Tahmid Wahab Akui Wisata Doe Doe Gagal Dikelola dengan Baik


Sofifi, MI - Objek wisata Pantai Doe Doe di Desa Guraping, Kecamatan Oba Utara, Kota Tidore Kepulauan, kini tampak terbengkalai. Padahal kawasan ini sempat dibangun dengan anggaran miliaran rupiah dan diharapkan menjadi penopang ekonomi lokal. Sayangnya, harapan itu kini berubah menjadi kekecewaan.
Pantauan di lokasi pada Senin (7/7), menunjukkan lima unit bangunan vila yang dulunya berdiri megah kini tidak lagi difungsikan.
Beberapa bagian bangunan mengalami kerusakan parah, cat tembok luntur dan ditumbuhi lumut, serta papan jembatan yang tampak rapuh dan nyaris ambruk.
Di sisi lain, sepuluh unit ruko yang dibangun dengan label “Dinas Pariwisata Provinsi Maluku Utara” terlihat kosong dan tidak difungsikan.
Kondisi ini bertolak belakang dengan tujuan awal pembangunan. Wisata Pantai Doe Doe sebelumnya digadang-gadang sebagai kawasan destinasi yang mampu menggerakkan roda ekonomi masyarakat Guraping.
Namun bukannya menjadi magnet wisata, fasilitas yang dibangun dengan dana besar itu justru berubah menjadi bangunan kosong yang mubazir.
Kepala Dinas Pariwisata Malut, Tahmid Wahab, saat dikonfirmasi Monitorindonesia.com, pada Selasa (8/7) mengakui adanya sejumlah persoalan dalam pengelolaan kawasan wisata tersebut.
Ia menyebutkan, minimnya pembiayaan serta belum maksimalnya pengelolaan menjadi penyebab utama kondisi terbengkalai ini.
“Pantai Doe Doe memang mengalami kendala dalam pengelolaan dan kurangnya pembiayaan serta pemeliharaan,” kata Tahmid melalui pesan WhatsApp.
Ia menjelaskan, Pemerintah Kota Tidore Kepulauan telah mengajukan permohonan resmi kepada Pemerintah Provinsi agar pengelolaan Pantai Doe Doe diserahkan kepada Pemkot Tidore. Hal ini mengingat status lahan kawasan wisata tersebut memang merupakan aset milik pemerintah kota.
“Penyerahan ini telah disampaikan kepada Ibu Gubernur Sherly Tjoanda dan Wakil Gubernur, dan pada prinsipnya telah disetujui,” ungkapnya.
Namun, kata Tahmid, saat ini pihaknya masih mempelajari dan mengkaji mekanisme penyerahan aset agar sesuai dengan prosedur hukum dan administrasi.
Meski pengelolaan akan beralih ke Pemkot Tidore, Pemprov Malut tetap berkomitmen memberikan dukungan, khususnya dalam pengembangan infrastruktur penunjang pariwisata di lokasi tersebut.
Ia juga menyebut, pengelolaan Pantai Doe Doe selama ini dijalankan oleh kelompok sadar wisata (pokdarwis) atau masyarakat setempat. Namun keterbatasan anggaran menyebabkan pengelolaan menjadi tidak maksimal.
“Dalam nomenklatur, Pantai Doe Doe itu memang diserahkan kepada masyarakat untuk dikelola, sementara pemerintah provinsi hanya mendampingi dan mendukung,” ujar Tahmid.
Terkait program Dinas Pariwisata Malut tahun 2025, Tahmid menambahkan bahwa fokusnya kini diarahkan pada dukungan terhadap penyelenggaraan berbagai event, baik berskala nasional maupun lokal.
“Rencananya akan digelar tiga event nasional KEN Karisma di Maluku Utara, yakni Festival Teluk Jailolo, Festival Kora Kora di Kota Ternate yang sudah digelar, dan Festival Tanjung Waka di Kepulauan Sula,” ujarnya.
Selain itu, Pemprov Malut juga akan menggelar sejumlah event lokal di sepuluh kabupaten/kota, serta mendorong peningkatan kualitas sarana dan prasarana pariwisata yang diusulkan dalam program tahun anggaran 2026.
Dengan segala dinamika yang terjadi, nasib Pantai Doe Doe menjadi potret buram tata kelola pariwisata yang belum berpihak pada keberlanjutan.
Bangunan miliaran rupiah yang kini terbengkalai menjadi pengingat bahwa pembangunan fisik tanpa strategi kelola jangka panjang hanya akan berujung pada pemborosan anggaran. (Jainal Adaran)
Topik:
Pantai Doe Doe Dinas Pariwisata Malut