Kartun Verbal Subro yang Merakyat

No Name

No Name

Diperbarui 6 Juni 2022 15:45 WIB
Oleh: Gatot Eko Cahyono (kartunis) Saya kenal orangnya, meski tidak mengenal secara dekat dengan sosok kartunis Fx Subro (77 tahun), kartunis senior Yogyakarta yang ikut andil mendirikan Pakyo (Paguyuban Kartunis Yogyakarta), yang lebih terkenalnya dengan nama Subro. Penampilannya sangat sederhana, kalem, agak pendiam, tapi murah senyum. Secara pribadi saya kenal kira-kira tahun 1981/1982 , di mana saat itu saya pernah datang ke meja redaksi mas Subro di Majalah Djaka Lodang, Patehan, Yogyakarta, untuk "ngemis" minta naskah cerpen untuk dibuat ilustrasi. Hubungan perkenalan saya tidak lama, karena saya sambil sekolah, awal-awal mau masuk STSRI "ASRI Yogyakarta. Saya tidak pernah meneliti atau mengamati secara mendalam tentang karya-karya kartun Subro, namun ada beberapa karya kartun opini di koran Berita Nasional, Yogyakarta, di era tahun 1980 an dengan nama tokoh pak "Bonal" yang artinya Berita Nasional. Selain itu banyak saya amati juga karya kartun strip yang verbal, di mana dalam satu frame terdiri atau dibagi menjadi dua bahkan tiga bidang dan dalam visualnya banyak dilengkapi dengan kata-kata/celetukan dalam balon yang menjadi dialog pingpongan dengan satu tokoh ke tokoh yang lainnya. Maka dari itu saya menyebutnya sebagai bentuk karya kartun yang verbal, sebagai bahasa ungkap secara visual. Biasanya dengan kandungan guyonan menyangkut tema-tema kontekstual, tema yang hangat yang sedang terjadi di masyarakat. Misalnya tentang tema "hilangnya" minyak goreng akhir-akhir ini di pasaran, kalau pun ada harganya tinggi. Meski dalam visual kartun bahasa jawa (dimuat secara berkala seminggu sekali di Majalah bahasa Jawa Djaka Lodang, halaman 50, dalam rubrik "guyon" yang artinya canda, atau humor). Dalam salah satu kartun strip-nya digambarkan: Kotak 1: Seorang ayah dan ibu memanggil- manggil anaknya yang bernama Jendhul, si anak tak kunjung datang. Kotak 2: Sang ibu nyeletuk," anak kok senangnya ngumpet lho. Kotak 3: Masih sambungan celetukan sang ibu..." kayak minyak goreng...".Kartun guyon ini dimuat di majalah Djaka Lodang no.46, 16 April 2022 halaman 50. Jenis atau model kartun strip yang verbal ini memang sangat mudah dimengerti dicerna atau dipahami oleh setiap orang, sehingga bisa dibilang simpel sangat komunikatif. Kepiawaian sang kartunis adalah dalam memvisualkannya di atas kertas, karena ada tokoh, gerak tubuh, dan karakter mimik wajah (marah, ketawa, tidur, kecewa dan lain-lain) harus menguasai. Hal ini secara teknis dan visual sangat penting untuk ikut menggiring opini pembaca untuk menikmati kelucuan dan pesan kritik yang disampaikan melalui tokoh kartun dan teks-teks verbalnya (pembicaraan antar tokoh kartun dalam pingpongannya). Jenis kartun strip ini banyak sekali dimuat di era kejayaan media cetak tahun 1970 hingga menjelang tahun 2000 an. Kartun strip yang verbal bukan produk karya jurnalistik, tetapi karya kartun untuk rubrik menghibur, sebuah "oase" , agar pembaca media bisa rehat sejenak menikmati karya kartun, yang ringan dan lucu. Kartun jenis ini sebagai penghibur masyarakat dalam rubrik-rubrik humor di koran atau pun di majalah. Meski pun kadang dalam humor/ guyonan kartun strip tersebut ada diselipkan pesan kritik yang menyoroti kejadian atau merespon fenomena tertentu dalam kehidupan masyarakat. Beda kalau kartun yang masuk kategori sebagai karya jurnalistik, jenis kartun ini adalah yang disebut editorial cartoon (kartun opini) yaitu sebuah tajuk rencana berupa gambar, yang sering salah kaprah disebut karikatur. Subro pernah hadir di era tahun 1980 an , dengan karya kartun opini di koran Berita Nasional, dengan tokoh pak "Bonal", yang mewakili opini / tajuk rencana berupa gambar untuk koran yang bersangkutan. Jadi kartun opini biasanya hadir mendampingi tajuk tertulis di mana kadang merespon atau membidik tema hangat yang sedang terjadi di masyarakat. Koran mainstreem seperti Kompas, di edisi tiap Minggu pun, dari era tahun 1980 an hingga sekarang masih mempertahankan rubrik kartun strip yang verbal sebagai bentuk penghibur, yang menampilkan dari tokoh kartun seperti : Semut Konpopilan, Timun, Sukribo dan lain lain. Juga di Jakarta ada seorang kartunis freelancer namanya Johnny Hidayat, dengan tokohnya John Domino yang karya kartun stripnya ada banyak mengisi di berbagai koran dan majalah, termasuk majalah TTS dll, Ini juga termasuk kartun strip yang verbal yang sangat merakyat. Bisa dinikmati oleh masyarakat lintas kelas. Kartun strip verbal Subro banyak cenderung mengemukakan tema-tema kerakyatan, artinya membidik fenomena apa saja yang sedang hangat terjadi. Karena Subro juga adalah seorang jurnalis yang kadang juga menulis artikel maka cara pikir dan pandangnya sangat berpengaruh membantu dalam menciptakan guyonan dalam karya kartun-kartun strip-nya. Bidikan kandungan humor atau guyonan dan kritik bisa tepat sasaran (titis) mengena. Sehingga bisa mengundang tawa bahkan senyum kecut para pembaca. Unsur verbal karena dalam bahasa ungkapnya banyak dialog kata-kata antar tokoh kartun, adalah cirikhas jenis kartun strip ini sebagai bahasa ungkapnya. Subro adalah sosok kartunis lokal dari Yogya yang cukup produktif yang karyanya sudah menembus di media-media ibukota saat itu, menurut saya perlu juga dicatat sebagai kartunis yang merakyat karena karya kartun strip-nya bisa dinikmati oleh lintas kelas masyarakat. Sekilas di benak saya muncul pertanyaan, bagaimana nanti "nasib" karya-karya para kartunis di era digital ini ?, di mana media cetak sudah mulai "redup" bahkan banyak juga yang sudah mati, kecuali media cetak yang bermodal besar yang masih bisa bertahan.

Topik:

Opini