Bukan Mitos! 'Utang Hantu" Benar-benar Ada di Pemprov Malut

Reina Laura
Reina Laura
Diperbarui 28 Juni 2025 12:45 WIB
Ketua Panitia Kerja (Panja) DPRD Malut, Muksin Amrin [Foto: MI/Jainal]
Ketua Panitia Kerja (Panja) DPRD Malut, Muksin Amrin [Foto: MI/Jainal]

Sofifi, MI - DPRD Malut akhirnya buka suara soal bobroknya manajemen utang di lingkungan Pemprov Malut. Dalam wawancara dengan sejumlah awak media pada Selasa 25 Juni 2025 di kantor DPRD Malut, Sofifi, Ketua Panitia Kerja (Panja) DPRD Malut, Muksin Amrin, membeberkan sejumlah tumpukan masalah yang selama ini ditutup-tutupi.

Muksin tidak hanya bicara soal nominal, tapi mengupas kegaduhan birokrasi dan pembiaran secara struktural yang menjadikan utang daerah sebagai bom waktu fiskal. 

Ia menyebut, dari hasil penelusuran Panja, setidaknya ada Rp51,4 miliar utang warisan dari tahun sebelumnya yang belum dibayar hingga akhir 2024. 

Tapi yang lebih parah, ditemukan Rp17,8 miliar utang yang tak bisa ditelusuri asal-usulnya, dan bahkan ada potensi utang yang belum tercatat senilai Rp186,6 miliar.

“Permasalahan ini muncul karena pengakuan utang oleh kepala SKPD tidak berdasarkan dokumen sah, seperti SPM, invoice, BAST/PHO, atau laporan realisasi keuangan,” beber Muksin.

Parahnya lagi, pencatatan utang daerah antara OPD dan BPKAD saling bertolak belakang. Tidak ada sinkronisasi, tidak ada kontrol, dan masing-masing lembaga mencatat utangnya sendiri-sendiri.

“Persoalan utang ini kan, berdasarkan catatan di OPD dan BPKAD itu berbeda-beda. Nah, ini yang menimbulkan pertanyaan: yang benar yang mana, nih?” ujar Muksin, menyindir amburadulnya data keuangan Pemprov Malut yang seolah-olah selama ini dibiarkan.

Muksin juga tak menutup kemungkinan adanya praktik tidak sehat, bahkan dugaan manipulasi. Meski ia enggan langsung menyebut “utang fiktif”, namun ia dengan tegas memperingatkan bahwa ketidaksinkronan data membuka ruang penyelewengan.

“Kalau itu, kita tidak berani untuk menyatakan itu fiktif. Kemarin di Pansus LKPJ juga sama, kan. Untuk yang menelusuri utang ini, kan, berbeda, nih. Nilai utang yang ada di OPD masing-masing dan di BPKAD juga berbeda,” jelasnya.

Yang lebih mengerikan, menurut Muksin, BPKAD ternyata tidak melakukan verifikasi terhadap laporan utang dari OPD. Laporan itu hanya dicatat mentah-mentah, tanpa cek fisik, tanpa validasi dokumen.

“Ternyata, setelah kita cross-check di BPKAD, itu sifatnya hanya mencatat utang-utang yang terjadi di OPD masing-masing, kan, kegiatan-kegiatan yang terjadi di OPD masing-masing,” ungkapnya.

Tak hanya itu, ditemukan pula kegiatan yang secara administratif seharusnya sudah berakhir, tetapi dalam laporan OPD masih dicatat sebagai kegiatan aktif. Laporan fiktif, seperti ini otomatis masuk dalam sistem sebagai utang daerah.

“Nah, ditanya dari pernyataan BPKAD, bilang ada kegiatan yang semestinya tidak lagi berjalan, ternyata laporannya sedang berjalan. Nah, itu yang menjadi utang. Jadi, pencatatan utangnya berbeda-beda. Di hasil temuan BPK juga sama. LHP yang ini juga sama,” beber Muksin lagi.

Malah yang lebih terang-terangan lagi, Ketua Panja Muksin Amrin, secara lugas menyinggung sikap “keras kepala” Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) yang diketuai oleh Sekda Samsuddin Abdul Kadir.

Muksin menilai TAPD terlalu memaksakan kehendak dengan tetap bersikukuh menggunakan data dari Organisasi Perangkat Daerah (OPD), meskipun sudah berulang kali dipersoalkan oleh Panja karena ketidaksinkronannya data utang.

Menurutnya, sikap TAPD itu bukan hanya mencerminkan lemahnya integritas dalam penyusunan dokumen keuangan daerah, tetapi juga membuka ruang pemborosan anggaran. 

Ia menegaskan, data yang digunakan oleh TAPD seharusnya telah melalui proses verifikasi dan sinkronisasi lintas sektor, bukan justru dibiarkan asal tempel dari OPD tanpa koreksi.

“TAPD masih tetap bertahan dengan pencatatan utang yang ada di masing-masing OPD, kan. Kalau di data, sesuai presentasi di masing-masing OPD dan BPKAD, kan, selama ini berbeda. Soal utang ini, basis datanya di BPKAD,” jelas Muksin.

