. Pemerintah mempermudah, sepanjang ada di e-katalog. Jadi, dengan adanya e-katalog, itu dapat memanfaatkan rekanan atau UMKM di Sofifi, gitu,” katanya.
Menurut Haris, langkah ini bukan sekadar efisiensi, tapi juga strategi pemberdayaan ekonomi daerah. Dengan terlibatnya penyedia lokal dalam proses pengadaan, maka anggaran pemerintah akan lebih berdampak terhadap perputaran ekonomi lokal. Namun, ia juga mengingatkan bahwa pelaku usaha lokal perlu terdaftar terlebih dahulu di sistem e-katalog agar dapat berpartisipasi.
Haris merujuk pada regulasi resmi berupa Keputusan Presiden (Keppres) yang mengatur tata cara dan syarat pelaksanaan swakelola. Keppres tersebut menjadi payung hukum yang sah, yang memungkinkan daerah menjalankan proyeknya secara langsung tanpa harus menabrak peraturan.
“Kita malah menyarankan itu, kan? Sesuai dengan apa, ada itu Kepres yang mengatur swakelola itu,” tandasnya.
Namun ia mengakui bahwa masih banyak toko dan pelaku usaha lokal belum terdaftar dalam e-katalog, sehingga butuh pendampingan. Tak hanya itu, penggunaan e-katalog dan pelaksanaan swakelola disebut juga membuka ruang partisipasi lebih luas bagi pelaku usaha lokal, termasuk usaha kecil dan menengah di wilayah Sofifi dan sekitarnya.
“(Pendaftaran) UMKM di e-katalog butuh pendampingan untuk didaftarkan. Jadi, e-katalog itu membantu rekanan lokal. Misalnya, kita beli pasir. Contohnya, biasanya beli dari luar, dari Palu. Sekarang dapat memanfaatkan potensi lokal,” ujarnya.
Berbeda dengan pandangan KPK yang terbuka terhadap swakelola, Ketua DPRD Malut, Ikbal Ruray, justru menentang keras pelaksanaan proyek tersebut yang dijalankan tanpa lelang. Sikap kritis itu sudah ia sampaikan jauh sebelumnya, terutama terkait rehabilitasi rumah dinas gubernur senilai Rp8,8 miliar.
“Nilainya begitu besar, harus lelang. Kalau kegiatan yang dikelola sesuai proses pengadaan langsung, maksimal hanya Rp400 juta. Kalau sudah di atas Rp400 juta, itu wajib lelang,” tegasnya di Kantor DPRD Malut, Kamis (8/5).
Ia mengacu pada Perpres Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah yang menetapkan ambang batas nilai pengadaan untuk proses tender.
Untuk mengusut lebih lanjut, Ikbal menyatakan DPRD akan menjadwalkan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Dinas PUPR dan Biro PBJ.
“Kami akan koordinasi dengan Komisi III untuk segera panggil Dinas PUPR dan BPBJ. Supaya semua proses dijelaskan secara resmi dalam forum terbuka, bukan koordinasi-koordinasi informal yang tidak bisa dipertanggungjawabkan,” tandasnya.
Ia menekankan pentingnya forum resmi agar proses dapat dipantau dan terdokumentasi secara akuntabel.
“Sekarang ini tidak bisa lagi cuma koordinasi begitu-begitu saja. Harus ada forum resmi. Biar tidak simpang siur,” ujarnya.
Menurutnya, swakelola semestinya hanya digunakan dalam keadaan tertentu yang bersifat darurat, bukan untuk proyek rutin bernilai miliaran rupiah.
“Kalau swakelola itu harus ada alasan kuat dan mendesak. Tapi ini kan bukan urusan darurat, melainkan proyek rehab rumah dinas. Dan anggarannya sampai Rp8,8 miliar, itu wajib tender,”tegasnya.
“Kalau sudah bikin contoh begitu, yang lain juga nanti ikut. Ini bukan soal suka atau tidak, ini soal aturan. Tabrak aturan itu tidak bisa dibiarkan,” tandasnya lagi.
Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Sutanto, menjelaskan bahwa proyek masih dalam tahap awal. Fokus pekerjaan sementara ini baru mencakup pematangan lahan dan pembersihan di dua titik utama.
“Pematangan dan bersih-bersih termasuk beberapa ruang seperti kamar mandi sudah kami mulai. Ini baru sekitar 5 persen dari total pekerjaan,” ungkapnya di Sofifi, Rabu (21/5).
Sementara itu, pekerjaan di kediaman wakil gubernur belum dimulai karena tim masih fokus pada dua lokasi lain.
“Kediaman Pak Wagub lagi menunggu karena kami masih konsentrasi di sini. Pekerjaan di sana relatif lebih ringan,” terangnya.
Ia menegaskan proyek ini sepenuhnya dilakukan secara swakelola oleh Dinas PUPR Malut, tanpa keterlibatan pihak ketiga.
“Ini murni swakelola, tidak ada pihak ketiga. Kami juga sedang mendorong toko-toko bahan bangunan lokal untuk bergabung dalam e-katalog LKPP. Karena kebutuhan material ini bersifat jangka panjang, maka akan dimasukkan ke dalam etalase e-katalog,” jelasnya.
Ketua HIPMI Malut, Sofyan Mu Sangaji, menilai swakelola sah secara normatif, tetapi tetap memerlukan akuntabilitas dan pelaporan terbuka.
“Dari sisi regulasi pusat, swakelola memang dibolehkan, bahkan di beberapa kasus lebih efisien. Namun pelaksanaannya harus disertai dokumen teknis yang rinci dan pelaporan yang terbuka,” jelasnya dalam keterangan tertulis, Kamis (22/5).
Ia menyebut proyek Pemprov Malut termasuk dalam kategori Swakelola Tipe I, di mana semua proses dijalankan langsung oleh instansi pengguna anggaran.
Sofyan meminta Pemprov transparan terhadap dasar penganggaran berdasarkan klasifikasi kerusakan bangunan.
“Kalau bangunannya hanya butuh pengecatan dan perbaikan minor, lalu biaya sampai belasan miliar, tentu itu jadi tanda tanya,” tandasnya.
Ia juga mendorong agar pemerintah daerah segera menyusun regulasi daerah yang mengatur pelaksanaan swakelola.
“Langkah ini penting agar prosesnya tidak menimbulkan persepsi negatif, serta membuka ruang kontrol dari DPRD sebagai perwakilan rakyat. Saat ini, pelaksanaan swakelola belum memiliki payung kebijakan yang kuat di tingkat lokal,” ujarnya.
Meski mendukung penggunaan sumber daya lokal, Sofyan mengingatkan pentingnya prinsip tata kelola yang baik.
“Swakelola bisa menjadi solusi efisiensi anggaran, tetapi harus dibarengi dengan pelibatan masyarakat dan lembaga pengawas agar tidak membuka celah penyimpangan,” katanya.
“Jika pelaksanaan swakelola tidak didasarkan pada prinsip tata kelola yang baik, maka justru bisa jadi alat politik anggaran yang rawan disalahgunakan,” pungkasnya. (Rais Dero)
Topik:
Pemprov Malut KPK