Transparansi Pengelolaan Anggaran: Soal Dana Daerah yang Mengendap Sampai Rp 233 T di Perbankan!


Jakarta, MI - Pertama-tama kita pahami dulu arti “mengendap” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) seperti tercantum di kbbi.web.id. Begini penjelasannya, “endap” sebagai kata benda (noun), artinya sesuatu yang bercampur dengan air atau cairan lainnya yang turun ke bawah dan tertimbun di dasar.
Contoh, agar air selokan mengalir dengan lancar, endapannya nya harus diangkat.
Lanjutnya, sebagai kata kerja (verb) mengendap artinya turun dan tertimbun di dasar (tentang barang sesuatu yang bercampur dengan barang cair). Contoh, air itu belum dapat dipakai sebelum lumpurnya mengendap. Kalau ditambah akhiran “kan” jadi “mengendapkan”, artinya membiarkan atau mendiamkan supaya mengendap. Contoh, ia mengendapkan air kopinya sebelum meminumnya.
Contoh lain “mengendapkan” sebagai kiasan untuk maksud menggelapkan atau menyembunyikan, yang bisa artikan tidak meneruskan (misalnya tentang surat), contoh: dia dituduh menyembunyikan (mengendapkan) surat permohonan orang itu. Atau kiasan yang maksud sebenarnya adalah “menunda” untuk dipikirkan (dipertimbangkan) dalam-dalam: dibilang sebaiknya kita “endapkan” masalah ini dulu, besok kita bicarakan lagi.
Kata “endapan” sebagai kata benda (noun) artinya sesuatu yang bercampur dengan barang cair yang telah turun ke bawah dan bertimbun di dasar (seperti ampas kopi yang bertimbun di dasar mangkuk). KBBI juga menjelaskan, dalam penggunaan Geologis misalnya bahan lepas yang mengendap dan terhampar di dasar laut, danau, sungai, atau rawa. Sedimen, endapan abisal Geo lapisan lumpur atau tanah di dasar laut pada kedalaman 2.200—5.500 m. Endapan cebakan Mineral, kumpulan mineral bijih yang dapat ditambang dengan menguntungkan. Endapan mineral, endapan cebakan, endapan radioaktif jatuhan partikel radioaktif ke permukaan bumi, baik partikel radioaktif yang sudah ada maupun partikel yang ditimbulkan oleh letusan nuklir.
Begitu secara panjang lebar perlu kita ambil pelajaran dari kata mengendap versi KBBI ini untuk lebih memahami maksud kata “Dana Pemda yang mengendap di bank sampai Rp 233 triliun”. Apakah ini paralel artinya seperti dalam potongan kalimat “Endapan cabakan Mineral, kumpulan mineral bijih yang dapat ditambang dengan menguntungkan” tadi. Tapi pertanyaannya, menguntungkan buat siapa?
Pertanyaan “menguntungkan buat siapa?” bisa “diendapkan” lagi, sampai publik lupa, atau malah dikupas tuntas pasca diungkapkan oleh menteri koboi? Harapan publik tentu “dikupas” tuntas! Kata “dikupas” juga merupakan kiasan yang arti termaksud yang sebenarnya, yaitu “diselidiki” atau “dinvestigasi”, termasuk bunga bank-nya selama ini lari kemana? Dan telah terpakai untuk apa saja? Oleh siapa saja?
Mungkin Kementerian Keuangan (Direktorat Jenderal Anggaran) atau oleh Bank Indonesia atau pihak BPK bisa urun rembuk membantu menjelaskan detailnya soal status uang publik selama ini? Bagaimana duduk perkara pengelolaannya? Ya pengelolaannya, bukan cuma status akhirnya. Supaya publik paham, mengapa Pemda sering bilang kekurangan anggaran tapi ironisnya ada fakta soal dana mengendap sampai Rp 233 triliun?
Sementara ini lewat pemberitaan media beredar daftar 15 pemda yang punya uang (dana) simpanan (artinya mengendap atau diendapkan) di perbankan nasional (yang tertinggi per September 2025) sebagai berikut: Provinsi Jakarta Rp 14,68 triliun, Provinsi Jawa Timur Rp 6,84 triliun, Kota Banjarbaru Rp 5,17 triliun, Provinsi Kalimantan Utara Rp 4,71 triliun, Provinsi Jawa Barat Rp 4,17 triliun, Kabupaten Bojonegoro Rp 3,61 triliun.
Kemudian Kabupaten Kutai Barat Rp 3,21 triliun, Provinsi Sumatera Utara Rp 3,11 triliun, Kabupaten Kepulauan Talaud Rp 2,62 triliun, Kabupaten Mimika Rp 2,49 triliun, Kabupaten Badung Rp2,27 triliun, Kabupaten Tanah Bumbu Rp 2,11 triliun, Provinsi Bangka Belitung Rp 2,10 triliun, Provinsi Jawa Tengah Rp 1,99 triliun, Kabupaten Balangan Rp 1,86 triliun.
Ulah pemerintah daerah mengendapkan dana rakyat di perbankan ini telah mengakibatkan rendahnya serapan anggaran, dan akibatnya lagi pergerakan ekonomi daerah melambat dan dinamika pembangunan yang progresif jadi tersendat.
Tapi yang juga sangat penting, Menkeu juga mengakui adanya perilaku serupa yang dilakukan oleh pemerintah pusat, maka ia akan segera menginvestigasinya. Pemerintah pusat dan daerah harus kompak, ingat perihal dana rakyat ini yang mesti dikedepankan adalah soal kewajiban, bukan pertama-tama soal hak pemda atas dana tersebut.
