Urgensi Penyelamatan Kelapa Bido

No Name

No Name

Diperbarui 14 April 2021 16:32 WIB
[caption id="attachment_347949" align="alignleft" width="160"] R. Graal Taliawo[/caption] Oleh: R. Graal Taliawo (Pegiat Sosial) AWAL Maret ini, sejumlah media memberitakan soal ancaman kelangkaan pohon kelapa bido di Maluku Utara. Sebuah laporan media misalnya, menyarikan catatan Kantor Perkebunan Tanaman Pangan dan Holtikultura, Dinas Pertanian Kabupaten Morotai yang menyebutkan bahwa hanya tersisa 113 pohon kelapa bido yang baik secara kualitas. Sebabnya, konon lantaran harga bibit kelapa bido pernah menyentuh Rp100.000/buah, sehingga berbuntut maraknya penjualan bibit ke luar Maluku bahkan ke luar negeri. Penulis sangat menyayangkan hal ini, mengingat dengan karakter bido, bukan tak mungkin, tanaman endemik Maluku Utara ini akan menjadi komoditas dan harapan penghidupan masyarakat di masa depan. Kelapa bido sendiri berasal dari Desa Bido, Kecamatan Morotai Utara, Kabupaten Pulau Morotai, Provinsi Maluku Utara. Komoditas ini dapat tumbuh dengan baik pada lahan kering iklim basah dengan tinggi tempat <100 m dpl, curah hujan >1500–2.500 mm per tahun. Cirinya khas dengan mahkota daun bulat dan setengah bulat. Kelapa bido mulai berbunga pada umur 2 tahun, dan mulai panen pada umur 3 tahun. Namun, cirinya yang paling menonjol adalah batangnya yang superpendek, sehingga tak membutuhkan banyak energi untuk memanen buahnya. Bandingkan dengan kelapa jenis biasa yang tingginya bahkan mencapai puluhan meter, sehingga para petani rentan mengalami kecelakaan kerja. Sebagai gambaran, dalam rentang usia 60 tahun, tinggi batang kelapa bido hanya mencapai 9 meter. Kualitas kelapanya pun tak diragukan. Sedangkan untuk jenis kelapa pada umumnya di usia yang sama, tingginya bisa mencapai lebih dari 20 meter. Selain untuk tujuan konsumsi, kajian Balitbangtan mencatat, kelapa bido memiliki potensi hasil kopra lebih dari 4 ton per hektare selama setahun, dengan berat kopra per butir sebanyak 320 gr dan kadar minyak 58,34%. Karena keunggulan-keunggulan ini, kelapa bido Morotai dicatat sebagai Varietas Unggul Baru (VUB) kelapa yang sudah dirilis Balitbangtan pada 21 April 2017. Graal menambahkan, Dengan begitu, pengelolaan kelapa bido sejatinya layak mendapatkan perhatian serius dari pemerintah setempat. Caranya, yakni dengan membuat perlindungan konkret dalam bentuk regulasi dan turunannya di lapangan guna melindungi dan melestarikan komoditas ini. Alih-alih memberi karpet merah bagi bisnis kelapa sawit, industri ekstraktif, atau pertambangan, sudah saatnya pemerintah mengambil prioritas lain. Kelapa bido dalam hal ini harus dimasukkan dalam agenda prioritas, sehingga masalah lahan, perlindungan komoditas, perawatan, produksi, dan lainnya tak lagi jadi ganjalan. Yang terpenting, ini bukan sekadar isu pembudidayaan, melainkan upaya untuk menambah nilai ekonomi bagi warga Pulau Morotai secara khusus dan Maluku Utara secara umum. Penyelamatan bido tak bisa ditawar lagi....!  

Topik:

urgensi kelapa bido