Ia kemudian mengurai satu per satu aspek teknis yang menjadi sumber malapetaka ini, berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK. Menurut Muksin, penilaian terhadap utang pemerintah daerah tidak bisa dilakukan secara serampangan. 

Ia menegaskan, setiap utang yang diakui dalam laporan keuangan harus memiliki dasar hukum yang sah dan bukti konkret atas keberadaan kewajiban tersebut.

Ia menambahkan, banyak item utang yang selama ini dicantumkan dalam dokumen keuangan, namun tidak didukung oleh dokumen yang valid atau pelaksanaan kegiatan yang nyata. Menurutnya, praktik semacam itu berbahaya karena bisa membuka ruang manipulasi anggaran.

Muksin juga mengingatkan bahwa DPRD tidak akan tinggal diam jika menemukan adanya klaim utang fiktif atau direkayasa demi kepentingan pelaporan. Ia meminta TAPD lebih transparan dan berhati-hati dalam mencantumkan angka utang dalam laporan keuangan daerah, terutama jika belum diverifikasi secara menyeluruh.

Tapi dalam prakteknya, utang-utang itu diakui hanya berdasarkan klaim sepihak dari SKPD dan BPKAD, tanpa dukungan dokumen resmi. Inilah yang membuat data menjadi liar dan rawan disalahgunakan. Sehingga, pihaknya menggunakan data utang versi BPKAD.

Berikut rincian kewajiban jangka pendek yang disajikan Pemprov Malut dalam neraca per 31 Desember 2024 (audited): Utang PFK: Rp285.649.573, Bagian lancar utang PT SMI: Rp70.938.154.617, Pendapatan diterima di muka: Rp75.036.457, Utang belanja: Rp1.016.907.328.894, dan Total kewajiban jangka pendek: Rp1.088.206.169.542

Dari jumlah tersebut:

1. Kewajiban jangka pendek yang belum dibayar lebih dari 12 bulan: Rp51.404.505.983
2. Penyajian utang belanja yang tidak dapat ditelusuri: Rp17.855.331.724
3. Potensi utang belanja yang belum tercatat: Rp186.606.542.384

Permasalahan ini, kata Muksin, bukan sekadar soal administrasi, tapi lebih pada gagalnya sistem pengendalian internal Pemprov Malut. Lemahnya verifikasi dari BPKAD, ditambah minimnya review dari Inspektorat, menjadikan laporan utang sebagai dokumen yang tak bisa dipercaya.

“Lemahnya sistem pengendalian internal Pemerintah Provinsi Maluku Utara, lemahnya fungsi verifikasi oleh BPKAD dan fungsi review dari Inspektorat,” katanya.

Panja DPRD Malut pun akhirnya mengeluarkan sejumlah rekomendasi kepada Gubernur Malut, Sherly Tjoanda, agar segera mengambil tindakan korektif. Berikut rekomendasi Panja: 

1. Kepala BPKAD harus memerintahkan Bidang Akuntansi dan Aset, agar melakukan koordinasi dengan SKPD dalam penyediaan data realisasi fisik dan keuangan dan menginventarisasi utang secara lengkap.
2. Kepala SKPD harus memastikan, agar supaya pengakuan utang dilakukan berdasarkan dokumen sah (SPM, invoice, BAST/PHO, laporan realisasi fisik dan keuangan) dan verifikasi data utang dilakukan sebelum diserahkan ke BPKAD.
3. Inspektorat harus melakukan pemeriksaan khusus terhadap nilai utang yang belum terkonfirmasi kebenarannya.
4. Sekda dan Kepala BPKAD diperintahkan menyusun skenario pembayaran utang, termasuk utang DBH ke kabupaten/kota, sesuai kemampuan kas daerah.
5. Kepala BPKAD wajib menjaga siklus kas daerah agar tidak terjadi keterlambatan pembayaran ke pihak ketiga.

Di akhir wawancara, Ketua Panja Muksin Amrin, menyampaikan peringatan tegas yang ditujukan langsung kepada seluruh jajaran eksekutif Pemprov Malut. Peringatan itu bukan basa-basi, melainkan sinyal serius bahwa kondisi fiskal Pemprov Malut saat ini berada di ambang krisis.

Menurut Muksin, pembiaran terhadap carut-marut perencanaan dan pelaporan anggaran selama ini sama saja dengan menyusun bom waktu dalam struktur keuangan Pemprov Malut.

Ia menyebut bahwa Panja bukan sedang mencari-cari kesalahan, tetapi justru ingin menyelamatkan struktur keuangan daerah dari keruntuhan sistemik. Oleh karena itu, ia meminta kepada seluruh pihak eksekutif agar tidak menyepelekan temuan dan rekomendasi DPRD.

“Kalau ini tidak dibenahi, maka bukan tidak mungkin utang ini akan terus membengkak dan akhirnya mematikan fiskal daerah,” pungkas Muksin. (Jainal Adaran)

Topik:

Utang Pemprov Malut