Menyangkut kesigapan manajerial pemerintahan daerah Menkeu Purbaya (dalam Rakor Pengendalian Inflasi Daerah Tahun 2025 di Kemendagri, Senin 20 Oktober 2025 di Jakarta) menegaskan bahwa persoalannya bukan ketiadaan dana, tetapi ke masalah lambatnya eksekusi kebijakan. Buktinya hingga September 2025, total serapan anggaran seluruh provinsi baru mencapai 51,3 persen dari total pagu Rp 1.389 triliun.
Kita juga memonitor “tantangan” dari Bapa Aing (Kang Dedi Mulyadi atau KDM) soal dana mengendap Provinsi Jawa Barat, katanya tidak ada. Tapi Menteri Purbaya merespon dengan ringan saja, silahkan check ke Bank Indonesia, sambil berpesan hati-hati jangan sampai ternyata KDM dibohongi dengan laporan ABS (Asal Bapak Senang) dari para Pembantu Gubernur.
KDM bereaksi cepat dan positif saja, ia akan segera memeriksa jajaran dibawahnya tentang kebenaran laporan uang mengendap Provinsi Jawa Barat yang telah dilaporkan kepadanya. Nah, Provinsi Jawa Barat telah bersikap positif, bagaimana dengan daerah lain? Termasuk yang tidak tercantum di daftar 15 tadi.
Kalau sampai terbukti ada praktek “fraud” di lingkungan pemerintah daerah (juga pusat), ini laksana gurita birokrasi yang telah mencekik rakyatnya sendiri dengan tentakel-tentakelnya yang menjulur ke segala penjuru.
Sekedar penjelasan mengenai kata “fraud”. “Fraud is the use of dishonest methods to gain an unfair or dishonest advantage, often financial, through trickery, deceit, or deception. It can involve various acts like misrepresentation, manipulation, embezzlement, or concealment, resulting in financial loss for a victim and gain for the perpetrator. Fraud can be committed against individuals or organizations and is often a form of criminal activity.”
Birokrasi (atau lebih tepatnya oknum-oknum birokrat) di daerah (dan juga di pusat) sering dikenal dengan slogan “kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah”, bukan yang sebaliknya “kalau bisa dipermudah kenapa dipersulit”. Karena dengan terciptanya “kesulitan” yang direkayasa itu oknum-oknum birokrat tadi bisa mengeruk uang haram.
Ini praktek yang sudah biasa, artinya sudah jadi kebiasaan dan akhirnya membudaya. Membudaya indikasinya sampai rakyat yang jadi “merasa bersalah” jika tidak memberi imbalan ke aparat. Kita menyebutnya dengan istilah “uang terima kasih”, atau “sekedar uang rokok” dan sebagainya. Semacam usaha “halalisasi” dari praktek yang sebetulnya haram.
Istilah ini mesti kita “endapkan” dulu supaya bisa memahami justifikasi yang salah kaprah ini.
Kiat praktis dalam manajeman yang ampuh untuk membasmi praktek-praktek “trickery, deceit, or deception …involve various acts like misrepresentation, manipulation, embezzlement, or concealment” tadi adalah dengan transparansi dalam pengelolaan keuangan organisasi. Kalau jujur dan benar kenapa mesti ditutup-tutupi.
Contoh soal transparansi pengelolaan anggaran daerah sudah ada dan pernah dipraktekkan semasa Jakarta dipimpin Jokowi-Ahok. Sistem yang dikenal dengan nama e-Budgeting, dimana semua jadi serba transparan, publik bisa ikut memonitor (artinya ikut mengawasi jalannya pengelolaan anggaran daerah). Keterbukaan anggaran ini telah mengundang partisipasi publik yang lebih tinggi.
Tapi sistem yang baik ini jadi hancur lebur dan kembali gelap gulita di masa pemerintahan Anies Baswedan dengan istilah “smart-budgeting” yang sejatinya sama sekali tidak-smart. Praktek “salah bayar” atau “kelebihan bayar” terjadi, laporan pertanggungjawaban event Formula-E pun entah bagaimana ceritanya lagi. Mungkin masih perlu masa pengendapan yang lebih lama lagi.
Akhirul kalam, dana yang diendapkan ini jangan sampai (bunganya) hilang diambil orang dengan cara mengendap-endap.
[Andre Vincent Wenas - Pemerhati Ekonomi dan Politik, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta]
Topik:
Dana Daerah Mengendap PerbankanBerita Terkait

Dana Pemda Mengendap di Bank Tembus Rp233 Triliun, Mendagri Sebut Data BI Kurang Valid
20 Oktober 2025 14:40 WIB

Kredit Nganggur Perbankan Naik 7,06% jadi Rp2.304 Triliun, Ini Kata OJK
17 September 2025 19:10 WIB

Setelah Rp200 T, Purbaya Siap Alihkan Dana Negara Lebih Besar ke Bank
11 September 2025 13:39 WIB

Prabowo Restui Purbaya Kucurkan Rp200 Triliun dari BI ke Perbankan
11 September 2025 10:20 WIB